Aku
berpikir, maka Aku ada
(Rene
Descartes)
Dek Afi yang sekarang sedang hits itu terkenal karena
pemikiranya mendobrak arus kebanyakan remaja SMA di usianya. Dek Afi, di usianya
yang 18 tahun seharusnya masih hura-hura bersama teman dan sibuk mempersiapkan
masuk ke jenjang universitas dengan seabrek jadwal les mata pelajaran, namun
harus sedikit merelakan waktunya bercengkrama dengan banyak orang yang
terkesima oleh pendapatnya soal pemikiran agama melalui tulisanya yang berjudul
“warisan”.
Bagi dek Afi, sah saja berpendapat soal agama warisan
nenek moyang yang kiranya juga sudah melalui proses panjang kontemplasi
(meskipun) dengan logika ala anak SMA. Yang jadi masalah adalah, beberapa pihak
merasa apa yang diutarakan dek Afi ini menjadi ancaman pendangkalan aqidah dan
dikhawatirkan membawa pengaruh buruk pada remaja seusianya. Sebanyak itu pula
yang menyayangkan pemikiran dek Afi yang dianggap sudah tergerus aqidahnya
sedari dini. Sudah tercemari benih liberalisme. Lantas ramai orang berlomba
menasehatinya agar kembali ke jalan yang benar, agar mendapat hidayah.
Pemikiran out of the box semacam dek Afi ini bukan yang
pertama kali saya temui. Ada banyak kawan-kawan media sosial saya yang
menyuarakan kegundahan hatinya akibat kehidupan keberagamaan di Indonesia yang
hampir tidak punya pakem standar. Hal ini tidak lain karena pengaruh kultural
masyarakat Indonesia yang serba terbuka, menyebabkan hampir semua ideologi
agama, sepaket dengan mahzab-mahzabnya, menjadi mudah diterima dan berkembang
pemikiranya di kalangan orang awam dan anak muda. Semudah itu pula pemikiran
kritis banyak mencuat akibat gesekan antar kelompok keagamaan yang tendensius,
saling caci, merasa paling benar, dan sebagainya. Dalam kasus ini, dek Afi
menjadi fenomenal karena beliau adalah siswa SMA yang prihatin pada isu kebaragamaan di
Indonesia. Masa SMA sejatinya dimana kebanyakan remaja seusianya belum berfikir
sekritis itu sampai menyentuh ranah karakteristik
umat beragama, kekuasaan Tuhan,
dan tuntunan kitab suci –beberapa
diantara kata kunci yang ditemui dalam tulisan “warisan” –.
Sebenarnya seberapa penting urgensi menyanggah tulisan
pemikiran dek Afi yang sudah terlanjur dianggap racun oleh beberapa kalangan.
Di satu sisi, sebagian pihak bahkan menilai tulisan dek Afi ini menggambarkan
realita kehidupan beragama di Indonesia yang hampir tanpa pilihan. Kalaupun ada
pilihan, akan sangat berat konsekuensinya. Saya persempit lagi, ini soal
pilihan memeluk agama. Beberapa kawan saya yang memutuskan pindah keyakinan
harus berurusan dengan banyak pihak terutama orang tua dan kerabat dekat. Itu
belum masuk hitungan beban moral yang harus ditanggung karena mereka dinggap
kafir dan murtad. Tidak sedikit orang yang “secara halus” mengkritisi tulisan
dek Afi ini ihwal isinya yang seolah
mempertanyakan “mengapa kita harus beragama ini dan itu sejak lahir”, soal
muatan tulisan yang lagi-lagi dianggap degradasi keimanan sehingga setiap orang
dewasa yang membacanya merasa perlu dan berhak berkomentar menasehati tentu
saja dengan bahasa santun nan halus hingga mudah diterima oleh dek Afi yang
siswa SMA imut-imut tersebut.
Anda pasti tahu soal sanggahan orang dewasa yang
memberikan nasihat pada dek Afi, dan tanggapan itu tak kalah hits-nya. Ya,
sanggahan “kakak mahasiswa” Indonesia yang sedang kuliah FK di Dresden itu.
Saya meminjam istilah bu Dina Sulaeman perihal penggunaan frase “kakak
mahasiswa”. Saya sudah baca tulisanya, dan melihat tulisan itu dibagikan banyak
kali di media sosial. Saya dan “kakak mahasiswa FK Dresden” tersebut berteman
di media sosial facebook kira-kira satu tahun terakhir. Awalnya saya tertarik
dengan salah satu postingan “kakak mahasiswa” yang menceritakan pengalamanya
sekolah FK di Dresden. Ceritanya sangat lucu, menggambarkan bagaimana “kakak
mahasiswa” sedang praktik bedah mayat dan memotong salah satu bagian cadaver hingga ada cairan yang muncrat mengenai mulutnya. Saya sangat
terkesan dengan kemasan jenakanya. Saya putuskan untuk menambahkan si “kakak
mahasiswa” sebagai teman hanya untuk mengikuti kelanjutan ceritanya selama
kuliah FK di Dresden. Sampai pada suatu hari di bulan Desember 2016, saat
sedang ramai-ramainya kasus Ahok, si “kakak mahasiswa” tersebut nampak begitu
militan menyuarakan aksinya mengutuk Ahok yang dianggap menista agama, nun jauh
disana dari Dresden, sebuah kota kecil di sebelah tenggara Leipzig.
Sanggahan “kakak mahasiswa” tersebut, hanya melihat dari
satu sisi. Sisi yang dianggapnya benar, dan dek Afi salah. Benarkah begitu?.
Bukankah kebenaran, dalam konteks adu pendapat, adalah hal yang relatif. Disini
sang “kakak mahasiswa” lagi-lagi menakar pendapat dek Afi sebagai sesuatu yang salah
menurut hukum/panutan/pegangan/idealisme yang dianggapnya benar. Sangat
subjektif.
Saya melihat dek Afi sebagai fenomena yang sedikit lebih
halus dari pada fenomena Ahok si “penista agama” (saya tidak sepenuhnya sepakat
dengan istilah ini). Setidaknya ada dua sisi yang menurut saya menarik untuk
dicermati, pertama saya sebut sebagai sisi kanan, sisi dimana para fanatik
agama berbondong-bondong menyanggah tulisan dek Afi yang berbau pendangkalan
aqidah Islam sehingga perlu diluruskan. Sisi ini melihat dan menakar dek Afi,
sebagai siswa SMA, berhijab –asusmsinya dek Afi beragama Islam–, dan menghukumi
tindakan dek Afi dengan hukum Islam. Semua anasir syariat macam fanatisme,
hingga diksi “dapat didayah” keluar semua. Sisi ini, menurut saya, tidak memberikan
tempat pada dek Afi yang punya pemikiran kritis soal keagamaan yang selama ini
dianutnya. Soal keyakinan keagamaan melekat pada dirinya yang dianggap sebagai
warisan orang tua seolah dek Afi memang “sebaiknya tidak punya hak memilih”
agama mana yang ingin dipeluknya.
Lagi-lagi soal ketakutan dianggap murtad atau kafir oleh
lingkungan dan komunitas. Saya bisa mengerti konflik batin yang dialami dek Afi
bahwa seharusnya fitrah manusia berhak menentukan pilihan. Ohya, dalam analogi
yang digunakan para penyanggah dek Afi tadi, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim,
kalau ikut warisan orang tuanya penyembah berhala, seharusnya juga menjadi
penyembah berhala. Pun demikian dengan kita. Sekiranya terlahir dalam keluarga
Islam maka seharusnya menjadi Islam, sekiranya terlahir di keluarga Yahudi maka
seharusnya menjadi Yahudi. Namun kenyataanya tidak demikian. Ada yang lahir di
keluarga Islam namun di kemudian hari memutuskan berpindah iman. Ada yang lahir
dan besar di keluarga Buddha dan di akhir hayatnya memeluk Nasrani. Dengan
logika yang sama, tentunya tidak salah kalau setiap orang memeluk agama A, B,
C, dan seterusnya, sebagai keputusan independen yang harus dihormati. Asumsi
saya, dek Afi ingin bilang kalau ; “saya ini memeluk Islam, tapi tolong jangan
anggap saya berislam karena orang tua saya Islam, saya memeluknya karena
keputusan dan kesadaran sendiri”.
Kedua, adalah sisi kiri yang saya sebut sebagai pendukung
dek Afi. Para pendukung ini terbagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok yang
mendukung proses pemikiran kritis dan kreatif dek Afi sehingga bisa menuliskan
hasil kontemplasinya yang begitu mendalam (sekali lagi dengan kadar logika anak
SMA yang minim benturan dengan ideologi heterogen). Selain itu, ada juga yang
mengutarakan dukungan dengan ikut menyetujui bahwa apa yang dituliskan dek Afi
adalah benar adanya. Maksudnya, soal kerukukan umat beragama yang sedang
terancam, dominasi mayoritas atas minoritas, dan juga masing-masing golongan
yang saling merasa benar dengan merendahkan golongan lain yang dianggap berbeda.
Dari sini kita bisa semakin melihat bagaimana perang
pemikiran kian memanas. Sejatinya adalah sah-sah saja bahwa seorang anak muda
macam dek Afi ini punya pemikiran berbeda. Hikmahnya, dek Afi memiliki kepekaan
sosial dimana logika dan perasaanya sudah bisa mejamah ranah yang sejatinya
merupakan medan laga konflik ideologi orang dewasa, jauh diatas usianya.
Kalau boleh jujur, kiranya saya mengaku malu pada dek Afi
yang bisa berfikir kritis soal kehidupan. Mungkin karena pengaruh perkembangan
zaman dimana dulu saya belum menemui media sosial yang mampu memfasilitasi
keinginan untuk show off (tentu saja untuk hal-hal positif). Sekarang, dek Afi
sudah punya senjata. Media tempatnya menuangkan gagasan. Tentu saja hal baik
ini bukan tanpa resiko. Akun dek Afi yang kabarnya di-suspend toh masih ramai. Ancaman
pembunuhan karakter (maupun fisik). Di sisi lain, beberapa tokoh mengapresiasi
keberanian dek Afi dalam menulis. Saya mengaku malu pada dek Afi, meski sebagai
anak SMA, kontemplasinya soal keyakinan agama tidak bisa dipandang remeh. Itu
baru keprihatinanya soal kehidupan keberagamaan Indonesia yang kian carut-marut.
Saya yakin pemikiran dek Afi tidak berhenti sampai di situ. Kemampuan menulis
dan keinginan kontemplasi rumit akan terus berkembang seiring bertumbuhnya dek
Afi. Kelak di kehidupan kampus akan lebih sadis permainanya. Dek Afi, di
usianya yang masih SMA sudah mampu menuangkan pemikiran. Sesuatu yang dulu saya
tidak punya. Saya malu, mungkin anda juga perlu malu.
Akhir kata, salam hormat saya untuk dek Afi. Tetaplah
kritis. Tetaplah menulis. Jangan berhenti berfikir. Dek Afi punya seribu satu
alasan untuk tetap berfikir dengan nalar, mengkritisi apa-apa yang sekiranya
ganjil. Ada banyak fenomena di masyarakat yang bisa jadi bahan renungan. Kami,
kakak-kakakmu disini hanya bisa mendukung dari jauh melalui tulisan-tulisan
sederhana. Dek Afi, jangan kau anggap sanggahan-sanggahan itu sebagai
perwujudan rasa benci kami padamu. Sejatinya kami ingin membimbingmu untuk
tetap bisa menuangkan gagasan terpendam. Ohya, mungkin kakakmu yang di Dresden
itu juga bisa menjadi sparring partner
yang layak. Cobalah berkorespondensi denganya sesekali waktu. Beliau, meskipun
jauh, saya yakin punya sudut pandang yang bisa dijadikan pertimbangan. Dek Afi,
menulis dan menuangkan pikiran bagaikan kencing. Jika ingin keluar banyak,
seraplah yang banyak juga.
Salam..
Ilustrasi : portal islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar