Sabtu, 24 Juni 2017

MOHON MAAF LAHIR BATHIN YA ROMO PASTUR




Sidang isbat memutuskan Hilal sudah nampak pandang di ufuk dan THR sudah cair, artinya sebentar lagi lebaran. Idul Fitri identik dengan pemudik, ketupat, baju baru, dan juga pertanyaan kapan nikah. Tapi di kampung kami hal tersebut hampir tidak terlihat sumringah. Kampung kami terletak di suburban daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah ini bisa dibilang peralihan, semi desa, semi kota. Meskipun banyak rumah bagus hasil kerja merantau, budaya rural masih kental, terlebih saat lebaran.
Sepulang dari sholat ied di lapangan, warga biasanya bersalaman dengan tetangga kiri kanan sebelum lanjut ke handai taulan atau mudik ke kota satelit di sekitar DIY. Selain itu, ada beberapa sesepuh desa atau para mbah kaum yang pada momen idul fitri ini open house besar-besaran, warga juga silaturrahmi untuk sungkem (salaman mohon maaf lahir dan bathin) kepada mereka. Tentu saja dengan bahasa jawa halus (kromo inggil) ala resepsi manten adat Jawa yang saya hanya tahu beberapa kata saja, injih, mboten, dan maturnuwun.

Saya dan keluarga tak ketinggalan untuk muter silaturrahmi ke tetangga terlebih mereka yang tua-tua. Di rumahnya, pasti sudah tersedia aneka camilan bertoples-toples serta minuman warna-warni. Tidak lupa toples Astor dan Wafer, serta rengginan yang tersembunyi rapat dibalik pencitraan molek wadah biscuit Monde Butter Cookies.

Umumnya, saat sungkem kami mengucapkan “selamat idul fitri, mohon maaf lahir dan bathin, semoga amal ibadah puasa kita diterima Tuhan yang maha kuasa”. Selepas itu, para sesepuh membalas dengan doa yang sama, tentu saja masih dalam bahasa jawa halus tinggi, dimana saya butuh setidaknya 6 tahun untuk menguasai sebagian diksinya. Setelah acara salaman formal, kami dipersilahkan menikmati snack ala kadarnya. Mengingat sesepuh desa atau mbah kaum ini begitu dihormati, tamu yang datang juga antri. Kami tidak mau berlama-lama karena masih ada agenda silaturrahmi ke budhe dan simbah yang lain. Jadi kami putuskan pamit.

Saat berjalan pulang ke rumah, ada tetangga yang mendadak mengajak kami sekeluarga untuk sungkem, salaman dengan salah satu sesepuh. Namun kali ini yang akan kami temui adalah seorang pastur. Kebetulan beliau tinggal bersebelahan dinding dengan rumah kami. Namanya Romo Aloysius Siswantoro. Beliau adalah pemuka agama Katholik dan menjadi jemaat gereja Katholik di dekat rumah kami. Saya sering melihat jemaat ini jalan di pagi hari untuk ibadah subuh di gereja Katholik sambil menenteng alkitab. Suatu kali saya jogging lewat depan gereja, saya melihat para ibu-ibu paruh baya, yang juga tetangga satu RT, sedang berdiri menghadap patung Yesus tinggi besar, sembari mengatupkan tangan dan berdoa.

Ummat Katholik di kampung kami tidak banyak jumlahnya, mereka adalah orang-orang tua yang taat yang setiap pagi jalan kaki ke gereja berjarak sekitar dua kilo, untuk ibadah subuh. Sedangkan pendeta Kahtolik di kampung kami, setahu saya ada dua, salah satunya Romo Siswantoro, kami memanggilnya mbah Sis. Mbah Sis atau Romo Sis adalah lelaki tua kira-kira 60an tahun usianya. Untuk ke gereja beliau naik becak.

Kami sekeluarga jalan bersama para tetangga menuju rumah Romo Sis. Kami masuk ke rumahnya, dan ternyata Romo Sis beserta istrinya sudah berpakaian rapi dan wangi. Asumsi saya mereka sengaja berdandan menyambut tetangga yang ingin salaman di hari lebaran.

Kami bukan orang pertama yang sungkem ke Romo Sis. Sebelumnya sudah ada beberapa tetangga sekitar yang silaturrahmi ke rumah Romo, mengucapkan “mohon maaf lahir bathin”. Saya tidak tahu apakah mereka juga mengucapkan “selamat hari raya”. Tapi yang jelas saya melihat air mata mengalir deras di pipi Romo dan istrinya. Mereka nampak sangat terharu. Mungkin karena merasa masih dianggap bagian dari perayaan hari besar ummat Islam. Masih disowani (didatangi untuk silaturrahmi), bukan sebagai orang lain, tapi sebagai saudara sekampung yang dituakan, terlepas dari perbedaan agama. Karena Romo adalah orang tua, tetangga yang masih muda spontan bersalaman dengan Romo dan istrinya sembari menunduk, mencium tangan. Sedangkan yang bapak-bapak dan ibu-ibu cipika-cipiki atau berpelukan. Budaya Jawa, terutama pedesaan, mendobrak sekat batas perbedaan keyakinan. Meskipun bertuhan beda, sebagai manusia kami menghormati Romo Sis dan istrinya sebagai sesepuh kampung. Saya sendiri, ikut salaman dengan Romo. Sembari mencium tangan, saya dengan takzim mengucapkan “mohon maaf lahir bathin ya Romo Sis”.

Rumah Romo Sis terletak bersebrangan dengan rumah penarik becak yang menjadi langgananya untuk berangkat ke gereja. Pak Jumadi namanya. Berjarak empat rumah dari rumahnya pak Jumadi itulah berdiri sebuah masjid. Masjid pertama di kampung kami. Masjid yang didirikan oleh pak Pad, yang pernah saya ceritakan dalam tulisan “Mengulamakan Mereka yang Berdakwah dalam Diam”. Saya kira masjid dan rumah Romo Sis yang berdekatan adalah miniatur keberagaman beragama yang sebenar-benarnya.

Saat masuk kerumah Romo Sis, meja kursi sudah ditata, lengkap dengan snack dan minuman untuk tamu. Masih dengan linangan air mata haru, istri Romo Sis mempersilahkan kami minum. Saya menyeruput air warna hijau dalam gelas yang dugaan saya syrup Marjan rasa melon. Saya duduk menghadap Romo Sis yang bercerita kalau anaknya di Surabaya tidak bisa mudik. Saya duduk di depan Romo Sis, tepat diatas kepala beliau, menempel di dinding, ada kayu salib ukuran lumayan besar, berwarna coklat. Yesus ada disitu melihat ummatnya saling bercengkrama. Bukan saudara seiman, tapi saudara sesama manusia.

Masih di ruang tamu Romo Sis, tiba-tiba datang seorang pemuda, namanya mas Cahyo. Mas Cahyo ini juga jemaat gereja Katholik yang sama dengan Romo Sis. Mas Cahyo masuk dan salaman dengan tetangga yang hadir di ruang itu. Istri mas Cahyo yang mahmud abas (mamah muda, anak baru satu) bersalaman dengan ibu-ibu muda yang tadi sungkem dengan Romo Sis. Nangis lagi mereka. Istri mas Cahyo tersedu di pelukan salah satu ibu-ibu. Mas Cahyo sendiri terlihat  mbrambangi, sembab matanya menahan air mata yang akhirnya jatuh jua. Istri Romo Sis bercerita kalau semalam mas Cahyo memang sengaja dipanggil untuk menemani Romo dan istrinya menyambut tamu yang biasanya datang saat idul fitri. Tahun-tahun sebelumnya juga sama, tetangga banyak berdatangan sungkem ke rumah Romo Sis. Mungkin karena Romo dan Istrinya merasa canggung bersikap pada tetangga muslim yang “mohon maaf lahir bathin”, jadi perlu ditemani oleh jemaat Katholik lainya. Untuk itulah mas Cahyo dipanggil.

Duapuluh menit berselang. Akhirnya kami minta pamit pada Romo, istrinya, dan juga mas Cahyo. Para tetangga melanjutnya halal bi halal di masjid, dan kami sekeluarga bersilaturrahmi ke saudara lain.

Di masjid kampung kami, pun toleransi beragama mendapat tempat terhormat. Ummat Katholik macam Romo Sis dan mas Cahyo memang tidak berada di dalam masjid. Mereka berdiri di luar, di jalan. Pada waktunya salaman, Romo dan mas Cahyo turut mendapat bagian. Disinilah mereka nangis lagi. Tapi setelah acara salaman di masjid, perayaan yang sebenarnya baru dimulai. Nasi kotak berisi opor ayam dan ketupat terbagi rata. Semua gembira, semua bahagia.

Memang sudah sepantasnya perayaan keagamaan memberikan manfaat untuk sekitar. Mungkin selama ini saya tidak sadar kalau selogan “rahmatan lil alamin” sejatinya sudah terjadi di kampung kami.

Selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir bathin..

Jadi, kapan nikah..??


Salam..



Ilustrasi : m.tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar