Senin, 22 Mei 2017

URGENSI MENYANGGAH TULISAN DEK AFI, SEBUAH PENGAKUAN





Aku berpikir, maka Aku ada
(Rene Descartes)


Dek Afi yang sekarang sedang hits itu terkenal karena pemikiranya mendobrak arus kebanyakan remaja SMA di usianya. Dek Afi, di usianya yang 18 tahun seharusnya masih hura-hura bersama teman dan sibuk mempersiapkan masuk ke jenjang universitas dengan seabrek jadwal les mata pelajaran, namun harus sedikit merelakan waktunya bercengkrama dengan banyak orang yang terkesima oleh pendapatnya soal pemikiran agama melalui tulisanya yang berjudul “warisan”.

Bagi dek Afi, sah saja berpendapat soal agama warisan nenek moyang yang kiranya juga sudah melalui proses panjang kontemplasi (meskipun) dengan logika ala anak SMA. Yang jadi masalah adalah, beberapa pihak merasa apa yang diutarakan dek Afi ini menjadi ancaman pendangkalan aqidah dan dikhawatirkan membawa pengaruh buruk pada remaja seusianya. Sebanyak itu pula yang menyayangkan pemikiran dek Afi yang dianggap sudah tergerus aqidahnya sedari dini. Sudah tercemari benih liberalisme. Lantas ramai orang berlomba menasehatinya agar kembali ke jalan yang benar, agar mendapat hidayah.

Pemikiran out of the box semacam dek Afi ini bukan yang pertama kali saya temui. Ada banyak kawan-kawan media sosial saya yang menyuarakan kegundahan hatinya akibat kehidupan keberagamaan di Indonesia yang hampir tidak punya pakem standar. Hal ini tidak lain karena pengaruh kultural masyarakat Indonesia yang serba terbuka, menyebabkan hampir semua ideologi agama, sepaket dengan mahzab-mahzabnya, menjadi mudah diterima dan berkembang pemikiranya di kalangan orang awam dan anak muda. Semudah itu pula pemikiran kritis banyak mencuat akibat gesekan antar kelompok keagamaan yang tendensius, saling caci, merasa paling benar, dan sebagainya. Dalam kasus ini, dek Afi menjadi fenomenal karena beliau adalah siswa  SMA yang prihatin pada isu kebaragamaan di Indonesia. Masa SMA sejatinya dimana kebanyakan remaja seusianya belum berfikir sekritis itu sampai menyentuh ranah karakteristik umat beragama, kekuasaan Tuhan, dan tuntunan kitab suci –beberapa diantara kata kunci yang ditemui dalam tulisan “warisan” –.

Sebenarnya seberapa penting urgensi menyanggah tulisan pemikiran dek Afi yang sudah terlanjur dianggap racun oleh beberapa kalangan. Di satu sisi, sebagian pihak bahkan menilai tulisan dek Afi ini menggambarkan realita kehidupan beragama di Indonesia yang hampir tanpa pilihan. Kalaupun ada pilihan, akan sangat berat konsekuensinya. Saya persempit lagi, ini soal pilihan memeluk agama. Beberapa kawan saya yang memutuskan pindah keyakinan harus berurusan dengan banyak pihak terutama orang tua dan kerabat dekat. Itu belum masuk hitungan beban moral yang harus ditanggung karena mereka dinggap kafir dan murtad. Tidak sedikit orang yang “secara halus” mengkritisi tulisan dek  Afi ini ihwal isinya yang seolah mempertanyakan “mengapa kita harus beragama ini dan itu sejak lahir”, soal muatan tulisan yang lagi-lagi dianggap degradasi keimanan sehingga setiap orang dewasa yang membacanya merasa perlu dan berhak berkomentar menasehati tentu saja dengan bahasa santun nan halus hingga mudah diterima oleh dek Afi yang siswa SMA imut-imut tersebut.

Anda pasti tahu soal sanggahan orang dewasa yang memberikan nasihat pada dek Afi, dan tanggapan itu tak kalah hits-nya. Ya, sanggahan “kakak mahasiswa” Indonesia yang sedang kuliah FK di Dresden itu. Saya meminjam istilah bu Dina Sulaeman perihal penggunaan frase “kakak mahasiswa”. Saya sudah baca tulisanya, dan melihat tulisan itu dibagikan banyak kali di media sosial. Saya dan “kakak mahasiswa FK Dresden” tersebut berteman di media sosial facebook kira-kira satu tahun terakhir. Awalnya saya tertarik dengan salah satu postingan “kakak mahasiswa” yang menceritakan pengalamanya sekolah FK di Dresden. Ceritanya sangat lucu, menggambarkan bagaimana “kakak mahasiswa” sedang praktik bedah mayat dan memotong salah satu bagian cadaver hingga ada cairan yang muncrat mengenai mulutnya. Saya sangat terkesan dengan kemasan jenakanya. Saya putuskan untuk menambahkan si “kakak mahasiswa” sebagai teman hanya untuk mengikuti kelanjutan ceritanya selama kuliah FK di Dresden. Sampai pada suatu hari di bulan Desember 2016, saat sedang ramai-ramainya kasus Ahok, si “kakak mahasiswa” tersebut nampak begitu militan menyuarakan aksinya mengutuk Ahok yang dianggap menista agama, nun jauh disana dari Dresden, sebuah kota kecil di sebelah tenggara Leipzig.

Sanggahan “kakak mahasiswa” tersebut, hanya melihat dari satu sisi. Sisi yang dianggapnya benar, dan dek Afi salah. Benarkah begitu?. Bukankah kebenaran, dalam konteks adu pendapat, adalah hal yang relatif. Disini sang “kakak mahasiswa” lagi-lagi menakar pendapat dek Afi sebagai sesuatu yang salah menurut hukum/panutan/pegangan/idealisme yang dianggapnya benar. Sangat subjektif.

Saya melihat dek Afi sebagai fenomena yang sedikit lebih halus dari pada fenomena Ahok si “penista agama” (saya tidak sepenuhnya sepakat dengan istilah ini). Setidaknya ada dua sisi yang menurut saya menarik untuk dicermati, pertama saya sebut sebagai sisi kanan, sisi dimana para fanatik agama berbondong-bondong menyanggah tulisan dek Afi yang berbau pendangkalan aqidah Islam sehingga perlu diluruskan. Sisi ini melihat dan menakar dek Afi, sebagai siswa SMA, berhijab –asusmsinya dek Afi beragama Islam–, dan menghukumi tindakan dek Afi dengan hukum Islam. Semua anasir syariat macam fanatisme, hingga diksi “dapat didayah” keluar semua. Sisi ini, menurut saya, tidak memberikan tempat pada dek Afi yang punya pemikiran kritis soal keagamaan yang selama ini dianutnya. Soal keyakinan keagamaan melekat pada dirinya yang dianggap sebagai warisan orang tua seolah dek Afi memang “sebaiknya tidak punya hak memilih” agama mana yang ingin dipeluknya.

Lagi-lagi soal ketakutan dianggap murtad atau kafir oleh lingkungan dan komunitas. Saya bisa mengerti konflik batin yang dialami dek Afi bahwa seharusnya fitrah manusia berhak menentukan pilihan. Ohya, dalam analogi yang digunakan para penyanggah dek Afi tadi, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim, kalau ikut warisan orang tuanya penyembah berhala, seharusnya juga menjadi penyembah berhala. Pun demikian dengan kita. Sekiranya terlahir dalam keluarga Islam maka seharusnya menjadi Islam, sekiranya terlahir di keluarga Yahudi maka seharusnya menjadi Yahudi. Namun kenyataanya tidak demikian. Ada yang lahir di keluarga Islam namun di kemudian hari memutuskan berpindah iman. Ada yang lahir dan besar di keluarga Buddha dan di akhir hayatnya memeluk Nasrani. Dengan logika yang sama, tentunya tidak salah kalau setiap orang memeluk agama A, B, C, dan seterusnya, sebagai keputusan independen yang harus dihormati. Asumsi saya, dek Afi ingin bilang kalau ; “saya ini memeluk Islam, tapi tolong jangan anggap saya berislam karena orang tua saya Islam, saya memeluknya karena keputusan dan kesadaran sendiri”.

Kedua, adalah sisi kiri yang saya sebut sebagai pendukung dek Afi. Para pendukung ini terbagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok yang mendukung proses pemikiran kritis dan kreatif dek Afi sehingga bisa menuliskan hasil kontemplasinya yang begitu mendalam (sekali lagi dengan kadar logika anak SMA yang minim benturan dengan ideologi heterogen). Selain itu, ada juga yang mengutarakan dukungan dengan ikut menyetujui bahwa apa yang dituliskan dek Afi adalah benar adanya. Maksudnya, soal kerukukan umat beragama yang sedang terancam, dominasi mayoritas atas minoritas, dan juga masing-masing golongan yang saling merasa benar dengan merendahkan golongan lain yang dianggap berbeda.

Dari sini kita bisa semakin melihat bagaimana perang pemikiran kian memanas. Sejatinya adalah sah-sah saja bahwa seorang anak muda macam dek Afi ini punya pemikiran berbeda. Hikmahnya, dek Afi memiliki kepekaan sosial dimana logika dan perasaanya sudah bisa mejamah ranah yang sejatinya merupakan medan laga konflik ideologi orang dewasa, jauh diatas usianya.

Kalau boleh jujur, kiranya saya mengaku malu pada dek Afi yang bisa berfikir kritis soal kehidupan. Mungkin karena pengaruh perkembangan zaman dimana dulu saya belum menemui media sosial yang mampu memfasilitasi keinginan untuk show off (tentu saja untuk hal-hal positif). Sekarang, dek Afi sudah punya senjata. Media tempatnya menuangkan gagasan. Tentu saja hal baik ini bukan tanpa resiko. Akun dek Afi yang kabarnya di-suspend toh masih ramai. Ancaman pembunuhan karakter (maupun fisik). Di sisi lain, beberapa tokoh mengapresiasi keberanian dek Afi dalam menulis. Saya mengaku malu pada dek Afi, meski sebagai anak SMA, kontemplasinya soal keyakinan agama tidak bisa dipandang remeh. Itu baru keprihatinanya soal kehidupan keberagamaan Indonesia yang kian carut-marut. Saya yakin pemikiran dek Afi tidak berhenti sampai di situ. Kemampuan menulis dan keinginan kontemplasi rumit akan terus berkembang seiring bertumbuhnya dek Afi. Kelak di kehidupan kampus akan lebih sadis permainanya. Dek Afi, di usianya yang masih SMA sudah mampu menuangkan pemikiran. Sesuatu yang dulu saya tidak punya. Saya malu, mungkin anda juga perlu malu.

Akhir kata, salam hormat saya untuk dek Afi. Tetaplah kritis. Tetaplah menulis. Jangan berhenti berfikir. Dek Afi punya seribu satu alasan untuk tetap berfikir dengan nalar, mengkritisi apa-apa yang sekiranya ganjil. Ada banyak fenomena di masyarakat yang bisa jadi bahan renungan. Kami, kakak-kakakmu disini hanya bisa mendukung dari jauh melalui tulisan-tulisan sederhana. Dek Afi, jangan kau anggap sanggahan-sanggahan itu sebagai perwujudan rasa benci kami padamu. Sejatinya kami ingin membimbingmu untuk tetap bisa menuangkan gagasan terpendam. Ohya, mungkin kakakmu yang di Dresden itu juga bisa menjadi sparring partner yang layak. Cobalah berkorespondensi denganya sesekali waktu. Beliau, meskipun jauh, saya yakin punya sudut pandang yang bisa dijadikan pertimbangan. Dek Afi, menulis dan menuangkan pikiran bagaikan kencing. Jika ingin keluar banyak, seraplah yang banyak juga.

Salam..



Ilustrasi : portal islam

Selasa, 16 Mei 2017

CARA TERBAIK MERUNTUHKAN KAPITALISME ADALAH DENGAN JATUH CINTA




Love; it will not betray you, dismay or enslave you. It will set you free.
(Khalil Gibran)



Prinsip kapitalisme sering bersandar pada supply and demand yang terus mingkat seiring kepuasan manusia yang makin tak terbatas. Jika suatu target pencapaian sudah tunai, maka check point selanjutnya tidak terelakkan. Itulah kenapa kalau kita bersandar pada pemikiran kapitalisme (apalagi yang liberal), seolah tak ada habisnya waktu kita hanya untuk mengejar target-target hidup tersebut –yang kebanyakan tidak perlu-perlu amat kita harus miliki–. Lebih banyak kebutuhan tersier yang bergeser menjadi primer dan sebaliknya mengesampingkan kebutuhan pokok demi kepuasan semu. Prinsip kapitalisme menuntut untuk selalu menampilkan performa terbaik dalam tiap lini kehidupan. Bahwa wanita harus cantik dengan definisi yang dikalibrasi, kulit putih, tubuh tinggi, body ramping, rambut tergerai panjang, payudara besar, bokong berisi, dan sebagainya. Keluar dari pakem itu taraf kecantikan bisa menurun. Dan, bahwa pria sukses adalah yang rekeningnya gendut, punya kerjaan tetap, bermobil, tampil perlente, rambut klimis ala wakdoyok, dan menggandeng pasangan dengan kriteria seperti wanita yang disebutkan sebelumnya.

Perkara jatuh cinta nampaknya menafikkan semua anasir physical kapitalisme seperti yang disebut diatas. Kalau anda pernah mengalami atau melihat orang yang sedang jatuh cinta, berbagai tuntutan performa sempurna tersebut akan lebih banyak hilang. Tuhan maha adil, dan keadilan Tuhan tentu disesuaikan dengan porsi masing-masing ummat-Nya. Tidak jarang kita melihat ada wanita cantik yang memenuhi sebagian besar anasir kecantikan nyaris sempurna namun punya pasangan pria yang biasa-biasa saja, muka pas-pasan, dompet dengan isi sekedarnya, kendaraan masih roda dua, rumah ngontrak, dan kerjaan freelance. Sebaliknya, pria mapan berpasangan dengan wanita low profile juga banyak. Disinilah prinsip supply and demand kapitalisme seperti termentahkan. Mungkin berawal dari sinilah hagemoni kapitalisme di dunia berpotensi untuk digeser sedikit demi sedikit. Ya, dengan cara jatuh cinta.

Saat anda sedang jomblo, misalnya, demand anda untuk pasangan sempurna pasti ribet definisinya. Bagi pria, tentu mengidamkan wanita yang begini begitu. Bagi wanita, juga tak salah mengidamkan lelaki yang minimal mapan dalam pekerjaan dan settlement. Masalahnya supply wanita dengan kriteria yang dikehendaki (dan bersedia jadi pasangan anda) mungkin tidak banyak. Dan kalaupun ada yang pas sesuai demand anda, supply-nya akan sangat sedikit. Bisa-bisa pasangan idaman anda sudah jadi milik orang lain. Gap masalah inilah yang menyebabkan kelangkaan “pasangan idaman” terjadi. Kalau anda masih tidak mau menurunkan standar pasangan idaman ya silahkan. Tapi musuh utama supply and demand tetaplah kelangkaan.

Itu sebelum jatuh cinta. Lain ceritanya kalau anda sudah jatuh cinta. Kalau anda sudah mencintai seseorang, klik, cocok, nyaman, semua anasir demand pasangan ideal yang anda dambakan seolah terlupakan. Disini anda mulai berkompromi dengan ego. Anda akan semakin realistis (bahasa halus nya “harus tahu diri”). Kalau cukup tahu diri bahwa anda bukan tipe pria mapan namun berharap wanita high class, tentu supply and demand anda tidak akan pernah berada pada titik equilibrium, begitu juga sebaliknya anda yang wanita. Itulah mengapa self esteem penting untuk menilai seberapa kualitas anda dan seberapa kualitas pasangan ideal yang “layak anda harapkan”. Kalau berharap terlalu tinggi juga tidak baik, tidak akan ketemu sampai kapanpun.

Saat anda menemukan pasangan yang sudah klik, cocok, nyaman, syarat-syarat demand yang sebelumnya anda pasang tinggi akan ter-check dengan sendirinya. Cukuplah bagi anda pria punya gebetan (calon pasangan) yang bisa ulet di dapur, perkara kepintaran bersolek dan kelihaian bercinta bisa dipelajari di kemudian hari. Itu contoh kecilnya. Bagi anda kaum hawa, punya gebetan seorang pria rajin ibadah tentu juga masuk standar. Soal lainya seperti ketebalan dompet, jumlah digit di rekening, atau merk kendaraan roda empat, lambat laun akan menjadi nomor sekian belas.

Kalau dilihat dari kemampuan berkompromi dengan ego setelah mendapatkan pasangan, disinilah prinsip kapitalisme yang bersandar pada tuntutan performa sempurna akan runtuh dengan sendirinya. Standar kepuasan yang mengharuskan pasangan sempurna bisa sedikit diabaikan. Jatuh cinta tidak lagi harus dengan mereka yang berkantong tebal kalau dengan yang bertanggungjawab saja bisa. Jatuh cinta tidak lagi harus dengan mereka yang berdada besar kalau yang body sintal bisa membuat nyaman. Jatuh cinta tidak harus dengan mereka yang mapan soal pekerjaan kalau dengan freelance bisa punya quality time lebih banyak. Jatuh cinta tidak lagi soal supply and demand yang harus memenuhi standar tinggi.

Saat kita sudah bisa menerima pasangan apa adanya tanpa tuntutan ini itu, tanpa bersandar pada prinsip supply and demand ala kapitalisme, maka penerapan pola pikir yang seperti ini akan berpotensi meruntuhkan kapitalisme. Memang hidup perlu berkembang dan itu butuh dana, namun memaksakan tuntutan pada pasangan bukan hal yang ideal dilakukan mengingat pasangan juga manusia dengan keterbatasan pemenuhan demand. Intinya kalau anda sudah jatuh cinta, supply and demand yang didasarkan pada pola pikir kapitalisme tidak akan berkembang, faktor kenyamanan menjadi primary trigger untuk semua itu. Itulah kenapa sangat disarankan bagi anda yang suka koar-koar anti kapitalisme untuk jatuh cinta, karena cinta bisa meruntuhkan kapitalisme.

ilustrasi : www.ttatro.com