Kamis, 09 Februari 2017

SEKOLAHAN ITU.....



Beberapa hari yang lalu saya sempat melihat di timeline situs jejaring sosial. Curhatan seorang “pak guru” yang menuliskan sepenggal kejadian yang dialami putrinya di sekolah. Pak guru ini menuliskan, atau lebih tepatnya curhat tentang kondisi anaknya di sekolah, apa dan bagaimana anaknya menjalani pendidikan. Tersebutlah sebuah kejadian dimana salah seorang guru anaknya mendidik dengan cara yang kiranya patut menjadi renungan bersama. Sebut saja si “ibu guru”, yang mengajar dengan metode -kalau bahasa wangunnya “agak galak”-. Tentu galak disini tidak bisa serta merta dimaknai secara harfiah sebagai bentakan, pukulan, atau kekerasan verbal. “Agak galak” disini bisa juga diartikan sebagai sentilan guru kepada muridnya yang bersikap tidak sesuai dengan kaidah sopan santun di dalam kelas. Masalahnya, dalam curhatan tersebut, bu guru galak tadi menerapkan standar yang terlampau mencekik soal aturan makan dan minum di kelas, dimana ihwal makan-minum ini oleh pak guru (orang tua siswa) ini dianggap sebagai satu kebutuhan dasar yang masih dalam batas wajar selama tidak mengganggu aktivitas siswa lainya. Namun yang terjadi bu guru (yang menjadi guru anaknya pak guru, you know lah what I mean) memiliki pendapat berbeda soal makan-minum sehingga segala bentuk aktivitas tersebut beserta turunanya adalah perbuatan terlarang selama jam pelajaranya. Walhasil, konsekuensi perbuatan anak pak guru yang minum di kelas tadi mendapatkan hukuman berupa kewajiban membelikan minuman seharga minuman yang dikonsumsi, untuk seluruh teman-teman di kelasnya..


Menanggapi cerita anaknya, pak guru dan istrinya lantas berfikir untuk membuka wacana bagaimana sebenarnya atau sebaiknya menanggapi makan-minum di kelas yang dilakukan oleh siswa. Dimana pada akhirnya, makan-minum menurut pak guru dan istrinya (yang anaknya dihukum) masih dalam batas wajar. Dan bentuk hukuman membelikan minuman kepada seluruh teman sekelasnya merupakan hukuman yang terlampau berat, mengingat masih ada beberapa siswa yang menjadi pemegang kartu KMS di sekolah tersebut. Misalkan kejadian tersebut (minum dalam kelas) secara tidak sengaja dilakukan oleh siswa dengan KMS tadi, bukankah hukuman mentraktir teman sekelasnya akan menyita dana yang tidak sedikit..


Saya pribadi kemudian merenung setelah membaca beberapa curhatan pak guru selanjutnya di media sosial. Saya berfikir, sebenarnya dalam dunia pendidikan seperti apa kita hidup?. Atau lebih tepatnya, kita ini sedang dididik dengan cara yang bagaimana?. Berkaitan dengan renungan saya tersebut, terbesitlah pemikiran untuk tulisan ini. Singkatnya baik saya dan pak guru diatas terpaut usia yang tidak terlampau jauh. Pak guru tersebut, sebenarnya masih layak lah kalau saya panggil “mas”. Mengingat ada beberapa kakak sepupu saya yang seusia denganya. Ini berhubungan dengan pola pikir pak guru tersebut dalam menanggapi kejadian yang dialami anaknya. Sebuah pandangan yang menurut saya cukup moderat sebagai orang tua dan pendidik di saat bersamaan. Pak guru tersebut sempat menegur anaknya karena menyalahi aturan dengan minum di kelas. Namun konsekuensi dari perilaku itu juga yang nampaknya perlu dipertimbangkan..


Beberapa hal yang menjadi pemikiran saya diantaranya adalah, pertama, bagaimana pendidikan membentuk karakter kita. Tidak dipungkiri beberapa generasi mengalami rezim Orde Baru dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa dengan sistem top-down. Artinya segala tindakan sudah diatur, sudah di-khittah-kan dari atas, yang dibawah sebagai pelaksana tinggal sami’na wa’atho’tna. Tunduk, patuh, tanpa mempertanyakan kebijakan yang diambil. Sistem ini terjadi di berbagai lini kehidupan, salah satunya bidang pendidikan yang –diakui atau tidak– bercorak semi militer. Bawahan mutlak tunduk pada atasan tanpa membantah. Bahkan sebuah pertanyaan pun bisa menjadi indikasi perilaku subversif –meminjam istilah Paul Mulder dalam bukunya La Cosa Nostra, ada istilah “seni bertanya” dalam dunia mafia. Salah pertanyaan, nyawa melayang–. Disini mungkin “bertanya” akan dianggap sama dengan “mempertanyakan” yang juga dianggap ngeyel dan membantah..


Kedua, sehubungan dengan pengaruh rezim Orde Baru yang mengharuskan tunduk dan patuh pada atasan (saya analogikan guru sebagai atasan dan siswa sebagai bawahan) yang terjadi dalam waktu sangat lama, hal ini secara langsung atau tidak turut bertanggung jawab dalam pembentukan karakter kita sebagai manusia, lebih luasnya manusia yang hidup dalam komunitas dan masyarakat (kita terbiasa “mengharuskan” menunduk-patuhkan orang lain berdasarkan strata usia). Karakteristik mental “tunduk-patuh” tersebut applied pada generasi yang hidup antara tahun 70an-90an. Orang-orang pada generasi tersebut yang saya maksud adalah mereka yang pada tahun 70an-90an mengalami masa anak hingga dewasa (mulai 7-18 tahun), suatu masa hidup yang sudah cukup membentuk karakter manusia tentang bagaimana dia berperilaku untuk sisa paruh kehidupan selanjutnya. Dalam dunia pendidikan, mereka yang anak-hingga-dewasa pada tiga dekade tersebut mengalami masa dimana guru adalah sebagai sosok yang benar-benar “digugu lan ditiru”. Artinya semua yang dilakukan guru, baik perintah, larangan, dan nasihat adalah murni untuk kebaikan anak didiknya, para siswa. Meski tidak sedikit yang benar-benar kejam memarahi siswanya yang berbuat salah sedikit saja. Mungkin dari sini terbitlah terminologi “guru killer”. Dari guru killer tersebutlah karakter yang patuh-tunduk terbentuk dan menjadikan seseorang selamanya bersifat demikian, dan itu berlangsung turun temurun dari kakak kelas ke adik kelas. Senioritas-junioritas. Terus terang saya juga pernah diajar guru seperti ini. Tidak enak rasanya. Pengen misuh-misuh. Asu..


Ketiga, sebenarnya arah pendidikan kita ini kemana?. Banyak yang mempertanyakan arah kebijakan pendidikan negara Indonesia tercinta ini. Sebanyak itu pula yang membandingkan dengan model pendidikan di negara lain yang sepertinya lebih manusiawi, lebih mementingkan pengetahuan dari pada sekedar kewajiban patuh-tunduk terhadap guru. Saya tidak mengatakan patuh-tunduk terhadap guru adalah jelek, mental jongos inlander. Tapi tidak juga mengajarkan untuk melawan guru. Sejatinya pendidikan adalah kita merendahkan diri di hadapan mereka yang berilmu untuk menerima ilmu. Oleh karena itu sifat patuh- tunduk semestinya sudah sepaket dan menjadi keharusan dalam adab menuntut ilmu. Untuk kasus si “bu guru” yang menghukum anaknya “pak guru” diatas dalam pandangan saya adalah bentuk karakter warisan jejak historis pendidikan gaya Orde Baru dimana siswa harus patuh pada guru tanpa membantah, tidak boleh kritis. Diakui atau tidak dunia pendidikan sudah berubah dewasa ini. Sudah banyak anak muda yang mengenyam pendidikan di negeri orang. Merasakan bagaimana guru atau dosen sangat memanusiakan siswa dan mahasiswanya. Sewaktu kuliah dosen saya kerap bercerita bahwa di negara X yang namanya sidang tugas akhir (thesis atau skripsi, bahkan disertasi) tak ubahnya seperti ngobrol biasa. Bahkan beberapa sambil makan dan minum. Sangat santai. Berbeda dengan kita yang nampaknya lebih nyaman menjadikan sesi ujian sebagai simulasi mahkamah Tuhan dimana keadilan ditakar dari hitam-putih, benar-salah, nol atau satu, tidak ada setengah benar atau setengah salah.  Mungkin ini karena pendidikan di negara maju sudah jauh lebih memprioritaskan peserta didiknya untuk “harus pintar”, tentu dengan cara yang humanis (beberapa orang melihat hal itu sebagai “pengabaian pendidikan moral”). Oleh karena itu pendidikan di negara maju tidak jarang kita temui anak SMA masuk kelas dengan kemeja atau bahkan kaos oblong dan celana pendek. Di musim panas bisa lebih ekstrim karena siswi-siswinya hanya mengenakan tanktop. Mereka pintar, mereka patuh aturan, konsekuen, dan beradab. Jikalau yang dikhawatirkan adalah akhlak yang tidak terbentuk karena sekolahnya anak pak guru yang notabene mengusung simbol keagamaan tertentu, ayolah, kehidupan nyata akan lebih sadis menghakimi anda kalau berbuat salah. Di sekolah anda salah guru masih bisa menegur. Di luar anda salah, bisa-bisa mulut anda berdarah. Jadi intinya pendidikan yang utama menurut saya adalah pembentukan karakter. Dan ini tidak bisa serta-merta diartikan tunduk-patuh buta pada guru dengan tidak boleh kritis bertanya. Malah yang seperti itu menurut saya adalah guru dengan mental “gila hormat”. Ngomong-ngomong soal tunduk-patuh, yang terjadi adalah banyak siswa yang kadang malu bertanya, tidak berani bertanya, kurang kritis. Kenapa?. Karena kalau salah tanya kemungkinanya hanya dua, ditertawakan, atau dimarahi. Bullying lagi. Semua yang dari guru seolah wajib diterima sebagai kebenaran mutlak. Saya pikir inilah yang membuat dunia pendidikan kita belum maju. Siswa bertanya akan dianggap bodoh. Lho, bukankah pengetahuan yang berasal dari ketidaktahuan harus diawali dengan bertanya (KHA Dahlan)..


Keempat, intinya saja, pendidikan yang dikehendaki seperti apa?. Kalau yang diinginkan adalah pintar saja, banyak kawan saya yang pintar hanya bermodal ingatan kuat, menyalin apa yang ada di textbook ke dalam kertas ujian. Nilai 100. Ada mereka menjadi penemu?. Mungkin. Paham apa yang dipelajari?. Saya tidak yakin. Seberapa banyak aplikasinya dalam hidup keseharian?. Nihil barangkali. Jadi yang namanya menyampaikan ilmu kepada siswa sebaiknya dengan cara yang lemah lembut dan patut dicontoh. Persoalan di kelas ada siswa yang bandel, sabetan penggaris atau tamparan verbal menurut saya tidak bisa dibenarkan.
Waktu SD saya pernah ingin bertanya tentang pilihan ganda dalam soal THB PPKn yang jawabanya hampir mirip satu sama lain, “bu, ini pilih jawaban yang benar atau yang sama dengan buku?”. Waktu itu soalnya berbunyi : “jika kamu menemukan uang di jalan, apa yang harus kamu lakukan?”. Saya pikiran wajar setiap orang mesti ingin menyimpan uang itu, dan jawaban yang saya anggap benar adalah “menyimpanya sendiri”. Meskipun ternyata yang “sesuai dengan buku” adalah : “mengembalikan atau menyerahkan kepada polisi”. Tapi sekali lagi, kalau saya bertanya atau mempertanyakan hal tersebut, saya akan dimarahi. Jadi mending saya diam. Toh saya tahu guru waktu itu juga tidak punya banyak waktu meladeni pertanyaan ngeyel saya..


Anda yang menjalani masa anak sampai dewasa pada dekade 70an-90an tentu tidak asing dengan penggaris kayu sepanjang satu meter berwarna coklat mulus yang multifungsi : ya mistar, ya gebuk. Sadar atau tidak, beberapa orang tua yang mengalami pendidikan dengan hukuman akan menjalankan metode yang sama kepada anaknya sebagai cara mendidik dimana aturan bisa tegak kalau ada fear factor-nya. Pendekatan semacam ini yang saya takutkan. Ketika aturan tidak tegak, bukan pendekatan psikologis-humanis yang dilakukan tetapi cambukan. Seorang anak yang mengalami hal itu ada kemungkinan melakukan hal yang sama kepada orang lain, anaknya mungkin, atau muridnya. Karena kekerasan dan hukuman adalah referensi dominan yang diketahui saat mendidik, saat menegakkan aturan. Kalaupun ada orang yang mengalami kekerasan dan hukuman dalam pendidikan, kemudian dia berubah, melakukan pendidikan dengan cara yang berbeda, metode pendidikan dengan pendekatan yang lebih manusiawi, saya yakin orang itu luar biasa. Dan semakin kesini kita makin banyak menemukan orang bijak seperti itu yang tidak ingin terbelenggu terlalu lama dalam dendam tiada berujung : “saya dulu dididik dengan cara ini (hukuman), ya kamu juga saya didik begini”..


Dalam benak saya ada impian bahwa suatu saat negara kita menjadi negara yang ramah dengan pendidikan karakter seperti yang diimpikan banyak orang selama ini. Pendidikan karakter dimana sekolah menjadi rumah kedua bagi siswa yang tidak ada lagi rasa khawatir untuk berbuat jujur. Tidak ada rasa takut karena kejujuran akan kena marah. Sekolah akan menjadi tempat diskusi bagi mereka yang kritis menyuarakan kegalauan kepada guru kimia bagaimana caranya membuat emas, yang ditanggapi secara bijak dari sudut pandang sains –pertanyaan yang mungkin dianggap bodoh, tapi bagi saya tidak ada pertanyaan bodoh-. Sekolah akan menjadi tempat bagi siswa yang kritis menanyakan kepada guru agama bagaimana rupa Tuhan itu, yang juga ditanggapi secara bijak tanpa menjustifikasi si siswa karena dianggap mengalami pendangkalan akidah –justru kalau tidak dijawab dengan benar, siswa akan mencari jawaban sendiri yang hasilnya mungkin lebih ngeri-. Sekolah akan menjadi tempat bertanya yang menyenangkan soal kenapa komunis itu tidak baik, kepada guru kewarganegaraan dan sosiologi –yang ditanggapi dengan bijak melalui pendekatan yang berbasis hikmah wal mauidhotil hasanah. Sekolah akan menjadi tempat mengadu kepada guru matematika tentang bagaimana menyelesaikan diferensiasi dalam bingkai Cartesius –yang akan dijawab sampai siswa tersebut paham–.  Sekolah akan menjadi tempat bertanya siswa yang kritis kepada guru biologi soal bagaimana pria berpenis kecil bisa sukses punya anak, yang ditanggapi dengan kacamata kedewasaan berfikir logis dan ilmiah –percayalah saya tidak sedang membahas soal film ikeh-ikeh yang bintangnya sempat hits sewaktu saya SMA, (Cuma suaranya saja yang bagus, film seperti itu banyak sensosrnya)–.


Sekolah akan menjadi.......


Sekolah akan menjadi.......


Ah sudahlah, mungkin seratus tahun lagi......



SEKIAN