-----
Peta nasional menunjukan kaum
muslim Indonesia punya kekuatan massa dan politik yang tidak bisa dianggap
remeh. Setidaknya dua ormas terbesar umat islam, Muhammadiyah dan NU punya
‘ulama-ulama’ yang duduk di pemerintahan dan jabatan strategis. Itu belum
termasuk para petinggi yang terdaftar sebagai anggota nahdiyin atau
persyarikatan. Dengan adanya ulama Muhammadiyah dan NU ini, mestinya ummat
muslim cukup daya ‘mengarahkan’ kebijakan negara, bukan melalui massa, tapi
pandangan berbasis ideologi golongan. Meski berkekuatan besar, ada saja ummat
muslim kecolongan karena ulah satu dua oknum yang dengan sengaja atau tidak,
merusak Islam dari dalam.
-----
Mari bicara konteks ‘pendustaan
agama’ dari sudut pandang Islam. Pada dasarnya frase ‘pendusta agama’ kurang
akrab digunakan dalam konteks nasional karena siapa juga ummat yang dengan
sengaja ingin mendustakan agamanya sendiri. Frase itu cocok digunakan di
lingkup golongan yang maknanya kurang lebih sama seperti ‘penghianat’. Seorang
pendusta bisa dikatakan penghianat karena perbuatanya merusak nilai agama,
khususnya yang berat, fundamental, dan merugikan golongan. Lalu bagaimana
seseorang bisa dianggap sebagai pendusta atau penghianat agama. Ada beberapa
hal, baik tersurat maupun tersirat dalam kitab suci Al Qur’an yang menunjukkan
ciri seorang pendusta agama. Bagaimanapun yang dinamakan pendusta atau
penghianat adalah mereka yang hidup dalam entitas Islam tapi sejatinya membakar
dari dalam.
-----
Tertulis salah satunya dalam
surat Al Ma’un ayat 1-7. Al Ma’un merupakan salah satu surat pendek yang
populer dibacakan ketika sholat 5 waktu. Namun, sebagai orang Islam Nusantara
yang terbiasa dengan hidup gampang, simplifikasi ini terbawa saat beribadah.
Entah berapa dari kita yang tiap membaca surat pendek, tahu dan paham makna
yang terkandung di dalamnya. Untuk mempermudah (dan mempercepat) kadang kita
hanya merapalkan –bahkan surat terpendek sekalipun– tanpa paham makna, kisah,
perintah, dan peringatan di baliknya. Yang penting cepat selesai. Dalam surat
Al Ma’un inilah ciri pendusta agama digambarkan dengan secara gamblang yang
dengan logika terbodoh sekalipun orang mudah paham.
-----
Sehubungan dengan surat Al Ma’un
yang berarti ‘barang-barang yang berguna’, disebutkan ciri pendusta agama,
diantaranya mereka yang; menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang
miskin, lalai dalam shalat (ibadah), riya (sombong/pamer), dan enggan menolong
dengan barang berguna. Disini hendaknya dibedakan antara kata ‘mendustakan’ dan
‘kafir’ yang kadang rancu dalam konteks kehidupan sosial dan beragama. Meskipun
kata kafir berarti ingkar, makna dan penggunaanya sangat luas dan tidak
terbatas pada perbedaan agama dan ‘pengingkaran ketuhanan’, tapi juga
pengingkaran terhadap karunia Tuhan (Allah). Artinya, dengan tidak mensyukuri karunia
Tuhan saja seorang muslim layak disebut kafir.
-----
Dilihat dari kata kunci ciri
pendusta agama (Islam), sebenarnya nilai yang terkandung sangat manusiawi dan
memerintahkan ummat Islam untuk memanusiakan manusia. Seseorang dianggap pendusta
agama (Islam) ketika perilakunya berlawanan dengan nilai kemanusiaan. Dengan
ini (ciri dalam surat Al Ma’un) berarti seorang pendusta agama (Islam), di saat
yang sama sedang menghianati nilai kemanusiaan itu sendiri.
-----
Akhir-akhir ini ‘kafir’ jadi kata
kunci populer nasional yang digunakan untuk melabeli orang diluar Islam. Dengan
beragama selain Islam, tidak serta-merta seseorang bisa dikatakan kafir. Kata
kafir dalam berbagai agama artinya sangat tidak enak didengar. Tiap orang
beragama sepakat bahwa predikat kafir adalah sensitif dan digunakan dalam
kondisi sangat terpaksa. Ibaratnya kalau seseorang murtad dari satu agama,
bolehlah dia disebut kafir. Tapi kata ini juga tidak bisa sembarangan diucapkan
dan hanya dibatin dalam hati, mengingat pindah keyakinan adalah urusan pribadi
dan itu sah-sah saja. Mungkin juga semua sepakat orang diluar agama tertentu
juga disebut kafir. Fair enough.
-----
Kita kesampingkan dulu soal kafir
dan mengkafirkan yang tiap agama punya definisi berbeda. Kita lihat bagaimana
frase ‘pendusta agama’ mewakili situasi nasional. Dilihat dari kata kunci dalam
surat Al Ma’un yang menggambarkan ciri pendusta agama, seseorang dengan mudah
dikatakan sebagai pendusta/penghianat jika melanggar nilai kemanusiaan.
Seseorang yang berlaku kasar terhadap anak yatim (piatu) masuk dalam golongan
pendusta agama. Seseorang yang tidak memberi makan fakir miskin, juga pendusta.
Termasuk mereka yang sibuk membangun masjid megah sementara tetangga samping
rumah masih mengemis demi makan sekali sehari. Disebut pendusta juga mereka
yang gemar pamer kekayaan tapi enggan menolong orang lain dengan kekayaanya. Selain
itu, seorang pendusta juga mereka yang lalai beribadah. Terlihat nilai
kemanusiaan lebih ditekankan. Sedangkan nilai peribadatan hanya disebutkan satu
kali. Bukankah dengan ini kita diperintahkan untuk lebih bermanusia daripada
sekedar beribadah, agar terhindar dari sifat pendusta.
-----
Bagaimana kalau yang terjadi
adalah ‘berdusta dengan nama agama’. ini menarik, mengingat penggunaan kata
sambung ‘dengan’ sempat dipermasalahkan. Saya masih ingat sekitar bulan Januari
ketika preseden penodaan agama terjadi. Dengan panas dan menggebu, ribuan orang
‘memaki’ pihak yang konon dianggap menodai agama karena salah pakai kata
sambung. Perkara salah ucap ini berlanjut sampai mimbar masjid; “bahwa seorang
kafir di luar sana telah ‘melecehkan’ agama Islam”, katanya. Saya yang
bersyukur masih dikaruniai nalar lalu berfikir, membandingkan dengan mereka
yang ‘melecehkan’ agama Islam, mendustakan, dan secara sengaja ‘mengkafirkan’
diri sendiri, tapi tidak dimaki-maki. Ya, mereka itulah ummat Islam yang
khianat pada nilai kemanusiaan.
-----
Sehubungan dengan ‘berdusta atas
nama agama (Islam)’, bolehlah kita kaitkan dengan ‘menjual agama (Islam)’ dan
mengambil keuntungan darinya. Metodenya mirip, karena kadang dusta dipakai
dalam jual-beli. Preseden penodaan agama tersebut tidak lepas dari peran
seseorang yang sekarang jadi pesakitan di meja hijau. Beliau ini secara tak
langsung memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari situasi. Memang tidak menjual
agama, tapi karena ulahnya, seseorang mendadak dikafirkan. Karenanya juga sebuah
agama (Islam) kontan menjadi komoditas dagang bernilai tinggi (setelah rempah,
tembakau, pendidikan, dan koneksi internet). Semua hal dengan packaging agama
(Islam) akan diminati dan mudah laku.
-----
Karena momentum ini, tidak
berlebihan kalau saya katakan beliau telah ‘menjual agama’ dengan cara dusta
dan mengambil keuntungan. Senada dengan Al Ma’un, dalam surat Al Baqarah ayat
174 disebutkan; “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit
(murah), mereka sebenarnya tidak memakan dalam pertnya kecuali api,....”. Kalau
mau fair, akan ada karma untuk penjual agama dan pendusta seperti ini.
-----
Dua bulan lamanya hampir semua
mimbar berlomba membangkitkan rasa benci jamaah ibadah jumat. Mungkin menurut
sebagian orang, non-muslim yang bicara tentang agama (Islam), ajaran dan
komponenya, secara sok tahu, termasuk dalam perilaku penodaan agama. Tapi
mereka lupa bahwa dengan menjadi Islam sendiri pendustaan terhadap agama juga
kerap dilakukan. Dengan bekal preseden penodaan agama dan playing victim,
banyak pihak balas pukul, menjadikan agama sebagai baju zirah. Semua ayat
dikeluarkan untuk mendukung argumen dan membenarkan tindakan; “lha saya
dizolimi, ya saya balas lah, apapun caranya”.
-----
Sekarang penoda agama sudah
mendapat ganjaran dan penjual agama juga menelan karma. Sekarang saya tak
pernah lagi mendengar khutbah kebencian dari mimbar soal ‘kafir penoda agama’.
Nampaknya sudah cukup puas dan bangga memenangkan satu pihak dengan menjatuhkan
pihak lain. Secara kasat mata terlihat bahwa memang benar agama digunakan dan
dijual untuk sebuah tujuan pragmatis, apalagi kalau bukan Harta, Tahta, dan
Amanda. Apakah perlilaku ini masih relevan dikatakan memanusiakan manusia
sesuai nilai kemanusiaan agama.
-----
Ohya, lupa, kafir tidak perlu
dimanusiakan ya...
-----
Ngopi dulu...
-----
Ilustrasi : The Museum of
Idolatry - Typepad