Sidang isbat
memutuskan Hilal sudah nampak pandang di ufuk dan THR sudah cair, artinya
sebentar lagi lebaran. Idul Fitri identik dengan pemudik, ketupat, baju baru,
dan juga pertanyaan kapan nikah. Tapi di kampung kami hal tersebut hampir tidak
terlihat sumringah. Kampung kami terletak di suburban daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah ini bisa dibilang
peralihan, semi desa, semi kota. Meskipun banyak rumah bagus hasil kerja
merantau, budaya rural masih kental, terlebih saat lebaran.
Sepulang dari
sholat ied di lapangan, warga biasanya bersalaman dengan tetangga kiri kanan
sebelum lanjut ke handai taulan atau mudik ke kota satelit di sekitar DIY.
Selain itu, ada beberapa sesepuh desa atau para mbah kaum yang pada momen idul
fitri ini open house besar-besaran, warga juga silaturrahmi untuk sungkem (salaman mohon maaf lahir dan
bathin) kepada mereka. Tentu saja dengan bahasa jawa halus (kromo inggil) ala resepsi manten adat Jawa
yang saya hanya tahu beberapa kata saja, injih,
mboten, dan maturnuwun.
Saya dan
keluarga tak ketinggalan untuk muter silaturrahmi ke tetangga terlebih mereka
yang tua-tua. Di rumahnya, pasti sudah tersedia aneka camilan bertoples-toples
serta minuman warna-warni. Tidak lupa toples Astor dan Wafer, serta rengginan
yang tersembunyi rapat dibalik pencitraan molek wadah biscuit Monde Butter Cookies.
Umumnya, saat sungkem kami mengucapkan “selamat idul
fitri, mohon maaf lahir dan bathin, semoga amal ibadah puasa kita diterima
Tuhan yang maha kuasa”. Selepas itu, para sesepuh membalas dengan doa yang
sama, tentu saja masih dalam bahasa jawa halus tinggi, dimana saya butuh
setidaknya 6 tahun untuk menguasai sebagian diksinya. Setelah acara salaman
formal, kami dipersilahkan menikmati snack ala kadarnya. Mengingat sesepuh desa
atau mbah kaum ini begitu dihormati, tamu yang datang juga antri. Kami tidak
mau berlama-lama karena masih ada agenda silaturrahmi ke budhe dan simbah yang
lain. Jadi kami putuskan pamit.
Saat berjalan
pulang ke rumah, ada tetangga yang mendadak mengajak kami sekeluarga untuk
sungkem, salaman dengan salah satu sesepuh. Namun kali ini yang akan kami temui
adalah seorang pastur. Kebetulan beliau tinggal bersebelahan dinding dengan
rumah kami. Namanya Romo Aloysius Siswantoro. Beliau adalah pemuka agama
Katholik dan menjadi jemaat gereja Katholik di dekat rumah kami. Saya sering
melihat jemaat ini jalan di pagi hari untuk ibadah subuh di gereja Katholik
sambil menenteng alkitab. Suatu kali saya jogging lewat depan gereja, saya
melihat para ibu-ibu paruh baya, yang juga tetangga satu RT, sedang berdiri menghadap
patung Yesus tinggi besar, sembari mengatupkan tangan dan berdoa.
Ummat Katholik
di kampung kami tidak banyak jumlahnya, mereka adalah orang-orang tua yang taat
yang setiap pagi jalan kaki ke gereja berjarak sekitar dua kilo, untuk ibadah
subuh. Sedangkan pendeta Kahtolik di kampung kami, setahu saya ada dua, salah
satunya Romo Siswantoro, kami memanggilnya mbah Sis. Mbah Sis atau Romo Sis
adalah lelaki tua kira-kira 60an tahun usianya. Untuk ke gereja beliau naik
becak.
Kami sekeluarga
jalan bersama para tetangga menuju rumah Romo Sis. Kami masuk ke rumahnya, dan
ternyata Romo Sis beserta istrinya sudah berpakaian rapi dan wangi. Asumsi saya
mereka sengaja berdandan menyambut tetangga yang ingin salaman di hari lebaran.
Kami bukan orang
pertama yang sungkem ke Romo Sis. Sebelumnya sudah ada beberapa tetangga
sekitar yang silaturrahmi ke rumah Romo, mengucapkan “mohon maaf lahir bathin”.
Saya tidak tahu apakah mereka juga mengucapkan “selamat hari raya”. Tapi yang
jelas saya melihat air mata mengalir deras di pipi Romo dan istrinya. Mereka
nampak sangat terharu. Mungkin karena merasa masih dianggap bagian dari
perayaan hari besar ummat Islam. Masih disowani
(didatangi untuk silaturrahmi), bukan sebagai orang lain, tapi sebagai saudara
sekampung yang dituakan, terlepas dari perbedaan agama. Karena Romo adalah
orang tua, tetangga yang masih muda spontan bersalaman dengan Romo dan istrinya
sembari menunduk, mencium tangan. Sedangkan yang bapak-bapak dan ibu-ibu
cipika-cipiki atau berpelukan. Budaya Jawa, terutama pedesaan, mendobrak sekat
batas perbedaan keyakinan. Meskipun bertuhan beda, sebagai manusia kami
menghormati Romo Sis dan istrinya sebagai sesepuh kampung. Saya sendiri, ikut
salaman dengan Romo. Sembari mencium tangan, saya dengan takzim mengucapkan
“mohon maaf lahir bathin ya Romo Sis”.
Rumah Romo Sis
terletak bersebrangan dengan rumah penarik becak yang menjadi langgananya untuk
berangkat ke gereja. Pak Jumadi namanya. Berjarak empat rumah dari rumahnya pak
Jumadi itulah berdiri sebuah masjid. Masjid pertama di kampung kami. Masjid
yang didirikan oleh pak Pad, yang pernah saya ceritakan dalam tulisan
“Mengulamakan Mereka yang Berdakwah dalam Diam”. Saya kira masjid dan rumah
Romo Sis yang berdekatan adalah miniatur keberagaman beragama yang
sebenar-benarnya.
Saat masuk
kerumah Romo Sis, meja kursi sudah ditata, lengkap dengan snack dan minuman
untuk tamu. Masih dengan linangan air mata haru, istri Romo Sis mempersilahkan
kami minum. Saya menyeruput air warna hijau dalam gelas yang dugaan saya syrup
Marjan rasa melon. Saya duduk menghadap Romo Sis yang bercerita kalau anaknya
di Surabaya tidak bisa mudik. Saya duduk di depan Romo Sis, tepat diatas kepala
beliau, menempel di dinding, ada kayu salib ukuran lumayan besar, berwarna
coklat. Yesus ada disitu melihat ummatnya saling bercengkrama. Bukan saudara
seiman, tapi saudara sesama manusia.
Masih di ruang
tamu Romo Sis, tiba-tiba datang seorang pemuda, namanya mas Cahyo. Mas Cahyo
ini juga jemaat gereja Katholik yang sama dengan Romo Sis. Mas Cahyo masuk dan
salaman dengan tetangga yang hadir di ruang itu. Istri mas Cahyo yang mahmud
abas (mamah muda, anak baru satu) bersalaman dengan ibu-ibu muda yang tadi
sungkem dengan Romo Sis. Nangis lagi mereka. Istri mas Cahyo tersedu di pelukan
salah satu ibu-ibu. Mas Cahyo sendiri terlihat
mbrambangi, sembab matanya
menahan air mata yang akhirnya jatuh jua. Istri Romo Sis bercerita kalau
semalam mas Cahyo memang sengaja dipanggil untuk menemani Romo dan istrinya
menyambut tamu yang biasanya datang saat idul fitri. Tahun-tahun sebelumnya
juga sama, tetangga banyak berdatangan sungkem ke rumah Romo Sis. Mungkin
karena Romo dan Istrinya merasa canggung bersikap pada tetangga muslim yang
“mohon maaf lahir bathin”, jadi perlu ditemani oleh jemaat Katholik lainya.
Untuk itulah mas Cahyo dipanggil.
Duapuluh menit
berselang. Akhirnya kami minta pamit pada Romo, istrinya, dan juga mas Cahyo.
Para tetangga melanjutnya halal bi halal di masjid, dan kami sekeluarga
bersilaturrahmi ke saudara lain.
Di masjid kampung
kami, pun toleransi beragama mendapat tempat terhormat. Ummat Katholik macam
Romo Sis dan mas Cahyo memang tidak berada di dalam masjid. Mereka berdiri di
luar, di jalan. Pada waktunya salaman, Romo dan mas Cahyo turut mendapat
bagian. Disinilah mereka nangis lagi. Tapi setelah acara salaman di masjid,
perayaan yang sebenarnya baru dimulai. Nasi kotak berisi opor ayam dan ketupat
terbagi rata. Semua gembira, semua bahagia.
Memang sudah
sepantasnya perayaan keagamaan memberikan manfaat untuk sekitar. Mungkin selama
ini saya tidak sadar kalau selogan “rahmatan lil alamin” sejatinya sudah
terjadi di kampung kami.
Selamat hari
raya idul fitri. Mohon maaf lahir bathin..
Jadi, kapan
nikah..??
Salam..
Ilustrasi : m.tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar