Selasa, 31 Januari 2017

MENG-ULAMA-KAN MBAH KAUM



Sekitar tujuh tahun yang lalu kalau tidak salah, ada salah seorang ulama senior di kampung saya yang dipanggil menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Pak Mimin namanya. Beliau adalah orang yang selalu merapalkan ayat suci di malam bulan Ramadhan, sampai khatam, selama 30 hari non stop. Setidaknya sampai beliau sowan Ing Ngarso Dalem Gusti Pangeran. Beliau menghadap sang ilahi pada bulan Januari, dimana waktu itu puasa kalau tidak salah bulan Oktober atau November. Ini kiamat kecil bagi saya. Fix puasa tahun selanjutnya saya tidak mendengar lantunan Al Fatihah sampai An Naas-nya Pak Mimin lagi. Malam-malam Ramadhan terasa senyap tanpa bunyi mikrophone di langgar sebelah. Maklum, pak Mimin selalu ngaji sehabis waktu ibadah tarawih berakhir, kira-kira satu jam lamanya beliau merapal satu juz. Tahun berganti, tiada lagi pak Mimin dengan logat Sundanya yang terkesan dipaksakan bicara dengan bahasa Jawa halus. Jadi pak Mimin ini penutur dwibahasa yang sangat fasih, beliau orang Sunda yang sudah lama di Jawa. Sejujurnya saya rindu dengan suara pak Mimin yang biasa saja tapi selalu menghiasi waktu sebelum naik ke peraduan. Kebiasaan mengaji pak Mimin berakhir kira-kira pada jam 9 tiap malamnya di bulan ramadhan.


Belum lama ini juga ada salah seorang tetangga saya yang meninggal karena menderita gagal ginjal. Membuatnya harus menjalani ritual haemodialisis tiap 4 hari sekali. Namanya pak Mar. Pak Mar adalah seorang pedagang tahu putih. Beliau memiliki pabrik tahu dan setiap pagi anak-anaknya yang sudah pemuda mengantarkan ke pasar ba’da Subuh. Meskipun pak Mar ini bukan dianggap sebagai mbah kaum oleh orang kampung, tapi kehadiranya tiap sholat Jumat sudah cukup memberikan saya inspirasi untuk menuliskan kisah ini. Pak Mar, dengan salah satu kaki-nya yang (maaf) agak pincang karena kecelakaan (atau terjatuh) beberapa tahun sebelumnya, dengan tetap semangat dan murah senyum, mendatangi tiap majelis kerakyatan yang digelar di kampung. Suaranya yang besar, nyaring, sebesar badan dan tanganya, kerap menjadi komando begal sapi saat hari raya kurban. Maklum, RT saya tidak punya masjid, jadi pemotongan hewan kurban dilakukan di salah satu pekarangan kosong, pekarangan miliki pak Mar.


Ada lagi salah seorang mbah kaum yang cukup tersohor dan prominent di kampung saya, namanya pak Nur. Pak Nur memang sudah lama menjadi mbah kaum yang dimuliakan dalam setiap acara, terutama pengajian dan penyembelihan hewan kurban. Peran pak Nur sangat vital, yaitu sebagai orang yang menyembelih hewan kurban lengkap dengan bait do’a penyebutan sohibul dan pekik takbirnya. Sebuah tugas mulia yang dijabat oleh orang tiada duanya di kampung saya, hanya dan hanya pak Nur. Sekarang pak Nur sudah sepuh, sudah uzur. Namun dengan langkahnya yang kalem, masih mengisi khutbah di masjid tiap 2 minggu, pada waktu sholat Jumat. Pak Nur yang sepuh ini nampaknya sudah memilih penerus untuk suksesinya sebagai punggawa gorok sapi.


Sebelum lupa, salah seorang mbah kaum yang juga melegenda lainya adalah pak Pad. Beliau adalah orang yang babat alas di kampung saya. Karena jasa beliaulah kampung kami punya masjid yang bisa melantangkan suara adzan lima kali sehari. Itu belum dengan sederet pengumuman berita kematian si fulan dan fulanah, dengan atau tanpa kalimat Innalillahi wa innailaihi rojiun. Pak Pad di usianya yang 87 tahun masih kuat ngangsu (menimba) di sumur dan memasukan air ke padasan (gentong air untuk pancuran wudhu). Beberapa kali saya sholat maghrib berjamaah di masjidnya pak Pad, beliau nampak kurus dengan hanya kulit membalut belulangnya yang kian hari kian rapuh. Pernah saya harus nyaris batal sholat karena pak Pad terjatuh saat ruku’, dan akhirnya saya dudukkan. Beliau sholat sambil duduk di lantai. Suatu hari saya mendengar adzan dikumandangkan pak Pad. Sampai pada lafaz Ashadu anna Muhammadarrosulullah lalu berhenti. Satu-dua tarikan nafas mungkin masih wajar untuk jeda. Tapi ini lebih dari 7 detik. Tak lama kemudian adzan dikumandangkan dengan berganti suara, yang saya tahu itu adalah suara pak Maryo, anak pak Pad. Baru saya tahu kalau pak Pad sudah tak kuat lagi menarik nafas untuk adzan. Mungkin itulah suara adzan terakhir pak Pad yang saya dengar. Karena beberapa minggu kemudian, dari masjid yang sama, nama pak Pad disebut-sebut tepat setelah kalimat istirja’. Pak Pad sowan ke hadapan Ngarso Dalem Gusti Pangeran.


Dari keempat orang diatas, saat ini saya masih bisa menemui mbah kaum yang bernama pak Nur. Seorang pribadi zuhud yang dresscode-nya hanya itu-itu saja. Sepotong baju koko warna hijau pucat, peci putih, sarung putih, dan sajadah warna pink. Para mbah kaum ini memberi saya contoh bahwa berdakwah itu tidak harus teriak-teriak seperti yang belum lama ini sering kita dengar di media masa. Saya sudah hampir 6 bulan ini tidak menonton TV. Tapi saya tahu dari media sosial yang nampaknya lebih jujur daripada TV milik si anu dan si nganu yang tentu sudah bermuatan politik. Bahasa aborigin-nya “alat propaganda”. Para mbah kaum ini mengajarkan saya bagaimana aplikasi sesungguhnya dari surat An Nahl ayat 125; “Dan serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah bijaksana, dengan cara yang baik, dan berbantahlah dengan cara yang baik pula....”. Setidaknya potongan ayat tersebut sudah banyak dilupakan beberapa golongan umat yang berteriak saling mengkafirkan secara tendensius keterlaluan.


Para mbah kaum ini berdakwah dalam diam. Banyak memberi contoh lewat laku agung, bukan hanya kofar-kafir. Para mbah kaum ini tanpa banyak bicara mereka mendirikan surau untuk beribadah umat, membagikan zakat dan daging kurban untuk siapa saja baik muslim maupun non muslim, melantunkan ayat suci untuk mengingatkan kita atau minimal pengantar tidur bernuansa Islami. Meskipun mereka tidak jago dalam berdakwah, menyampaikan ayat ini dan itu, bagi saya tingkah lakunya jauh lebih berakhlak dan layak dicontoh dari hanya retorika teoritis belaka. Orang boleh hapal ayat ini dan itu, tapi pengamalan nol besar buat saya mubadzir.


Hal yang kontras terlihat dari sisi kehidupan dakwah jalanan lainya. Saya tidak bilang dakwah jalanan itu buruk, tidak. Tapi kerap kali caranya tidak disukai beberapa orang. Dakwah jalanan yang saya maksud contoh kecilnya saja lewat media sosial. Pernahkan kalian dengar tentang propaganda jilbab yang jleb banget. Beberapa ukhti langsung nyinyir pada mereka yang banyak alasan dalam berhijab. “Hatinya dulu yang berhijab, lalu fisiknya”. Yang dinyinyiri dengan “kalau memang muslim ya ndak usah banyak alasan”. Percayalah kalimat seperti ini benar tapi tidak baik, bener ning ora pener. Siapa yang menjamin wanita tanpa hijab bisa terima dinyinyiri seperti ini. Bisa jadi mereka malah makin jauh dari dorongan menutup aurat karena penyampaianya yang tidak humanis.


Pak Nur adalah orang yang menurut saya cukup moderat dalam berdakwah. Beliau tidak nyinyir pada pemudi yang belum bertudung. Tapi sekali ada pemudi yang bertudung di momen bulan Ramadhan, ribuan pujian dan apresiasi dilontarkanya. “Alhamdulillah sekarang sudah berjilbab, subhanallah makin cantik”. Wanita mana yang tidak melting dikatakan cantik. Sesuatu yang saya lihat berbeda dengan ukhti-ukhti nyinyir, meskipun tidak semua ukhti itu nyinyir, ada juga yang moderat macam pak Nur tadi. Mereka lebih sering mencerca ketidak-berhijab-an wanita, dan pada saat berhijab pun tiada apresiasi diucapkan. Bagi mereka yang namanya hijab itu kewajiban. Tidak dilakukan salah, dilakukan ya sudah memang seharusnya. Angel boss..


Padahal yang namanya hijrah menjadi berhijab itu perlu proses yang mematangkan emosi dan religi. Bagi mereka para ukhti yang sudah dari sananya dididik berhijab tentu tidak punya masalah. Mereka tidak mengalami gejolak emosi untuk berubah dari “yang dikatakan jelek” menjadi “yang dikatakan baik” secara agama. Tidak pernah. Setelah mbrojol mereka berhijab. Sudah. Beda dengan wanita penggerai rambut yang selalu tampil dengan bedak dan gincu merahnya. Untuk berhijab diperlukan proses panjang pergolakan batin dengan berbagai pertimbangan terutama soal penampilan yang sangat sensitif buat kaum hawa. Pergolakan batin yang tidak pernah dirasakan para ukhti nyinyir.


Yang saya ingin tekankan adalah peran ulama dalam mengubah masyarakat melalui dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Beberapa orang di luar sana siap membela ulama sampai titik darah penghabisan melalui apa yang mereka sebut sebagai jihad. Menarik, sebenarnya apa makna jihad sendiri?. Dalam bahasa arab, jihad berarti bersungguh-sungguh. Adakah makna jihad itu berperang, seperti yang kebanyakan orang kita pahami?. Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi pada intinya adalah bersungguh-sungguh. Dan sebagai contoh hijrahnya wanita menjadi berhijab juga bagi saya adalah jihad yang tidak bisa dipandang remah. Berjuangnya seorang mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi juga bentuk jihad ragawi, pikiran, dan juga biaya, ini juga jihad. Sebenarnya salah kaprah ini sudah lama mendarah daging diantara orang-orang kita yang menganggap “angkat senjata” itu jihad fi sabilillah. Benarkah ulama mengajarkan memaknai jihad sebagai perang?. Mungkin karena pengaruh konflik timur tengah yang tak berkesudahan hingga fenomena impor ideologi transnasional dimana kajianya banyak mengangkat tema perjuangan berdarah bangsa palestina menjadi mindset yang kadung jamak. Mungkin karena ini juga akal kita tanggal dihadapan taqlid buta pada pimpinan jamaah yang dianggap ulama dan bisa bicara seenaknya dengan dalih jihad itu tadi. Kasihan..


Bagi saya, pak Mimin, pak Pad, pak Nur, dan pak Mar adalah sebenar-benarnya ulama amar ma’ruf nahi munkar. Mereka punya ilmu, mengamalkan, mencontohkan, dan bijak dalam menasihati. Salah satu nasihat yang sampai sekarang masih menjadi panduan hidup saya adalah surat Al Ma’un. Surat ini berkisah tentang kewajiban menolong orang miskin, menyantuni anak yatim, dan berderma dengan harta kita. Dalam hidup saya sejujurnya tidak banyak ulama yang menjadi panutan. Yang paling tinggi (tidak termasuk Rasulullah karena beliau utusan, tidak saya golongkan sebagai ulama) bagi saya adalah mbah Dahlan. Beliau, pak Muhammad Darwis, mengajarkan kepada saya tidak perlulah banyak mengaji kalau hanya sebatas lisan. Lakukan perintah satu ayat dengan istiqomah, konsisten terus menerus, dan tunggulah keajaiban Tuhan menyertaimu. Secara pribadi saya tidak pernah bertatap muka dengan mbah Dahlan ini karena beliau sudah lama wafat pada 1923. Inti pelajaran yang saya ambil soal berdakwah adalah “kenyangkan dulu perutnya lalu isi hatinya dengan hikmah (agama)”...




Selasa, 24 Januari 2017

TABLE MANNER, MAKSUD BAIK DALAM KEPALSUAN KOLEKTIF





Sebenarnya bagaimana awal mula disepakatinya tatakrama diatas meja makan?. Mungkin saya akan mempersempit ruang bahasan dimana table manner digunakan. Kita akan membicarakan wilayah Asia saja dimana negara kita berada dalam ruang lingkupnya, karena pada dasarnya setiap budaya di dunia ini memiliki aturan table mannernya masing-masing. Jika kita bicara wilayah nusantara saja, ada banyak cara orang menyantap makanan, dan saat acara resmi kita bisa melihat perbedaan sebenarnya bagaimana table manner dalam beberapa budaya terjadi. Lantas pertanyaanya adalah, apakah ada table manner standar yang digunakan sebagai acuan?. Kalaupun ada, apakah kita harus tunduk pada aturan itu atau tetap mempertahankan table manner lokal yang sudah dipakai saat ini, tentu saja tergantung dari budaya dan adat mana kita berasal.

Kalau boleh saya membagi secara subjektif, tiga budaya yang melahirkan acuan table manner Asia dibedakan berdasarkan jenis makanan, kebiasaan, dan juga alat makan yang digunakan. Dari klasifikasi pembagian tersebut negara kita termasuk dalam wilayah Asia tapi bukan asia daratan. Di benua Asia sendiri aturan table manner didominasi oleh setidaknya tiga kultur besar, Asia timur atau oriental, timur tengah yang kebanyakan negara berbahasa arab, dan juga Asia tenggara yang tidak termasuk dari keduanya. Jika kita melihat table manner negara timur tengah, coraknya berhubungan dengan jenis makanan yang cenderung berbentuk satuan, besar, atau disajikan dalam piring besar. Sedangkan dalam budaya Asia timur yang oriental, table manner berkelindan dengan jenis makanan yang cenderung terukur dengan porsi kecil-kecil tapi dalam jumlah banyak. Lain halnya dengan table manner yang berlaku di Asia tenggara. Beberapa negara Asia tenggara termasuk Indonesia menyajikan makanan dengan porsi yang sudah ditentukan dan umumnya berupa nasi dan juga lauk pauk, rijsttafel. Bedanya dengan sajian di Asia timur, masyarakat oriental menyajikan nasi dan lauk dalam porsi tertentu untuk setiap orang, sedangkan di asia tenggara, nasi sudah terporsi dan lauk bisa diambil sesuai selera.

Kalau kita melihat lebih jauh, budaya timur tengah memiliki table manernya dalam bentuk yang boleh dibilang kekeluargaan. Tata cara makan mereka adalah dengan menggunakan tangan. Penggunaan sendok, garpu, dan pisau sangat minimal. Hal ini karena menyesuaikan jenis makananya yang lebih mudah dikonsumsi dengan tangan. Beberapa acara jamuan makan besar dalam budaya arab terlihat menggunakan nampan besar yang berisi nasi dalam jumlah banyak. Bersamaan dengan nasi tersebut terdapat beberapa potong daging dengan bentuk besar dan juga acar khas timur tengah. Cara makannya adalah, orang duduk di lantai melingkari nampan besar tersebut dan langsung mengambil nasi dan menyuapkanya ke mulut. Tidak lupa mereka mencuil potongan daging besar tersebut. Tanpa garpu, pisau, dan sendok. Pembagian porsi makanya bebas, orang bisa mengambil sesuka hati dan sekenyangnya.

Bagaimana dengan orang Indonesia sendiri saat makan, table manner mana yang dijadikan acuan. Begini, orang Indonesia cenderung makan dengan tangan. Awalnya mereka tidak familiar dengan penggunaan sendok dan garpu. Tapi perkembangan zaman menuntut orang untuk “beradab” menggunakan table manner yang terkesan dibuat-buat. Kenapa saya katakan dibuat-buat. Seperti yang saya bilang tadi, orang Indonesia lebih familiar makan dengan tangan, sudah itu saja. Penggunaan sendok dan garpu adalah improvisasi table manner yang biasanya digunakan saat makan di restoran dan acara jamuan makan resmi. Kesannya supaya lebih sopan dan tidak terkesan kampungan, norak. Benarkah?. Tidak juga, karena pada dasarnya orang-orang yang makan dengan sendok dan garpu itu sebenarnya juga tidak masalah jika makan dengan tangan. Dan mereka yang makan dengan tangan juga tetap dianggap sopan dalam koridor table manner yang berbeda. Saya sebut ini sebagai fenomena kepalsuan dalam ihwal per-table manner-an.

Berkaitan dengan table manner ini, saya ingin membagi cerita. Ketika kecil saya juga sudah mulai diperkenalkan table manner oleh orang tua. Pada dasarnya saya bisa makan dengan tangan dan sendok, hanya sendok, belum kombinasi antara sendok-garpu, karena saya (dan kita semua) diajarkan makan harus dengan tangan kanan, dan garpu digunakan di tangan kiri. Orang tua saya memperkenalkan table manner makan menggunakan sendok dan garpu dengan istilah “makan secara sopan santun”. Waktu itu saya belum bisa kritis bertanya. Kalau dipikir sekarang saya ingin bertanya, “penting ya makan dengan sendok-garpu?”. Saya bisa makan kenyang tanpa kedua alat itu. Lantas kenapa harus repot-repot dengan kedua alat merepotkan tersebut. Beberapa hari kemudian, orang tua saya mengajak ke jamuan makan siang resmi di suatu tempat, saya tidak ingat dimana, tapi cara makannya menggunakan sendok dan garpu. Sial pikir saya, ini hal yang saya tidak bisa. Selama makan orang tua saya kerap melihat saya dengan tatapan mengintimidasi. Mungkin karena perkara sendok-garpu yang tak fasih saya gunakan. Mereka kerap mengarahkan saya dalam bisikan begini-begitu soal cara memegang garpu. Secara garpu digunakan di tangan kiri, dan tangan kiri saya tidak terlatih untuk bekerja. Alhasil tangan kiri saya lebih banyak diam dan tangan kanan menyuap makanan masuk ke mulut. Garpu yang seharusnya digunakan untuk mendorong butiran nasi dan lauk ke dalam sendok fix tidak berfungsi. Akhirnya baru saya ketahui bahwa pengenalan table manner makan dengan sendok-garpu tersebut digunakan untuk acara jamuan resmi.

Table manner lain yang saya dapatkan adalah training makan dengan sumpit. Waktu itu kami kedatangan tamu orang jepang, sepasang kakek dan nenek. Jamuan makan diadakan lagi. Kali ini di rumah makan bernuansa oriental. Alat makan yang digunakan tidak hanya sendok-garpu, tapi juga sumpit. Saya tidak habis pikir bagaimana kakek nenek yang bicara dengan bahasa aneh tersebut makan dengan alat yang tak kalah aneh, dua bilah kayu silinder yang runcing pada salah satu ujungnya, panjangnya mungkin seukuran dengan pensil. Mereka makan dengan cepat dan sangat piawai mengapit makanan yang terhidang. Yang lebih aneh lagi, orang tua saya juga bisa menggunakan sepasang bilah coklat tersebut. Tidak pernah sebelumnya saya tahu mereka bisa mengoperasikan benda tak jelas itu. Sepulang dari jamuan makan, saya bertanya soal bilah coklat runcing tersebut. Dijawablah namanya sumpit. Baru saya tahu itu alat makan jenis baru.

Kawan, saya bersyukur karena sejak kecil sudah diperkenalkan dengan jenis makanan aneh. Salah satunya adalah jenis mie yang dimasak menggunakan jus tomat. Yang di kemudian hari saya tahu Spaghetti namanya. Sekali lagi aneh. Karena makanan yang saya kenal (dan saya tahu bisa dimakan) adalah nasi, mie instant, tempe-tahu, ikan, dan telur. Nah Spaghetti ini kelihatan berasal dari keluarga yang sama dengan mie, tapi lebih kaku. Ketika orang tua saya masak Spaghetti, mereka makan dengan garpu, tanpa sendok. Saya kepikiran untuk mencoba sumpit. Itu kali pertama saya benar-benar memegang sumpit tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Sumpit yang sepasang itu saya pegang satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Sekali lagi tatapan intimidasi tak enak membayangi. Itulah awal mula saya training keras menggunakan sumpit. Saya baru ngeh kalau sumpit, dua buah, digunakan pada satu tangan, diapit dengan dua-tiga jari. Saya ingat, setiap hari saya belajar makan dengan sumpit. Apapun jenis makananya saya menggunakan sumpit. Termasuk ketika saya makan nasi dengan sayur bayam dan ikan goreng. Butuh perjuangan mengambil butiran nasi yang berenang dalam kuah sayur bayam. Belakangan baru saya tahu tidak semua makanan bisa dimakan menggunakan sumpit. Alamaaaakkk.

Sebenarnya orang Indonesia tidak punya acuan baku bagaimana cara makan yang dianggap paling benar. Table manner ala Eropa, kalau boleh saya definisikan secara subjektif sempit adalah standar etika makan yang dianggap paling sopan selama ini, diluar itu akan dianggap tak beradab. Tapi tidak juga. Setelah dipikir, kita sering menggunakan table manner dengan sendok, garpu, dan bahkan pisau tersebut hanya untuk gaya-gayaan. Saya tidak bilang bahwa table manner semacam itu salah, tidak baik. Tidak. Dalam budaya kita, table manner dengan sendok, garpu, dan pisau tersebut adalah serapan dari budaya barat yang sudah kadung jamak dituturlakukan masyarakat. Beberapa orang mungkin merasa wah atau beradab jika makan dengan garpu dan pisau seperti saat makan steak. Lagi-lagi, ini soal jenis makanan dan alat yang digunakan untuk makan sebagai cerminan strata sosial. Pertanyaan saya, apakah salah kalau kita makan steak dengan tangan atau sendok?, saya rasa tidak. Hanya memang tidak lazim. Namun hal ini bukan berarti makan steak dengan pisau dan garpu akan membuat kita menjadi lebih bermartabat dari pada makan pecel lele dengan tangan sambil lesehan. Namun tetap saja, dengan mengetahui table manner ala barat kita akan menjadi tahu bahwa ada perbedaan kebudayaan yang salah satunya tercermin dari etika sopan santun di meja makan.

Sekali lagi perkara table manner ini adalah soal kesepakatan. Kita sepakat bahwa makan steak akan lebih ergonomis dengan pisau dan garpu, dimana daging steak harus dipotong sebelum disuap, dan bukan dicuil-cuil. Atau makan pecel lele yang menggunakan tangan, mencuci tangan dengan air kobokan, dan duduk lesehan. Semuanya sama saja. Kalau boleh saya katakan, table manner ini sebenarnya bersifat spesifik lokasi. Bisa saja sebenarnya kita makan pecel lele dengan sendok-garpu, tapi karena banyak orang yang melakukan dengan tangan, lantas cara makan dengan tangan tersebut adalah table manner yang disepakati sebagai kebenaran saat makan pecel lele. Berkaitan dengan fenomena kemunafikan atau dengan bahasa halus saya sebut sebagai kepalsuan ber-table manner, adalah cara makan dengan tools yang sebenarnya sangat “bukan kita”. Seperti yang saya bilang tadi, orang Indonesia pada dasarnya makan menggunakan tangan, dan bukan sendok-garpu apalagi pisau. Ini lebih kepada degradasi jati diri kita sebagai bangsa yang makan dengan tangan. Kalau anda melihat budaya Eropa (dimana table manner internasional berasal), cara makan dengan sendok, garpu, dan pisau tersebut adalah jati diri mereka. Kalau mereka makan menggunakan tangan, di lingkungan endemiknya, tentu akan dianggap tidak beradab, mendegradasi jati diri mereka sebagai bangsa Eropa. Bedanya kita tidak berani terang-terangan berkomentar bahwa makan dengan sendok-garpu dan pisau adalah perilaku degradasi jati diri dan budaya, apalagi menganggapnya sebagai perilaku tak beradab. Itu karena nilai gengsinya lebih tinggi dibandingkan perkara mempertahankan jati diri semata. Apalagi kalau bukan soal kepalsuan di meja makan.

Ada beberapa hal yang selama ini dianggap sebagai kebenaran mutlak ber-table manner baik dengan cara Eropa atau Indonesia. Pertama, makan dengan tangan kanan. Ini hampir menjadi kebenaran mutlak, terlebih bagi mereka yang bertangan kidal, aturan makan dengan tangan kanan tetap diberlakukan atas mereka. Kedua, makan dengan mulut tertutup, mengunyah makanan dengan tidak mencecap atau berbunyi. Satu lagi yang penting soal sopan santun di meja makan adalah posisi duduk. Ini adalah hal yang banyak orang bersepakat bahwa posisi duduk disesuaikan dengan kondisi budaya dimana table manner tersebut berlaku. Bisa duduk di kursi, bisa lesehan.

Kita patut bersyukur terlahir sebagai bangsa Indonesia yang memiliki akar budaya table manner kuat dan juga fleksible. Kuat karena dalam lingkup terkecil keluarga, table manner masih dipertahankan seperti apa adanya. Makan dengan tangan. Di sisi lain, budaya barat yang masuk dan banyak diadopsi memberi khazanah baru soal table manner internasional yang makan dengan sendok-garpu dan juga pisau. Belum lagi soal sumpit-menyumpit ala Asia timur yang sempat saya singgung tadi. Dengan banyaknya table manner yang dipelajari kita menjadi lebih fleksible dalam kondisi apapun, berbagai aturan table manner tetap fasih kita gunakan. Jika memang kita bisa makan dengan table manner ala Eropa, tak perlulah lantas memalsukan identitas kita yang sejatinya bisa makan dengan table manner lokal, makan dengan tangan.




Ilustrasi : http://www.frenchtoday.com/blog/how-to-place-your-hands-and-silverware-at-the-french-table

Senin, 23 Januari 2017

ANNELIS CHLOE, GADIS BERKULIT GELAP DAN RAMBUT KERITING PART IV







Setidaknya ada beberapa alasan mengapa K memilih negeri diatas awan sebagai tujuan menghabiskan malam tahun baru bersama Annelis. Pertama, negeri diatas awan memiliki pemandangan memukau, belum lagi tempat itu udaranya dingin. Kawan, ada banyak yang bisa dijadikan alasan seorang pria kepada perempuan yang disukainya dengan mengkambinghitamkan udara dingin, seperti menghangatkan badan. Ayolah, yang sedang kubicarakan disini adalah bakar-bakar jagung atau menumpuk lemak, kalau yang terjadi ternyata aktivitas yang berasosiasi dengan selimut ya mohon dimaafkan. Kedua, negeri diatas awan memiliki beberapa pesona keindahan monumental yaitu candi dan danau, tentu saja keduanya dikemas apik dengan landscape yang sedemikian rupa sehingga menambah romantisme percumbuan batin. Ketiga, kombinasi antara udara dingin, makanan hangat, hujan, dan juga malam tahun baru adalah kondisi sempurna ungkapan hati dalam diam. Pada kasus ini adalah K kepada Annelis, dan juga sebaliknya, karena nyatanya Annelis juga tak kuasa menolak tarikan tangan K menuju candi berselimut kabut lengkap dengan tutup kepala rubahnya.


Bulan Desember, akhir tahun 2015, di selatan cuaca cerah berawan, pagi hari semua berkumpul di salah satu rumah teman Annelis. K menahkodai mobil ukuran sedang yang biasa digunakan traveling ke luar kota, bukan mobil gunung, tapi cukup untuk mendaki bukit. Berdoalah rombongan sebelum berangkat. Perjalanan memakan waktu sedikitnya tiga jam. Itu baru sampai pom bensin terakhir, stop site dimana semua rombongan berhenti untuk menuntaskan hajat yang sedari tadi tertahan dalam kandung kemih sebelum kembali mendaki lereng Sumbing. Ngarai di kiri-kanan, kabut awan mulai menutup jalan, padahal waktu itu baru siang hari. Jalanan menemui datar, gerbang besar bertuliskan plateu menyambut kedatangan rombongan Annelis, K, dan kawan-kawanya. Belum selesai, mereka harus naik turun jalan yang waktu itu baru dalam kondisi perbaikan. Untung punggawa jalanan sedang bersahabat dan trafik naik bukit masih agak lengang, jadi rombongan dengan lancar sampai ke lokasi tujuan. Penginapan?. Jangan ditanya kawan, peak season new year eve tidak memberi jeda pada mereka yang datang terlambat. Untungnya salah satu kawan Annelis sudah jauh-jauh hari memesan penginapan yang tinggal satu kamar besar. Buang sauh akhirnya. Armada diparkir, muatan dikeluarkan, dan kaki diluruskan. Sejenak rombongan lelap dalam rehat siang sampai sore menjelang malam.


Tebangun karena bunyi lapar perut yang sudah mencapai titik nadir, mau tak mau, K dan Annelis serta kawan lainya juga melontarkan wacana klasik, “kapan kita makan”. Terbangun K oleh tepukan Annelis di pundak, “yuk makan, ni dari tadi nungguin supirnya lho, masih lelap pejam”, kata Annelis dengan wajah sayu dan lucunya yang nampak lelah. Kalau sudah menyangkut urusan perut, akan ada banyak yang dipertimbangkan. Kasus yang sama terjadi pada Annelis, K, dan rombongan. Sesudah melontarkan wacana waktu makan, isu selanjutnya yang digodok adalah soal jenis makananya, percayalah kawan, berdiplomasi soal menu makanan dengan kaum hawa bukan perkara mudah. Jika kau beri mereka opsi, tiadalah jawaban kau terima, hanya ada kata “terserah”, jelas itu tak menyelesaikan masalah. Kejadian ini menimpa para pejantan dalam rombongan, salah satunya K. Untungnya K sudah cukup fasih berada dalam kondisi seperti ini, K bahkan memiliki protokol “bagaimana meng-counter jawaban terserah wanita” saat drawing pilihan menu makanan.


Kuberitahu satu hal kawan, soal berdiplomasi dalam hal menu makanan dengan wanita, ini adalah bocoran protokol yang juga kudapatkan dari K. Jadi begini:

1. Rule number one, jika dan hanya jika perempuan bertanya “mau makan dimana?”, pastikan kau tidak memberikan pilihan terlalu banyak. Langsung saja beri mereka satu jawaban yang tidak dapat dinego. Contoh kasus :

Pr : “mau makan apa nih?”

Lk : “nasi... nasi ayam

Pr : “wah jangan lah, ada yang lain

Lk : “apa?

Pr : “terserah

Lk : “yaudah, nasi ayam itu tadi... nggak mau, cari sendiri!!!”

Pr : “................”

Yang perlu kau lakukan, kawan, langsung putuskan sesuatu, jangan memberi mereka pilihan karena itu pun tak akan berguna. Jika masih ngeyel dengan bertanya dan pertanyaan itu pun dijawab dengan “terserah”, maka segeralah berdiri dan berangkatlah menuju warung tertentu yang kelihatan layak. Wanita suka tempat yang layak meskipun para pria merasa tidak masalah jika harus lesehan di warung anyaman bambu dengan kondisi basah tak nyaman, tapi tidak dengan wanita, perhitungkan hal ini juga. Ohya, tanda seru “!!!!” dalam contoh dialog diatas bukan hanya hiasan. Itu adalah simbol ketegasan dan keharusan jika berhadapan dengan “wanita terserah” yang banyak kita temui semacam diatas.


2. Rule number two, bangkitlah, lawan, segeralah berjalan ke warung tertentu (lanjutan rule no 1), jika para pria kompak dengan cara ini, bisa dipastikan wanita akan mengikuti mereka dengan pasrah, dan keluarlah deal dalam bentuk ucapan “yaudah deh gak papa”. Setelah sampai di sebuah warung, segeralah pesan, lakukan dengan cepat, mengingat perut sudah lapar. Jika kau tunda beberapa saat lagi, kawan, mungkin wanita akan berubah pikiran. Hati-hati jika mereka berubah pikiran dan ngambek. Kalau sudah ngambek, itu level birokrasi yang sedikit lebih runyam dari urusan diplomasi menu makanan tadi.


3. Rule number three, ini adalah pengecualian jika dalam rombongan, kau menjadi satu-satunya pejantan. Posisi tawarmu akan sedikit rendah. Kemungkinan kau akan kalah voting dengan betina penguasa wilayah yang feromone-nya sudah saling sefrekuensi. Jika kau berada dalam kondisi kalah dominan seperti ini, kawan, tekanan politikmu tiada berguna. Sebab para wanita akan dengan senang hati membiarkanmu berjalan sendiri tanpa mereka. Kalau kau mengaplikasikan rule number two, “langsung bangkit dan berjalan ke warung untuk cari makan”, ada kemungkinan kau akan berjalan dalam kesendirian. Para wanita masih merasa secure karena banyak dukungan moril dari sesama betina dalam kawanan tersebut. Kalau sudah begini, nikmati saja makanmu kawan. Toh kau punya cacing pita yang harus disantuni tepat waktu. Para wanita, mereka akan tetap bergerombol menuju warung yang lain. Benar-benar sisterhood. Dan jangan coba melawan dengan diplomasi apapun, kau sudah kalah veto, walk out-mu tidak berdampak signifikan.


Dalam kasus K beserta pria dalam rombongan, “protokol diplomasi makanan” dengan wanita-wanita diatas menemui kata sepakat pada poin nomor 1 dan 2, inkracht. Maka selanjutnya yang mereka lakukan adalah memilih menu makanan yang tidak terlalu broad ranged. Tentunya nasi untuk menyumpal perut agar tetap hangat dalam kondisi cuaca yang makin malam suhunya makin turun, sekitar 59 derajat Fahrenheit. Setelah selesai bersantap, gerimis mulai mengudara. Namun tak menyurutkan langkah berjalan menikmati udara malam. Rutenya menuju candi. Tapi karena malam hari candi tidak bisa dikunjungi, pemberhentian hanya sampai toko suvenir di dekatnya. Teradapat banyak pernak-pernik lucu. Masyarakat negeri diatas awan nampaknya paham kalau peluang usaha yang hangat-hangat akan selalu laku. Pasarnya tidak akan sepi peminat meskipun inflasi dari BI diumumkan mengoyak harga cabai hingga membuat ibu rumah tangga meraung tak terima. Disitulah Annelis mendapatkan topi rubahnya, warna putih.


Dibawah rintik gerimis, K dan Annelis bercengkrama, disamping ladang kentang, dibawah temaram lampu jalan, berselimut suhu dingin yang sudah turun lagi 2 poin. Pada tahap ini, jaket sebaiknya dikancingkan rapat-rapat. Hanya K saja yang nampaknya berdarah panas, cukup dengan modal kaos dan topi hangat yang menutup telinga sudah membuatnya tak menggigil. Dalam cengkrama, K memandang wajah lucu Annelis dibawah lampu jalanan, begitu juga dengan Annelis yang makin manis di malam hari. Sebenarnya di siang hari pun Annelis nampak jelita. Entah, mungkin di mata K yang diselimuti hawa dingin dan dalam kondisi kenyang, melihat Annelis yang cantiknya “biasa saja”, K menjadi agak bego. Ditatapnya dalam-dalam sang biadari malam itu dengan syahdu. Tiada musik ala Mozzart, Schubert, atau Strauss mengiringi, hanya deru letupan kembang api memercik di angkasa yang menyaksikan K dan Annelis membagi rasa. Yang pada akhirnya dipeluklah Annelis. Tiada menolak, Annelis melingkarkan tanganya mengelilingi badan K.

dingin?”, tanya K...

iya, tapi anget peluk kamu yang badanya gede”, jawab Annelis..

“..........”, tiada menjawab, pelukan semakin dieratkan..

“.........”, tiada menolak, kepala semakin dibenamkan dalam dada K..

Sudah hampir dua jam rombongan berdiri, tanpa duduk sedikitpun karena memang kondisi bahu jalan yang basah. Dan nampaknya teman Annelis juga punya urusan sendiri dengan pasangan masing-masing sehingga tidak terlalu menghiraukan K dan Annelis yang sibuk saling menghangatkan.


Setelah dirasa lelah berdiri dan malam semakin menampakkan kepekatanya, berjalanlah rombongan ke penginapan. Kamar yang besar sudah tersedia selimut tebal mengantisipasi hipotermia. Untungnya K juga membawa sleeping bag jackwolfskin-nya yang terkenal hangat. Tempat tidur di-setting sedemikian. Sekat batas ditegakkan dengan jemuran handuk, memisahkan negara tetangga, membuat border perbatasan bak jalur Gaza yang visanya berbunyi “interupsi”. Karena salah satu negara tetangga memiliki aset cukup vital, kamar mandi. Dimana negara lainya harus mengajukan izin eksploitasi jika ingin mengaksesnya, salah-salah bisa mengusik kedaulatan dalam negeri negara tetangga. Kawan, tak perlulah terlalu detail kukisahkan bagaimana Annelis dengan K beraktivitas pada malam itu. Memang diluar hujan akhirnya mengguyur. Sayup-sayup terdengar suara dangdut is the music of my country. Dan Annelis mendapatkan sesuatu yang berbeda. Sesuatu dari K yang akan mengubah hidupnya dalam beberapa tahun ke depan. Dan Annelis nampaknya bahagia dengan hal itu. Di kemudian hari Annelis menyebutnya dengan “tragedi”, tapi dalam kisah ini aku lebih suka menuliskanya sebagai guitly pleasure. Sejenak mungkin tampak tabu dilontarkan. Tapi bagaimana perasaanmu, kawan, jika mendapatkan sesuatu sebagai “yang pertama”. Campur aduk.


Pukul lima pagi, hari pertama di tahun baru. Udara di dalam kamar tidak terlalu dingin, hangat malah, karena selimut dan sleeping bag. Annelis dan K sudah terbangun lebih dulu dari rombongan lainya. Annelis memang orang yang mudah bangun pagi, semudah itu juga dia mengantuk di pagi hari. Kebiasaan Annelis adalah terjaga di pertengahan malam, clingak-clinguk kiri kanan, melihat situasi. Diambilnya botol air, lalu minum, kemudian tidur lagi. Tapi tidak di pagi itu. Setelah membuka mata, Annelis dan K saling mengkode. Tanpa banyak suara, jaket tebal dipakai, kaos kaki, dan tentu saja topi, ya topi rubahnya Annelis. Suhu diluar mencapai titik 10oC dan berkabut, cukup syahdu untuk menyusuri jalan selagi masih sepi. Mungkin karena masih dalam suasana tahun baru, alasan untuk tidur pagi masyarakat membuat jalanan lengang. Annelis dan K menikmati udara pagi yang dingin berkabut. Berjalan menyusuri ladang kentang, bergandengan tangan, berpeluk terkadang, sekedar saling menghangatkan. Kukatakan sekali lagi kawan, udara dingin memang pantas dijadikan kambinghitam untuk perkara percintaan menye-menye semacam ini. Lucu kiranya melihat gelagat K dan Annelis yang saling meng-iya kan dalam setiap momen. Tiada canda tawa terdengar, hanya percakapan dalam sebagai ungkapan perasaan setelah semalam terjadi momen awkward. Benteng pertahanan kedua insan ini rata sudah dengan tanah. Romantika dimulai di negeri para dewa. Nanti sang Arjuna kan menjadi saksi bisu soal kemesraan picisan insan dimabuk asmara ini. Matahari sudah sepenggalah naik. Annelis dan K yang sedari tadi menggigil memutuskan kembali ke penginapan, bersembunyi dibalik selimut tebal masing-masing.


Setiap pelancong mungkin harus berterimakasih pada Oom Van Kinsbergen atas jasanya mengekskavasi bebatuan ganjil yang di kemudian hari dinobatkan sebagai kompleks candi di perbukitan negeri diatas awan. Bagaimana tidak, jika para pejabat EIC waktu itu tidak menyengaja diri piknik ke dataran tinggi ini, dan mereka tidak menemukan bongkahan mencurigakan, mungkin tidak adaceritanya Annelis dan K bisa berada di tempat itu sekarang. Matahari yang sudah semakin tinggi dan ayam jantan yang sudah mulai meraungkan alarm bilogisnya menandai waktu bersiap bagi semua rombongan. Annelis, K, dan teman-temanya bersiap untuk rute selanjutnya. Monumen keabadian para dewa. Namun sebelum itu mereka harus santap pagi terlebih dahulu, mengingat malam hari yang dingin cukup mengosongkan rongga perut. Kali ini tidak ada diplomasi menu makanan. Mie Ongklok yang menjadi sajian khas dipilih. Ada banyak kedai yang menjualnya. Semuanya enak. Karena perut sudah nyaris menempel ke punggung, random sampling pun dilakukan. Apapun, yang penting makan. Segelas teh tawar panas dan tempe kemul terhidang prasmanan. Tinggal ambil. Ohya, berkardus-kadrus purwoceng terjajar di etalasi. Taukah kau kawan, ini adalah ramuan sakti yang terbuat dari tanaman Pimpinella pruatjan, dimana ramuan ini juga turut bertanggungjawab terhadap padatnya populasi penduduk di pulau Jawa.


Tidak jauh jarak tempuh menuju kompleks monumen para dewa. Lagian pada hari itu juga berkabut, diiringi gerimis rintik-rintik langkah rombongan memasuki gerbang kompleks monumen para dewa menemui pemandangan memanjakan mata. Hamparan rumput hijau yang basah karena hujan, suhu yang dingin, kabut tebal, dan juga bangunan berstruktur batu. Kalau boleh beranalogi, kawan, scene ini mirip seperti pada film India yang dulu sering kita tonton di statisun TV swasta pada jam 10 pagi. Menari, berlari, bernyanyi, sembunyi di satu pohon, dan keluar di pohon yang lain. Bedanya rombongan Annelis tidak menggunakan bala bantuan penari latar kolosal yang entah dari mana datang tiba-tiba dalam jumlah yang naudzubillah, yang bisa langsung hilang begitu saja setelah musik selesai. Tujhe dekha to yeh jaana sanam, Pyar hota hai deewana sanam, Ab kahan ye jahan jaye hum, Teri baahon mein mar jaye hum..


Begitulah rombongan berpencar sendiri-sendiri mengabadikan momenya, tidak terkecuali dengan Annelis dan K yang asik memadu romansa dikelilingi kabut. Maklum, kalau orang sedang dimabuk, setengah logika tanggal sudah. Namun, singkat cerita, ada kesan tersendiri yang membekas di kalbu Annelis dan K. Keduanya merasakan ada yang berbeda setelah momen berkabut itu, di hamparan rumput hijau, berkabut, di depan monumen Arjuna.


Menuju jalan pulang, rombongan menemui hambatan yang tidak mulus. Jalan ditutup karena perbaikan. Macet terjadi hingga hampir empat jam. Tidak kurang antrian kendaraan sepanjang hampir dua kilometer mengular di sepanjang lereng. Sampai akhirnya rombongan kembali dengan selamat ke kota asal. Membawa oleh-oleh, dan juga kenangan.




...BERSAMBUNG...