Sekitar tujuh tahun yang lalu kalau tidak salah,
ada salah seorang ulama senior di kampung saya yang dipanggil menghadap Tuhan Yang
Maha Kuasa. Pak Mimin namanya. Beliau adalah orang yang selalu merapalkan ayat
suci di malam bulan Ramadhan, sampai khatam, selama 30 hari non stop. Setidaknya
sampai beliau sowan Ing Ngarso Dalem Gusti
Pangeran. Beliau menghadap sang ilahi pada bulan Januari, dimana waktu itu
puasa kalau tidak salah bulan Oktober atau November. Ini kiamat kecil bagi
saya. Fix puasa tahun selanjutnya saya tidak mendengar lantunan Al Fatihah
sampai An Naas-nya Pak Mimin lagi. Malam-malam Ramadhan terasa senyap tanpa
bunyi mikrophone di langgar sebelah. Maklum, pak Mimin selalu ngaji sehabis
waktu ibadah tarawih berakhir, kira-kira satu jam lamanya beliau merapal satu
juz. Tahun berganti, tiada lagi pak Mimin dengan logat Sundanya yang terkesan
dipaksakan bicara dengan bahasa Jawa halus. Jadi pak Mimin ini penutur
dwibahasa yang sangat fasih, beliau orang Sunda yang sudah lama di Jawa. Sejujurnya
saya rindu dengan suara pak Mimin yang biasa saja tapi selalu menghiasi waktu
sebelum naik ke peraduan. Kebiasaan mengaji pak Mimin berakhir kira-kira pada
jam 9 tiap malamnya di bulan ramadhan.
Belum lama ini juga ada salah seorang tetangga
saya yang meninggal karena menderita gagal ginjal. Membuatnya harus menjalani
ritual haemodialisis tiap 4 hari
sekali. Namanya pak Mar. Pak Mar adalah seorang pedagang tahu putih. Beliau memiliki
pabrik tahu dan setiap pagi anak-anaknya yang sudah pemuda mengantarkan ke
pasar ba’da Subuh. Meskipun pak Mar ini bukan dianggap sebagai mbah kaum oleh orang kampung, tapi
kehadiranya tiap sholat Jumat sudah cukup memberikan saya inspirasi untuk
menuliskan kisah ini. Pak Mar, dengan salah satu kaki-nya yang (maaf) agak
pincang karena kecelakaan (atau terjatuh) beberapa tahun sebelumnya, dengan
tetap semangat dan murah senyum, mendatangi tiap majelis kerakyatan yang
digelar di kampung. Suaranya yang besar, nyaring, sebesar badan dan tanganya,
kerap menjadi komando begal sapi saat hari raya kurban. Maklum, RT saya tidak
punya masjid, jadi pemotongan hewan kurban dilakukan di salah satu pekarangan
kosong, pekarangan miliki pak Mar.
Ada lagi salah seorang mbah kaum yang cukup
tersohor dan prominent di kampung
saya, namanya pak Nur. Pak Nur memang sudah lama menjadi mbah kaum yang
dimuliakan dalam setiap acara, terutama pengajian dan penyembelihan hewan
kurban. Peran pak Nur sangat vital, yaitu sebagai orang yang menyembelih hewan
kurban lengkap dengan bait do’a penyebutan sohibul
dan pekik takbirnya. Sebuah tugas mulia yang dijabat oleh orang tiada duanya di
kampung saya, hanya dan hanya pak Nur. Sekarang pak Nur sudah sepuh, sudah uzur. Namun dengan
langkahnya yang kalem, masih mengisi khutbah di masjid tiap 2 minggu, pada
waktu sholat Jumat. Pak Nur yang sepuh ini nampaknya sudah memilih penerus
untuk suksesinya sebagai punggawa gorok sapi.
Sebelum lupa, salah seorang mbah kaum yang juga melegenda
lainya adalah pak Pad. Beliau adalah orang yang babat alas di kampung saya. Karena jasa beliaulah kampung kami
punya masjid yang bisa melantangkan suara adzan lima kali sehari. Itu belum
dengan sederet pengumuman berita kematian si fulan dan fulanah, dengan atau
tanpa kalimat Innalillahi wa innailaihi
rojiun. Pak Pad di usianya yang 87 tahun masih kuat ngangsu (menimba) di sumur dan memasukan air ke padasan (gentong air untuk pancuran
wudhu). Beberapa kali saya sholat maghrib berjamaah di masjidnya pak Pad,
beliau nampak kurus dengan hanya kulit membalut belulangnya yang kian hari kian
rapuh. Pernah saya harus nyaris batal sholat karena pak Pad terjatuh saat ruku’, dan akhirnya saya dudukkan. Beliau
sholat sambil duduk di lantai. Suatu hari saya mendengar adzan dikumandangkan
pak Pad. Sampai pada lafaz Ashadu anna
Muhammadarrosulullah lalu berhenti. Satu-dua tarikan nafas mungkin masih
wajar untuk jeda. Tapi ini lebih dari 7 detik. Tak lama kemudian adzan
dikumandangkan dengan berganti suara, yang saya tahu itu adalah suara pak
Maryo, anak pak Pad. Baru saya tahu kalau pak Pad sudah tak kuat lagi menarik
nafas untuk adzan. Mungkin itulah suara adzan terakhir pak Pad yang saya
dengar. Karena beberapa minggu kemudian, dari masjid yang sama, nama pak Pad
disebut-sebut tepat setelah kalimat istirja’.
Pak Pad sowan ke hadapan Ngarso Dalem Gusti Pangeran.
Dari keempat orang diatas, saat ini saya masih
bisa menemui mbah kaum yang bernama pak Nur. Seorang pribadi zuhud yang dresscode-nya hanya itu-itu saja. Sepotong
baju koko warna hijau pucat, peci putih, sarung putih, dan sajadah warna pink. Para
mbah kaum ini memberi saya contoh bahwa berdakwah itu tidak harus teriak-teriak
seperti yang belum lama ini sering kita dengar di media masa. Saya sudah hampir
6 bulan ini tidak menonton TV. Tapi saya tahu dari media sosial yang nampaknya
lebih jujur daripada TV milik si anu dan si nganu yang tentu sudah bermuatan
politik. Bahasa aborigin-nya “alat propaganda”. Para mbah kaum ini mengajarkan saya
bagaimana aplikasi sesungguhnya dari surat An Nahl ayat 125; “Dan serulah manusia kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah bijaksana, dengan cara yang baik, dan berbantahlah dengan cara
yang baik pula....”. Setidaknya potongan ayat tersebut sudah banyak
dilupakan beberapa golongan umat yang berteriak saling mengkafirkan secara
tendensius keterlaluan.
Para mbah kaum ini berdakwah dalam diam. Banyak memberi
contoh lewat laku agung, bukan hanya kofar-kafir. Para mbah kaum ini tanpa
banyak bicara mereka mendirikan surau untuk beribadah umat, membagikan zakat
dan daging kurban untuk siapa saja baik muslim maupun non muslim, melantunkan
ayat suci untuk mengingatkan kita atau minimal pengantar tidur bernuansa Islami.
Meskipun mereka tidak jago dalam berdakwah, menyampaikan ayat ini dan itu, bagi
saya tingkah lakunya jauh lebih berakhlak dan layak dicontoh dari hanya
retorika teoritis belaka. Orang boleh hapal ayat ini dan itu, tapi pengamalan
nol besar buat saya mubadzir.
Hal yang kontras terlihat dari sisi kehidupan
dakwah jalanan lainya. Saya tidak bilang dakwah jalanan itu buruk, tidak. Tapi kerap
kali caranya tidak disukai beberapa orang. Dakwah jalanan yang saya maksud
contoh kecilnya saja lewat media sosial. Pernahkan kalian dengar tentang
propaganda jilbab yang jleb banget. Beberapa ukhti langsung nyinyir pada mereka
yang banyak alasan dalam berhijab. “Hatinya
dulu yang berhijab, lalu fisiknya”. Yang dinyinyiri dengan “kalau memang muslim ya ndak usah banyak
alasan”. Percayalah kalimat seperti ini benar tapi tidak baik, bener ning ora pener. Siapa yang
menjamin wanita tanpa hijab bisa terima dinyinyiri seperti ini. Bisa jadi
mereka malah makin jauh dari dorongan menutup aurat karena penyampaianya yang
tidak humanis.
Pak Nur adalah orang yang menurut saya cukup
moderat dalam berdakwah. Beliau tidak nyinyir pada pemudi yang belum bertudung.
Tapi sekali ada pemudi yang bertudung di momen bulan Ramadhan, ribuan pujian
dan apresiasi dilontarkanya. “Alhamdulillah
sekarang sudah berjilbab, subhanallah makin cantik”. Wanita mana yang tidak
melting dikatakan cantik. Sesuatu yang
saya lihat berbeda dengan ukhti-ukhti nyinyir, meskipun tidak semua ukhti itu
nyinyir, ada juga yang moderat macam pak Nur tadi. Mereka lebih sering mencerca
ketidak-berhijab-an wanita, dan pada saat berhijab pun tiada apresiasi
diucapkan. Bagi mereka yang namanya hijab itu kewajiban. Tidak dilakukan salah,
dilakukan ya sudah memang seharusnya. Angel boss..
Padahal yang namanya hijrah menjadi berhijab itu
perlu proses yang mematangkan emosi dan religi. Bagi mereka para ukhti yang
sudah dari sananya dididik berhijab tentu tidak punya masalah. Mereka tidak
mengalami gejolak emosi untuk berubah dari “yang dikatakan jelek” menjadi “yang
dikatakan baik” secara agama. Tidak pernah. Setelah mbrojol mereka berhijab. Sudah. Beda dengan wanita penggerai rambut
yang selalu tampil dengan bedak dan gincu merahnya. Untuk berhijab diperlukan
proses panjang pergolakan batin dengan berbagai pertimbangan terutama soal
penampilan yang sangat sensitif buat kaum hawa. Pergolakan batin yang tidak
pernah dirasakan para ukhti nyinyir.
Yang saya ingin tekankan adalah peran ulama dalam
mengubah masyarakat melalui dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Beberapa orang di
luar sana siap membela ulama sampai titik darah penghabisan melalui apa yang
mereka sebut sebagai jihad. Menarik, sebenarnya apa makna jihad sendiri?. Dalam
bahasa arab, jihad berarti bersungguh-sungguh. Adakah makna jihad itu
berperang, seperti yang kebanyakan orang kita pahami?. Mungkin iya, mungkin
tidak. Tapi pada intinya adalah bersungguh-sungguh. Dan sebagai contoh
hijrahnya wanita menjadi berhijab juga bagi saya adalah jihad yang tidak bisa
dipandang remah. Berjuangnya seorang mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi juga
bentuk jihad ragawi, pikiran, dan juga biaya, ini juga jihad. Sebenarnya salah
kaprah ini sudah lama mendarah daging diantara orang-orang kita yang menganggap
“angkat senjata” itu jihad fi sabilillah. Benarkah ulama mengajarkan memaknai
jihad sebagai perang?. Mungkin karena pengaruh konflik timur tengah yang tak
berkesudahan hingga fenomena impor ideologi transnasional dimana kajianya
banyak mengangkat tema perjuangan berdarah bangsa palestina menjadi mindset
yang kadung jamak. Mungkin karena ini juga akal kita tanggal dihadapan taqlid
buta pada pimpinan jamaah yang dianggap ulama dan bisa bicara seenaknya dengan
dalih jihad itu tadi. Kasihan..
Bagi saya, pak Mimin, pak Pad, pak Nur, dan pak
Mar adalah sebenar-benarnya ulama amar ma’ruf nahi munkar. Mereka punya ilmu,
mengamalkan, mencontohkan, dan bijak dalam menasihati. Salah satu nasihat yang
sampai sekarang masih menjadi panduan hidup saya adalah surat Al Ma’un. Surat ini
berkisah tentang kewajiban menolong orang miskin, menyantuni anak yatim, dan berderma
dengan harta kita. Dalam hidup saya sejujurnya tidak banyak ulama yang menjadi
panutan. Yang paling tinggi (tidak termasuk Rasulullah karena beliau utusan,
tidak saya golongkan sebagai ulama) bagi saya adalah mbah Dahlan. Beliau, pak
Muhammad Darwis, mengajarkan kepada saya tidak perlulah banyak mengaji kalau
hanya sebatas lisan. Lakukan perintah satu ayat dengan istiqomah, konsisten
terus menerus, dan tunggulah keajaiban Tuhan menyertaimu. Secara pribadi saya
tidak pernah bertatap muka dengan mbah Dahlan ini karena beliau sudah lama
wafat pada 1923. Inti pelajaran yang saya ambil soal berdakwah adalah “kenyangkan dulu perutnya lalu isi hatinya
dengan hikmah (agama)”...
Ilustrasi : http://amaljariah.org/