Beberapa hari yang lalu saya sempat melihat di
timeline situs jejaring sosial. Curhatan seorang “pak guru” yang menuliskan
sepenggal kejadian yang dialami putrinya di sekolah. Pak guru ini menuliskan,
atau lebih tepatnya curhat tentang kondisi anaknya di sekolah, apa dan
bagaimana anaknya menjalani pendidikan. Tersebutlah sebuah kejadian dimana
salah seorang guru anaknya mendidik dengan cara yang kiranya patut menjadi
renungan bersama. Sebut saja si “ibu guru”, yang mengajar dengan metode -kalau bahasa
wangunnya “agak galak”-. Tentu galak disini tidak bisa serta merta
dimaknai secara harfiah sebagai bentakan, pukulan, atau kekerasan verbal. “Agak
galak” disini bisa juga diartikan sebagai sentilan guru kepada muridnya yang
bersikap tidak sesuai dengan kaidah sopan santun di dalam kelas. Masalahnya,
dalam curhatan tersebut, bu guru galak tadi menerapkan standar yang terlampau
mencekik soal aturan makan dan minum di kelas, dimana ihwal makan-minum ini
oleh pak guru (orang tua siswa) ini dianggap sebagai satu kebutuhan dasar yang
masih dalam batas wajar selama tidak mengganggu aktivitas siswa lainya. Namun yang
terjadi bu guru (yang menjadi guru anaknya pak guru, you know lah what I mean) memiliki pendapat berbeda soal
makan-minum sehingga segala bentuk aktivitas tersebut beserta turunanya adalah
perbuatan terlarang selama jam pelajaranya. Walhasil, konsekuensi perbuatan
anak pak guru yang minum di kelas tadi mendapatkan hukuman berupa kewajiban
membelikan minuman seharga minuman yang dikonsumsi, untuk seluruh teman-teman
di kelasnya..
Menanggapi cerita anaknya, pak guru dan istrinya
lantas berfikir untuk membuka wacana bagaimana sebenarnya atau sebaiknya menanggapi
makan-minum di kelas yang dilakukan oleh siswa. Dimana pada akhirnya,
makan-minum menurut pak guru dan istrinya (yang anaknya dihukum) masih dalam
batas wajar. Dan bentuk hukuman membelikan minuman kepada seluruh teman
sekelasnya merupakan hukuman yang terlampau berat, mengingat masih ada beberapa
siswa yang menjadi pemegang kartu KMS di sekolah tersebut. Misalkan kejadian
tersebut (minum dalam kelas) secara tidak sengaja dilakukan oleh siswa dengan
KMS tadi, bukankah hukuman mentraktir teman sekelasnya akan menyita dana yang
tidak sedikit..
Saya pribadi kemudian merenung setelah membaca beberapa
curhatan pak guru selanjutnya di media sosial. Saya berfikir, sebenarnya dalam
dunia pendidikan seperti apa kita hidup?. Atau lebih tepatnya, kita ini sedang
dididik dengan cara yang bagaimana?. Berkaitan dengan renungan saya tersebut,
terbesitlah pemikiran untuk tulisan ini. Singkatnya baik saya dan pak guru
diatas terpaut usia yang tidak terlampau jauh. Pak guru tersebut, sebenarnya
masih layak lah kalau saya panggil “mas”. Mengingat ada beberapa kakak sepupu
saya yang seusia denganya. Ini berhubungan dengan pola pikir pak guru tersebut
dalam menanggapi kejadian yang dialami anaknya. Sebuah pandangan yang menurut
saya cukup moderat sebagai orang tua dan pendidik di saat bersamaan. Pak guru
tersebut sempat menegur anaknya karena menyalahi aturan dengan minum di kelas. Namun
konsekuensi dari perilaku itu juga yang nampaknya perlu dipertimbangkan..
Beberapa hal yang menjadi pemikiran saya
diantaranya adalah, pertama, bagaimana pendidikan membentuk karakter kita. Tidak
dipungkiri beberapa generasi mengalami rezim Orde Baru dimana segala sesuatunya
diatur sedemikian rupa dengan sistem top-down.
Artinya segala tindakan sudah diatur, sudah di-khittah-kan dari atas, yang dibawah sebagai pelaksana tinggal sami’na wa’atho’tna. Tunduk, patuh,
tanpa mempertanyakan kebijakan yang diambil. Sistem ini terjadi di berbagai
lini kehidupan, salah satunya bidang pendidikan yang –diakui atau tidak–
bercorak semi militer. Bawahan mutlak tunduk pada atasan tanpa membantah. Bahkan
sebuah pertanyaan pun bisa menjadi indikasi perilaku subversif –meminjam istilah
Paul Mulder dalam bukunya La Cosa Nostra,
ada istilah “seni bertanya” dalam dunia mafia. Salah pertanyaan, nyawa melayang–.
Disini mungkin “bertanya” akan dianggap sama dengan “mempertanyakan” yang juga
dianggap ngeyel dan membantah..
Kedua, sehubungan dengan pengaruh rezim Orde Baru
yang mengharuskan tunduk dan patuh pada atasan (saya analogikan guru sebagai
atasan dan siswa sebagai bawahan) yang terjadi dalam waktu sangat lama, hal ini
secara langsung atau tidak turut bertanggung jawab dalam pembentukan karakter
kita sebagai manusia, lebih luasnya manusia yang hidup dalam komunitas dan
masyarakat (kita terbiasa “mengharuskan” menunduk-patuhkan orang lain
berdasarkan strata usia). Karakteristik mental “tunduk-patuh” tersebut applied pada generasi yang hidup antara
tahun 70an-90an. Orang-orang pada generasi tersebut yang saya maksud adalah
mereka yang pada tahun 70an-90an mengalami masa anak hingga dewasa (mulai 7-18
tahun), suatu masa hidup yang sudah cukup membentuk karakter manusia tentang
bagaimana dia berperilaku untuk sisa paruh kehidupan selanjutnya. Dalam dunia
pendidikan, mereka yang anak-hingga-dewasa pada tiga dekade tersebut mengalami
masa dimana guru adalah sebagai sosok yang benar-benar “digugu lan ditiru”. Artinya
semua yang dilakukan guru, baik perintah, larangan, dan nasihat adalah murni
untuk kebaikan anak didiknya, para siswa. Meski tidak sedikit yang benar-benar
kejam memarahi siswanya yang berbuat salah sedikit saja. Mungkin dari sini
terbitlah terminologi “guru killer”. Dari
guru killer tersebutlah karakter yang patuh-tunduk terbentuk dan menjadikan
seseorang selamanya bersifat demikian, dan itu berlangsung turun temurun dari
kakak kelas ke adik kelas. Senioritas-junioritas. Terus terang saya juga pernah
diajar guru seperti ini. Tidak enak rasanya. Pengen misuh-misuh. Asu..
Ketiga, sebenarnya arah pendidikan kita ini
kemana?. Banyak yang mempertanyakan arah kebijakan pendidikan negara Indonesia
tercinta ini. Sebanyak itu pula yang membandingkan dengan model pendidikan di
negara lain yang sepertinya lebih manusiawi, lebih mementingkan pengetahuan
dari pada sekedar kewajiban patuh-tunduk terhadap guru. Saya tidak mengatakan
patuh-tunduk terhadap guru adalah jelek, mental jongos inlander. Tapi tidak juga
mengajarkan untuk melawan guru. Sejatinya pendidikan adalah kita merendahkan
diri di hadapan mereka yang berilmu untuk menerima ilmu. Oleh karena itu sifat patuh-
tunduk semestinya sudah sepaket dan menjadi keharusan dalam adab menuntut ilmu.
Untuk kasus si “bu guru” yang menghukum anaknya “pak guru” diatas dalam
pandangan saya adalah bentuk karakter warisan jejak historis pendidikan gaya Orde
Baru dimana siswa harus patuh pada guru tanpa membantah, tidak boleh kritis. Diakui
atau tidak dunia pendidikan sudah berubah dewasa ini. Sudah banyak anak muda
yang mengenyam pendidikan di negeri orang. Merasakan bagaimana guru atau dosen
sangat memanusiakan siswa dan mahasiswanya. Sewaktu kuliah dosen saya kerap
bercerita bahwa di negara X yang namanya sidang tugas akhir (thesis atau
skripsi, bahkan disertasi) tak ubahnya seperti ngobrol biasa. Bahkan beberapa
sambil makan dan minum. Sangat santai. Berbeda dengan kita yang nampaknya lebih
nyaman menjadikan sesi ujian sebagai simulasi mahkamah Tuhan dimana keadilan
ditakar dari hitam-putih, benar-salah, nol atau satu, tidak ada setengah benar
atau setengah salah. Mungkin ini karena
pendidikan di negara maju sudah jauh lebih memprioritaskan peserta didiknya
untuk “harus pintar”, tentu dengan cara yang humanis (beberapa orang melihat
hal itu sebagai “pengabaian pendidikan moral”). Oleh karena itu pendidikan di
negara maju tidak jarang kita temui anak SMA masuk kelas dengan kemeja atau
bahkan kaos oblong dan celana pendek. Di musim panas bisa lebih ekstrim karena
siswi-siswinya hanya mengenakan tanktop. Mereka pintar, mereka patuh aturan,
konsekuen, dan beradab. Jikalau yang dikhawatirkan adalah akhlak yang tidak
terbentuk karena sekolahnya anak pak guru yang notabene mengusung simbol
keagamaan tertentu, ayolah, kehidupan nyata akan lebih sadis menghakimi anda
kalau berbuat salah. Di sekolah anda salah guru masih bisa menegur. Di luar
anda salah, bisa-bisa mulut anda berdarah. Jadi intinya pendidikan yang utama
menurut saya adalah pembentukan karakter. Dan ini tidak bisa serta-merta
diartikan tunduk-patuh buta pada guru dengan tidak boleh kritis bertanya. Malah
yang seperti itu menurut saya adalah guru dengan mental “gila hormat”. Ngomong-ngomong
soal tunduk-patuh, yang terjadi adalah banyak siswa yang kadang malu bertanya,
tidak berani bertanya, kurang kritis. Kenapa?. Karena kalau salah tanya
kemungkinanya hanya dua, ditertawakan, atau dimarahi. Bullying lagi. Semua yang dari guru seolah wajib diterima sebagai
kebenaran mutlak. Saya pikir inilah yang membuat dunia pendidikan kita belum
maju. Siswa bertanya akan dianggap bodoh. Lho, bukankah pengetahuan yang
berasal dari ketidaktahuan harus diawali dengan bertanya (KHA Dahlan)..
Keempat, intinya saja, pendidikan yang dikehendaki
seperti apa?. Kalau yang diinginkan adalah pintar saja, banyak kawan saya yang
pintar hanya bermodal ingatan kuat, menyalin apa yang ada di textbook ke dalam kertas ujian. Nilai 100.
Ada mereka menjadi penemu?. Mungkin. Paham apa yang dipelajari?. Saya tidak
yakin. Seberapa banyak aplikasinya dalam hidup keseharian?. Nihil barangkali. Jadi
yang namanya menyampaikan ilmu kepada siswa sebaiknya dengan cara yang lemah
lembut dan patut dicontoh. Persoalan di kelas ada siswa yang bandel, sabetan
penggaris atau tamparan verbal menurut saya tidak bisa dibenarkan.
Waktu SD saya pernah ingin bertanya tentang
pilihan ganda dalam soal THB PPKn yang jawabanya hampir mirip satu sama lain, “bu,
ini pilih jawaban yang benar atau yang sama dengan buku?”. Waktu itu soalnya
berbunyi : “jika kamu menemukan uang di jalan, apa yang harus kamu lakukan?”. Saya
pikiran wajar setiap orang mesti ingin menyimpan uang itu, dan jawaban yang
saya anggap benar adalah “menyimpanya sendiri”. Meskipun ternyata yang “sesuai
dengan buku” adalah : “mengembalikan atau menyerahkan kepada polisi”. Tapi sekali
lagi, kalau saya bertanya atau mempertanyakan hal tersebut, saya akan dimarahi.
Jadi mending saya diam. Toh saya tahu guru waktu itu juga tidak punya banyak
waktu meladeni pertanyaan ngeyel saya..
Anda yang menjalani masa anak sampai dewasa pada
dekade 70an-90an tentu tidak asing dengan penggaris kayu sepanjang satu meter
berwarna coklat mulus yang multifungsi : ya mistar, ya gebuk. Sadar atau tidak,
beberapa orang tua yang mengalami pendidikan dengan hukuman akan menjalankan metode
yang sama kepada anaknya sebagai cara mendidik dimana aturan bisa tegak kalau
ada fear factor-nya. Pendekatan semacam
ini yang saya takutkan. Ketika aturan tidak tegak, bukan pendekatan psikologis-humanis
yang dilakukan tetapi cambukan. Seorang anak yang mengalami hal itu ada
kemungkinan melakukan hal yang sama kepada orang lain, anaknya mungkin, atau
muridnya. Karena kekerasan dan hukuman adalah referensi dominan yang diketahui
saat mendidik, saat menegakkan aturan. Kalaupun ada orang yang mengalami
kekerasan dan hukuman dalam pendidikan, kemudian dia berubah, melakukan
pendidikan dengan cara yang berbeda, metode pendidikan dengan pendekatan yang
lebih manusiawi, saya yakin orang itu luar biasa. Dan semakin kesini kita makin
banyak menemukan orang bijak seperti itu yang tidak ingin terbelenggu terlalu
lama dalam dendam tiada berujung : “saya dulu dididik dengan cara ini
(hukuman), ya kamu juga saya didik begini”..
Dalam benak saya ada impian bahwa suatu saat
negara kita menjadi negara yang ramah dengan pendidikan karakter seperti yang
diimpikan banyak orang selama ini. Pendidikan karakter dimana sekolah menjadi
rumah kedua bagi siswa yang tidak ada lagi rasa khawatir untuk berbuat jujur. Tidak
ada rasa takut karena kejujuran akan kena marah. Sekolah akan menjadi tempat
diskusi bagi mereka yang kritis menyuarakan kegalauan kepada guru kimia
bagaimana caranya membuat emas, yang ditanggapi secara bijak dari sudut pandang
sains –pertanyaan yang mungkin dianggap bodoh, tapi bagi saya tidak ada
pertanyaan bodoh-. Sekolah akan menjadi tempat bagi siswa yang kritis
menanyakan kepada guru agama bagaimana rupa Tuhan itu, yang juga ditanggapi
secara bijak tanpa menjustifikasi si siswa karena dianggap mengalami
pendangkalan akidah –justru kalau tidak dijawab dengan benar, siswa akan
mencari jawaban sendiri yang hasilnya mungkin lebih ngeri-. Sekolah akan
menjadi tempat bertanya yang menyenangkan soal kenapa komunis itu tidak baik,
kepada guru kewarganegaraan dan sosiologi –yang ditanggapi dengan bijak melalui
pendekatan yang berbasis hikmah wal
mauidhotil hasanah. Sekolah akan menjadi tempat mengadu kepada guru
matematika tentang bagaimana menyelesaikan diferensiasi dalam bingkai Cartesius
–yang akan dijawab sampai siswa tersebut paham–. Sekolah akan menjadi tempat bertanya siswa
yang kritis kepada guru biologi soal bagaimana pria berpenis kecil bisa sukses
punya anak, yang ditanggapi dengan kacamata kedewasaan berfikir logis dan ilmiah
–percayalah saya tidak sedang membahas soal film ikeh-ikeh yang bintangnya sempat hits sewaktu saya SMA, (Cuma suaranya
saja yang bagus, film seperti itu banyak sensosrnya)–.
Sekolah akan menjadi.......
Sekolah akan menjadi.......
Ah sudahlah, mungkin seratus tahun lagi......
SEKIAN