Sedari usia dini secara sadar atau tidak kita sudah dibiasakan berkompetisi
dalam lingkup terkecil. Mulai dari keluarga, ada saja yang membandingkan kita
dengan saudara kita, kakak, atau adik, terutama soal tatakrama dan tuturlaku,
sopan santun, cara makan, kebiasaan baik, dan sebagainya. Di tingkat yang
sedikit lebih tinggi, masa sekolah membuat suasana persaingan tidak berkurang. Kalau
di rumah anda dibandingkan dengan saudara kandung, di sekolah ada banyak teman
yang jadi sasaran untuk anda diperbandingkan dengan mereka. Tentu saja dalam
lingkup sekolah, prestasi akademik menjadi komoditas yang paling laku. Kompetisi
semacam ini akan terus bertambah seiring bertambahnya usia. Semakin tua (karena
dewasa adalah pilihan, dan kompetisi yang tidak dewasa juga banyak) kita akan
semakin dihadapkan pada kompetisi dan persaingan yang makin runyam ihwalnya. Tidak
hanya soal nilai ulangan matematika atau sudah bisa makan dengan tangan kanan,
tapi kemampuan akademik, performa sosial, hingga masalah kemapanan finansial
seolah tak ada habisnya menjadi objek komparasi..
Anehnya, mereka yang memperbandingkan objek-objek diatas adalah yang kita
sebut sebagai penonton. Jadi sebenarnya kita sedang memuaskan penonton yang
tidak menanggung resiko apapun. Yang bergulat di dalamnya ya si A dengan si B. Paham
maksudnya?. Begini, jika anda sebagai A sedang dibandingkan dengan B untuk
nilai ulangan matematika, secara tidak langsung anda sedang berkompetisi dengan
B. Lantas apa untungnya buat anda?. Jika anda memang memiliki mental kompetitif
itu tidak jadi soal karena anda memang gairah hidup anda berasal dari situ. Tapi
kalau tidak??. Haruskah anda berkompetisi untuk nilai ulangan matematika? Atau,
haruskah setiap orang memiliki mental kompetitif? Haruskah setiap orang
berkompetisi untuk segala hal hanya untuk menyenangkan orang lain?. Mirip gladiator
bukan..
Itu baru satu contoh perkara nilai ulangan matematika yang sudah sejak
zaman orde baru menjadi tolok ukur “kepintaran” siswa di sekolah, belum soal
performa kerja atau paling tidak performa mahasiswa di kampus. Tidak jarang
kita lihat ada mahasiswa aktivis yang berapi-api ikut kegiatan kemahasiswaan dengan
tetap mempertahankan IPK cemerlang, mengagumkan bukan. Tapi apakah orang
seperti itu harus kita ikuti?..
Sekali lagi, kita dilahirkan sebagai manusia dengan bakat berbeda dan
kapasitas diri yang berbeda pula. Kita adalah kita, dan tidak perlu menjadi
orang lain hanya untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu. Mungkin beberapa dari
anda kurang setuju dengan kalimat ini karena untuk mendapatkan prestasi
tertentu anda memang dituntut untuk “menyenangkan” pihak-pihak yang
berkepentingan. Paham yang saya maksud kan..
Terkait dengan hasrat berkompetisi, sebetulnya ini adalah bawaan manusia
sedari zaman prasejarah. Namun apakah harus dengan menjadikan sifat tamak
sebagai satu-satunya landasan fundamental manusia untuk saling berkompetisi. Tidakkah
cukup dengan makan tiga kali sehari atau mendapat nilai 7 untuk matematika
seyogyanya sudah dirasa cukup. Lantas apa untungnya kita saling berkompetisi? Apa
untungnya orang tua mengajarkan pada anaknya dan menanamkan hasrat ingin
berkompetisi semenjak kecil. Efek didikan kompetitif ini tidak jarang tumbuh
subur hingga sang anak dewasa, sialnya konotasi watak kompetitif hadir dalam
makna buruk. Selalu akan ada rasa tidak mau dikalahkan oleh orang lain. Lebih parah,
orang lain tidak boleh ada yang menyamainya. Dalam hal apapun. Ya, apapun. Bahkan
sifat kompetitif ini tumbuh beriringan dengan rasa dengki yang membuat tidak
mau disaingi hingga menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan pesaingnya. Sampai
pada tahap ini hasrat kompetitif tidak lagi menjadi trigger utama persaingan,
tapi lebih kepada kebencian yang menjadi penggerak utama seseorang untuk
mempertahankan status quo-nya bercokol di jajaran teratas puncak prestasi. Lebih
jauh, timbul sifat jumawa yang tidak bisa dipungkiri menjadi power syndrome dan
membuat orang haus sanjungan. Apa saya salah?..
Beberapa kali saya melihat atau seseorang bercerita soal persaingan di
tempat kerja. Kalau yang dimaksud adalah persaingan bersih soal prestasi dan
jumlah poin yang didapat mungkin masih masuk akal ya. Tapi kalau agak tricky?. Ini
soal “bagaimana menjilat atasan” dengan menjegal kolega agar dapat muka dan
naik jabatan. Minimal dapat kepercayaan lah dari atasan, atau dihormati senior.
Singkatnya, mreeka menang dengan menjatuhkan lawan, bukan dengan naik level. Dinamika
tempat kerja semacam ini menarik untuk dikaji. Tentu ada alasan kenapa orang
sampai melakukan hal tersebut. Ada semacam ketidakpuasan berada di peringkat
prestasi yang selama ini mereka duduki. Ada semacam perasaan (mungkin menggebu)
untuk loncat ke jenjang karier yang lebih tinggi dengan cara (maaf) kotor dan
tidak fair..
Ada banyak sumber dan motivator yang bilang dengan kompetisi akan
meningkatkan kualitas diri karena melihat orang lain yang lebih baik dan
terpacu untuk menjadi lebih baik. Itu tidak salah jika kita melihat kompetisi
sebagai one on one combat, fair battle, atau apalah yang dirasa kompetisi
berjalan diatas kertas putih bersih dengan metode persaingan yang adil. Tapi itu
normatifnya. Di dunia ini kita tidak bisa berharap terlalu muluk hal itu akan
terjadi. Jujur saja. Kalau persaingan adil diterapkan dengan standar yang sama –
dengan asumsi semua orang diciptakan dengan potensi diri berbeda-, pada tahap
tertentu akan ada seleksi alam yang mengharuskan sedikit banyak peserta gugur
di sesi ini. Tidak semua orang bisa menerima kekalahan/keguguran tersebut. Inilah
yang membuat beberapa orang berbuat curang untuk mencapai tujuan. Apa tujuanya?
Tentu saja menyenangkan pihak tertentu seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Contoh
konkritnya begini; “orang tua ingin anaknya masuk kelas IPA di SMA, tapi
sebenarnya potensi anak tidak disitu. Anak tersebut akan lebih melejit saat
menggoreskan kuasnya diatas kanvas, menjadi seniman. Tapi apalah arti menjadi
seniman hebat di mata orang tua tersebut. Lantas si orang tua sedikit
memaksakan anaknya untuk tetap masuk kelas IPA. Alhasil ada beberapa potensi
yang dipaksakan. Nilai fisika yang pada dasarnya si anak mendapat 6 adalah
hasil terbaik, dipaksakan untuk mendapat 7. Apa yang terjadi, mencontek, curang.
Untuk apa? Supaya orang tua senang. Hasilnya? Si anak masuk kelas IPA dengan
setengah hati karena memang bukan itu passion-nya. Lebih jauh, si anak tidak
enjoy dengan eksistensinya di kelas IPA”. Akankah semua persamaan dan grafik
ditorehkanya dengan pamahaman secara mendalam? Tidak juga. Bisa jadi dia lebih
berminat menggambar anatomi lekuk tubuh manusia. Salah? Tentu saja tidak. Karena
argumen ini berdasarkan pada potensi manusia yang memang tidak sama satu sama
lain. Tapi dipaksakan untuk sama. Itulah corak pendidikan kita..
Kembali kepada pertanyaan mendasar, apakah kita harus berkompetisi?. Ini tergantung
masing-masing pribadi. Pertama, beberapa orang yang menganggap kompetisi harus
dilakukan untuk meningkatkan kualitas diri. Pada titik tertentu, ketika mereka
sudah mengalahkan semua kompetitor dan menjadi nomor satu, lalu apa?. Tidak ada
yang tahu. Kedua, bagi mereka yang merasa tidak perlu berkompetisi juga tidak
salah. Tidak semua menganggap kompetisi sebagai barang yang enak dinikmati. Sejujurnya
hidup lebih tenang tanpa kompetisi. Orang semacam ini memilih bermain di ring
aman. Mengamankan sumberdayanya agar tidak terbuang percuma dalam kompetisi
berdarah. Namun tidak berkompetisi bukan berarti tidak mau maju. Mereka maju
dengan cara lain, tanpa harus berkompetisi. Pernah dengar blue ocean strategy?.
Saya rasa ini adalah cara cerdas untuk “mengelak” dari kompetisi. Dimana mereka
memulai lebih dahulu, melakukan quantum leap dan membuat kompetitor seolah
tertinggal dan tidak bisa mengejar. Kalau harus mengejar, diperlukan waktu dan
resource yang cukup banyak. Kita mengenal pionir dalam berbagai bidang yang
sekarang memiliki reputasi global. Banyak diceritakan Sir Richard Brandson-nya
Virgin co itu sudah melanglang buana dan menguasai blue ocean hingga orang yang
mengejarnya perlu waktu dan cost yang setara denganya. Bill Gates juga sama. Ketiga,
hasrat ingin menang/berkuasa. Perasaan ini menjadi salah satu pemicu dimana
seseorang merasa harus bersaing dengan orang lain untuk suatu alasan. Alasan klasik
adalah perebutan sumberdaya yang sampai sekarang masih berkontribusi pada
peningkatan suhu di Timur Tengah, atau kenapa paham kapitalis punya paku bumi
di hampir seantero jagat. Itu contoh gampangnya..
Bagaimana menyikapi kompetisi ini?. Bagi anda yang merasa kompetisi bukan
dunianya, carilah cara cerdas untuk hidup tanpa harus menggusur kepentingan
orang lain. Ada banyak cara hidup dan mendapatkan penghidupan dengan tenang. Anda
juga bisa mulai menanamkan rasa bersyukur pada diri sendiri terhadap apa yang
dimiliki. Sifat tamak umumnya timbul dari rasa tidak puas dan selalu ingin
lebih..
..Sekian..
Ilustrasi : https://triuneleadershipservices.com/running-purpose/