Kamis, 16 November 2017

PARA PENDUSTA AGAMA YANG BERBANGGA




-----

Peta nasional menunjukan kaum muslim Indonesia punya kekuatan massa dan politik yang tidak bisa dianggap remeh. Setidaknya dua ormas terbesar umat islam, Muhammadiyah dan NU punya ‘ulama-ulama’ yang duduk di pemerintahan dan jabatan strategis. Itu belum termasuk para petinggi yang terdaftar sebagai anggota nahdiyin atau persyarikatan. Dengan adanya ulama Muhammadiyah dan NU ini, mestinya ummat muslim cukup daya ‘mengarahkan’ kebijakan negara, bukan melalui massa, tapi pandangan berbasis ideologi golongan. Meski berkekuatan besar, ada saja ummat muslim kecolongan karena ulah satu dua oknum yang dengan sengaja atau tidak, merusak Islam dari dalam.
-----

Mari bicara konteks ‘pendustaan agama’ dari sudut pandang Islam. Pada dasarnya frase ‘pendusta agama’ kurang akrab digunakan dalam konteks nasional karena siapa juga ummat yang dengan sengaja ingin mendustakan agamanya sendiri. Frase itu cocok digunakan di lingkup golongan yang maknanya kurang lebih sama seperti ‘penghianat’. Seorang pendusta bisa dikatakan penghianat karena perbuatanya merusak nilai agama, khususnya yang berat, fundamental, dan merugikan golongan. Lalu bagaimana seseorang bisa dianggap sebagai pendusta atau penghianat agama. Ada beberapa hal, baik tersurat maupun tersirat dalam kitab suci Al Qur’an yang menunjukkan ciri seorang pendusta agama. Bagaimanapun yang dinamakan pendusta atau penghianat adalah mereka yang hidup dalam entitas Islam tapi sejatinya membakar dari dalam.
-----

Tertulis salah satunya dalam surat Al Ma’un ayat 1-7. Al Ma’un merupakan salah satu surat pendek yang populer dibacakan ketika sholat 5 waktu. Namun, sebagai orang Islam Nusantara yang terbiasa dengan hidup gampang, simplifikasi ini terbawa saat beribadah. Entah berapa dari kita yang tiap membaca surat pendek, tahu dan paham makna yang terkandung di dalamnya. Untuk mempermudah (dan mempercepat) kadang kita hanya merapalkan –bahkan surat terpendek sekalipun– tanpa paham makna, kisah, perintah, dan peringatan di baliknya. Yang penting cepat selesai. Dalam surat Al Ma’un inilah ciri pendusta agama digambarkan dengan secara gamblang yang dengan logika terbodoh sekalipun orang mudah paham.
-----

Sehubungan dengan surat Al Ma’un yang berarti ‘barang-barang yang berguna’, disebutkan ciri pendusta agama, diantaranya mereka yang; menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, lalai dalam shalat (ibadah), riya (sombong/pamer), dan enggan menolong dengan barang berguna. Disini hendaknya dibedakan antara kata ‘mendustakan’ dan ‘kafir’ yang kadang rancu dalam konteks kehidupan sosial dan beragama. Meskipun kata kafir berarti ingkar, makna dan penggunaanya sangat luas dan tidak terbatas pada perbedaan agama dan ‘pengingkaran ketuhanan’, tapi juga pengingkaran terhadap karunia Tuhan (Allah). Artinya, dengan tidak mensyukuri karunia Tuhan saja seorang muslim layak disebut kafir.
-----

Dilihat dari kata kunci ciri pendusta agama (Islam), sebenarnya nilai yang terkandung sangat manusiawi dan memerintahkan ummat Islam untuk memanusiakan manusia. Seseorang dianggap pendusta agama (Islam) ketika perilakunya berlawanan dengan nilai kemanusiaan. Dengan ini (ciri dalam surat Al Ma’un) berarti seorang pendusta agama (Islam), di saat yang sama sedang menghianati nilai kemanusiaan itu sendiri.
-----

Akhir-akhir ini ‘kafir’ jadi kata kunci populer nasional yang digunakan untuk melabeli orang diluar Islam. Dengan beragama selain Islam, tidak serta-merta seseorang bisa dikatakan kafir. Kata kafir dalam berbagai agama artinya sangat tidak enak didengar. Tiap orang beragama sepakat bahwa predikat kafir adalah sensitif dan digunakan dalam kondisi sangat terpaksa. Ibaratnya kalau seseorang murtad dari satu agama, bolehlah dia disebut kafir. Tapi kata ini juga tidak bisa sembarangan diucapkan dan hanya dibatin dalam hati, mengingat pindah keyakinan adalah urusan pribadi dan itu sah-sah saja. Mungkin juga semua sepakat orang diluar agama tertentu juga disebut kafir. Fair enough.
-----

Kita kesampingkan dulu soal kafir dan mengkafirkan yang tiap agama punya definisi berbeda. Kita lihat bagaimana frase ‘pendusta agama’ mewakili situasi nasional. Dilihat dari kata kunci dalam surat Al Ma’un yang menggambarkan ciri pendusta agama, seseorang dengan mudah dikatakan sebagai pendusta/penghianat jika melanggar nilai kemanusiaan. Seseorang yang berlaku kasar terhadap anak yatim (piatu) masuk dalam golongan pendusta agama. Seseorang yang tidak memberi makan fakir miskin, juga pendusta. Termasuk mereka yang sibuk membangun masjid megah sementara tetangga samping rumah masih mengemis demi makan sekali sehari. Disebut pendusta juga mereka yang gemar pamer kekayaan tapi enggan menolong orang lain dengan kekayaanya. Selain itu, seorang pendusta juga mereka yang lalai beribadah. Terlihat nilai kemanusiaan lebih ditekankan. Sedangkan nilai peribadatan hanya disebutkan satu kali. Bukankah dengan ini kita diperintahkan untuk lebih bermanusia daripada sekedar beribadah, agar terhindar dari sifat pendusta.
-----

Bagaimana kalau yang terjadi adalah ‘berdusta dengan nama agama’. ini menarik, mengingat penggunaan kata sambung ‘dengan’ sempat dipermasalahkan. Saya masih ingat sekitar bulan Januari ketika preseden penodaan agama terjadi. Dengan panas dan menggebu, ribuan orang ‘memaki’ pihak yang konon dianggap menodai agama karena salah pakai kata sambung. Perkara salah ucap ini berlanjut sampai mimbar masjid; “bahwa seorang kafir di luar sana telah ‘melecehkan’ agama Islam”, katanya. Saya yang bersyukur masih dikaruniai nalar lalu berfikir, membandingkan dengan mereka yang ‘melecehkan’ agama Islam, mendustakan, dan secara sengaja ‘mengkafirkan’ diri sendiri, tapi tidak dimaki-maki. Ya, mereka itulah ummat Islam yang khianat pada nilai kemanusiaan.
-----

Sehubungan dengan ‘berdusta atas nama agama (Islam)’, bolehlah kita kaitkan dengan ‘menjual agama (Islam)’ dan mengambil keuntungan darinya. Metodenya mirip, karena kadang dusta dipakai dalam jual-beli. Preseden penodaan agama tersebut tidak lepas dari peran seseorang yang sekarang jadi pesakitan di meja hijau. Beliau ini secara tak langsung memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari situasi. Memang tidak menjual agama, tapi karena ulahnya, seseorang mendadak dikafirkan. Karenanya juga sebuah agama (Islam) kontan menjadi komoditas dagang bernilai tinggi (setelah rempah, tembakau, pendidikan, dan koneksi internet). Semua hal dengan packaging agama (Islam) akan diminati dan mudah laku.
-----

Karena momentum ini, tidak berlebihan kalau saya katakan beliau telah ‘menjual agama’ dengan cara dusta dan mengambil keuntungan. Senada dengan Al Ma’un, dalam surat Al Baqarah ayat 174 disebutkan; “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka sebenarnya tidak memakan dalam pertnya kecuali api,....”. Kalau mau fair, akan ada karma untuk penjual agama dan pendusta seperti ini.
-----

Dua bulan lamanya hampir semua mimbar berlomba membangkitkan rasa benci jamaah ibadah jumat. Mungkin menurut sebagian orang, non-muslim yang bicara tentang agama (Islam), ajaran dan komponenya, secara sok tahu, termasuk dalam perilaku penodaan agama. Tapi mereka lupa bahwa dengan menjadi Islam sendiri pendustaan terhadap agama juga kerap dilakukan. Dengan bekal preseden penodaan agama dan playing victim, banyak pihak balas pukul, menjadikan agama sebagai baju zirah. Semua ayat dikeluarkan untuk mendukung argumen dan membenarkan tindakan; “lha saya dizolimi, ya saya balas lah, apapun caranya”.
-----
 
Sekarang penoda agama sudah mendapat ganjaran dan penjual agama juga menelan karma. Sekarang saya tak pernah lagi mendengar khutbah kebencian dari mimbar soal ‘kafir penoda agama’. Nampaknya sudah cukup puas dan bangga memenangkan satu pihak dengan menjatuhkan pihak lain. Secara kasat mata terlihat bahwa memang benar agama digunakan dan dijual untuk sebuah tujuan pragmatis, apalagi kalau bukan Harta, Tahta, dan Amanda. Apakah perlilaku ini masih relevan dikatakan memanusiakan manusia sesuai nilai kemanusiaan agama.
-----

Ohya, lupa, kafir tidak perlu dimanusiakan ya...
-----

Ngopi dulu...
-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar