Selasa, 28 Maret 2017

HARUSKAH KITA BERKOMPETISI





Sedari usia dini secara sadar atau tidak kita sudah dibiasakan berkompetisi dalam lingkup terkecil. Mulai dari keluarga, ada saja yang membandingkan kita dengan saudara kita, kakak, atau adik, terutama soal tatakrama dan tuturlaku, sopan santun, cara makan, kebiasaan baik, dan sebagainya. Di tingkat yang sedikit lebih tinggi, masa sekolah membuat suasana persaingan tidak berkurang. Kalau di rumah anda dibandingkan dengan saudara kandung, di sekolah ada banyak teman yang jadi sasaran untuk anda diperbandingkan dengan mereka. Tentu saja dalam lingkup sekolah, prestasi akademik menjadi komoditas yang paling laku. Kompetisi semacam ini akan terus bertambah seiring bertambahnya usia. Semakin tua (karena dewasa adalah pilihan, dan kompetisi yang tidak dewasa juga banyak) kita akan semakin dihadapkan pada kompetisi dan persaingan yang makin runyam ihwalnya. Tidak hanya soal nilai ulangan matematika atau sudah bisa makan dengan tangan kanan, tapi kemampuan akademik, performa sosial, hingga masalah kemapanan finansial seolah tak ada habisnya menjadi objek komparasi..


Anehnya, mereka yang memperbandingkan objek-objek diatas adalah yang kita sebut sebagai penonton. Jadi sebenarnya kita sedang memuaskan penonton yang tidak menanggung resiko apapun. Yang bergulat di dalamnya ya si A dengan si B. Paham maksudnya?. Begini, jika anda sebagai A sedang dibandingkan dengan B untuk nilai ulangan matematika, secara tidak langsung anda sedang berkompetisi dengan B. Lantas apa untungnya buat anda?. Jika anda memang memiliki mental kompetitif itu tidak jadi soal karena anda memang gairah hidup anda berasal dari situ. Tapi kalau tidak??. Haruskah anda berkompetisi untuk nilai ulangan matematika? Atau, haruskah setiap orang memiliki mental kompetitif? Haruskah setiap orang berkompetisi untuk segala hal hanya untuk menyenangkan orang lain?. Mirip gladiator bukan..


Itu baru satu contoh perkara nilai ulangan matematika yang sudah sejak zaman orde baru menjadi tolok ukur “kepintaran” siswa di sekolah, belum soal performa kerja atau paling tidak performa mahasiswa di kampus. Tidak jarang kita lihat ada mahasiswa aktivis yang berapi-api ikut kegiatan kemahasiswaan dengan tetap mempertahankan IPK cemerlang, mengagumkan bukan. Tapi apakah orang seperti itu harus kita ikuti?..


Sekali lagi, kita dilahirkan sebagai manusia dengan bakat berbeda dan kapasitas diri yang berbeda pula. Kita adalah kita, dan tidak perlu menjadi orang lain hanya untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu. Mungkin beberapa dari anda kurang setuju dengan kalimat ini karena untuk mendapatkan prestasi tertentu anda memang dituntut untuk “menyenangkan” pihak-pihak yang berkepentingan. Paham yang saya maksud kan..


Terkait dengan hasrat berkompetisi, sebetulnya ini adalah bawaan manusia sedari zaman prasejarah. Namun apakah harus dengan menjadikan sifat tamak sebagai satu-satunya landasan fundamental manusia untuk saling berkompetisi. Tidakkah cukup dengan makan tiga kali sehari atau mendapat nilai 7 untuk matematika seyogyanya sudah dirasa cukup. Lantas apa untungnya kita saling berkompetisi? Apa untungnya orang tua mengajarkan pada anaknya dan menanamkan hasrat ingin berkompetisi semenjak kecil. Efek didikan kompetitif ini tidak jarang tumbuh subur hingga sang anak dewasa, sialnya konotasi watak kompetitif hadir dalam makna buruk. Selalu akan ada rasa tidak mau dikalahkan oleh orang lain. Lebih parah, orang lain tidak boleh ada yang menyamainya. Dalam hal apapun. Ya, apapun. Bahkan sifat kompetitif ini tumbuh beriringan dengan rasa dengki yang membuat tidak mau disaingi hingga menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan pesaingnya. Sampai pada tahap ini hasrat kompetitif tidak lagi menjadi trigger utama persaingan, tapi lebih kepada kebencian yang menjadi penggerak utama seseorang untuk mempertahankan status quo-nya bercokol di jajaran teratas puncak prestasi. Lebih jauh, timbul sifat jumawa yang tidak bisa dipungkiri menjadi power syndrome dan membuat orang haus sanjungan. Apa saya salah?..


Beberapa kali saya melihat atau seseorang bercerita soal persaingan di tempat kerja. Kalau yang dimaksud adalah persaingan bersih soal prestasi dan jumlah poin yang didapat mungkin masih masuk akal ya. Tapi kalau agak tricky?. Ini soal “bagaimana menjilat atasan” dengan menjegal kolega agar dapat muka dan naik jabatan. Minimal dapat kepercayaan lah dari atasan, atau dihormati senior. Singkatnya, mreeka menang dengan menjatuhkan lawan, bukan dengan naik level. Dinamika tempat kerja semacam ini menarik untuk dikaji. Tentu ada alasan kenapa orang sampai melakukan hal tersebut. Ada semacam ketidakpuasan berada di peringkat prestasi yang selama ini mereka duduki. Ada semacam perasaan (mungkin menggebu) untuk loncat ke jenjang karier yang lebih tinggi dengan cara (maaf) kotor dan tidak fair..


Ada banyak sumber dan motivator yang bilang dengan kompetisi akan meningkatkan kualitas diri karena melihat orang lain yang lebih baik dan terpacu untuk menjadi lebih baik. Itu tidak salah jika kita melihat kompetisi sebagai one on one combat, fair battle, atau apalah yang dirasa kompetisi berjalan diatas kertas putih bersih dengan metode persaingan yang adil. Tapi itu normatifnya. Di dunia ini kita tidak bisa berharap terlalu muluk hal itu akan terjadi. Jujur saja. Kalau persaingan adil diterapkan dengan standar yang sama – dengan asumsi semua orang diciptakan dengan potensi diri berbeda-, pada tahap tertentu akan ada seleksi alam yang mengharuskan sedikit banyak peserta gugur di sesi ini. Tidak semua orang bisa menerima kekalahan/keguguran tersebut. Inilah yang membuat beberapa orang berbuat curang untuk mencapai tujuan. Apa tujuanya? Tentu saja menyenangkan pihak tertentu seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Contoh konkritnya begini; “orang tua ingin anaknya masuk kelas IPA di SMA, tapi sebenarnya potensi anak tidak disitu. Anak tersebut akan lebih melejit saat menggoreskan kuasnya diatas kanvas, menjadi seniman. Tapi apalah arti menjadi seniman hebat di mata orang tua tersebut. Lantas si orang tua sedikit memaksakan anaknya untuk tetap masuk kelas IPA. Alhasil ada beberapa potensi yang dipaksakan. Nilai fisika yang pada dasarnya si anak mendapat 6 adalah hasil terbaik, dipaksakan untuk mendapat 7. Apa yang terjadi, mencontek, curang. Untuk apa? Supaya orang tua senang. Hasilnya? Si anak masuk kelas IPA dengan setengah hati karena memang bukan itu passion-nya. Lebih jauh, si anak tidak enjoy dengan eksistensinya di kelas IPA”. Akankah semua persamaan dan grafik ditorehkanya dengan pamahaman secara mendalam? Tidak juga. Bisa jadi dia lebih berminat menggambar anatomi lekuk tubuh manusia. Salah? Tentu saja tidak. Karena argumen ini berdasarkan pada potensi manusia yang memang tidak sama satu sama lain. Tapi dipaksakan untuk sama. Itulah corak pendidikan kita..


Kembali kepada pertanyaan mendasar, apakah kita harus berkompetisi?. Ini tergantung masing-masing pribadi. Pertama, beberapa orang yang menganggap kompetisi harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas diri. Pada titik tertentu, ketika mereka sudah mengalahkan semua kompetitor dan menjadi nomor satu, lalu apa?. Tidak ada yang tahu. Kedua, bagi mereka yang merasa tidak perlu berkompetisi juga tidak salah. Tidak semua menganggap kompetisi sebagai barang yang enak dinikmati. Sejujurnya hidup lebih tenang tanpa kompetisi. Orang semacam ini memilih bermain di ring aman. Mengamankan sumberdayanya agar tidak terbuang percuma dalam kompetisi berdarah. Namun tidak berkompetisi bukan berarti tidak mau maju. Mereka maju dengan cara lain, tanpa harus berkompetisi. Pernah dengar blue ocean strategy?. Saya rasa ini adalah cara cerdas untuk “mengelak” dari kompetisi. Dimana mereka memulai lebih dahulu, melakukan quantum leap dan membuat kompetitor seolah tertinggal dan tidak bisa mengejar. Kalau harus mengejar, diperlukan waktu dan resource yang cukup banyak. Kita mengenal pionir dalam berbagai bidang yang sekarang memiliki reputasi global. Banyak diceritakan Sir Richard Brandson-nya Virgin co itu sudah melanglang buana dan menguasai blue ocean hingga orang yang mengejarnya perlu waktu dan cost yang setara denganya. Bill Gates juga sama. Ketiga, hasrat ingin menang/berkuasa. Perasaan ini menjadi salah satu pemicu dimana seseorang merasa harus bersaing dengan orang lain untuk suatu alasan. Alasan klasik adalah perebutan sumberdaya yang sampai sekarang masih berkontribusi pada peningkatan suhu di Timur Tengah, atau kenapa paham kapitalis punya paku bumi di hampir seantero jagat. Itu contoh gampangnya..


Bagaimana menyikapi kompetisi ini?. Bagi anda yang merasa kompetisi bukan dunianya, carilah cara cerdas untuk hidup tanpa harus menggusur kepentingan orang lain. Ada banyak cara hidup dan mendapatkan penghidupan dengan tenang. Anda juga bisa mulai menanamkan rasa bersyukur pada diri sendiri terhadap apa yang dimiliki. Sifat tamak umumnya timbul dari rasa tidak puas dan selalu ingin lebih..



..Sekian..




Ilustrasi : https://triuneleadershipservices.com/running-purpose/