Kamis, 16 November 2017

PARA PENDUSTA AGAMA YANG BERBANGGA




-----

Peta nasional menunjukan kaum muslim Indonesia punya kekuatan massa dan politik yang tidak bisa dianggap remeh. Setidaknya dua ormas terbesar umat islam, Muhammadiyah dan NU punya ‘ulama-ulama’ yang duduk di pemerintahan dan jabatan strategis. Itu belum termasuk para petinggi yang terdaftar sebagai anggota nahdiyin atau persyarikatan. Dengan adanya ulama Muhammadiyah dan NU ini, mestinya ummat muslim cukup daya ‘mengarahkan’ kebijakan negara, bukan melalui massa, tapi pandangan berbasis ideologi golongan. Meski berkekuatan besar, ada saja ummat muslim kecolongan karena ulah satu dua oknum yang dengan sengaja atau tidak, merusak Islam dari dalam.
-----

Mari bicara konteks ‘pendustaan agama’ dari sudut pandang Islam. Pada dasarnya frase ‘pendusta agama’ kurang akrab digunakan dalam konteks nasional karena siapa juga ummat yang dengan sengaja ingin mendustakan agamanya sendiri. Frase itu cocok digunakan di lingkup golongan yang maknanya kurang lebih sama seperti ‘penghianat’. Seorang pendusta bisa dikatakan penghianat karena perbuatanya merusak nilai agama, khususnya yang berat, fundamental, dan merugikan golongan. Lalu bagaimana seseorang bisa dianggap sebagai pendusta atau penghianat agama. Ada beberapa hal, baik tersurat maupun tersirat dalam kitab suci Al Qur’an yang menunjukkan ciri seorang pendusta agama. Bagaimanapun yang dinamakan pendusta atau penghianat adalah mereka yang hidup dalam entitas Islam tapi sejatinya membakar dari dalam.
-----

Tertulis salah satunya dalam surat Al Ma’un ayat 1-7. Al Ma’un merupakan salah satu surat pendek yang populer dibacakan ketika sholat 5 waktu. Namun, sebagai orang Islam Nusantara yang terbiasa dengan hidup gampang, simplifikasi ini terbawa saat beribadah. Entah berapa dari kita yang tiap membaca surat pendek, tahu dan paham makna yang terkandung di dalamnya. Untuk mempermudah (dan mempercepat) kadang kita hanya merapalkan –bahkan surat terpendek sekalipun– tanpa paham makna, kisah, perintah, dan peringatan di baliknya. Yang penting cepat selesai. Dalam surat Al Ma’un inilah ciri pendusta agama digambarkan dengan secara gamblang yang dengan logika terbodoh sekalipun orang mudah paham.
-----

Sehubungan dengan surat Al Ma’un yang berarti ‘barang-barang yang berguna’, disebutkan ciri pendusta agama, diantaranya mereka yang; menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, lalai dalam shalat (ibadah), riya (sombong/pamer), dan enggan menolong dengan barang berguna. Disini hendaknya dibedakan antara kata ‘mendustakan’ dan ‘kafir’ yang kadang rancu dalam konteks kehidupan sosial dan beragama. Meskipun kata kafir berarti ingkar, makna dan penggunaanya sangat luas dan tidak terbatas pada perbedaan agama dan ‘pengingkaran ketuhanan’, tapi juga pengingkaran terhadap karunia Tuhan (Allah). Artinya, dengan tidak mensyukuri karunia Tuhan saja seorang muslim layak disebut kafir.
-----

Dilihat dari kata kunci ciri pendusta agama (Islam), sebenarnya nilai yang terkandung sangat manusiawi dan memerintahkan ummat Islam untuk memanusiakan manusia. Seseorang dianggap pendusta agama (Islam) ketika perilakunya berlawanan dengan nilai kemanusiaan. Dengan ini (ciri dalam surat Al Ma’un) berarti seorang pendusta agama (Islam), di saat yang sama sedang menghianati nilai kemanusiaan itu sendiri.
-----

Akhir-akhir ini ‘kafir’ jadi kata kunci populer nasional yang digunakan untuk melabeli orang diluar Islam. Dengan beragama selain Islam, tidak serta-merta seseorang bisa dikatakan kafir. Kata kafir dalam berbagai agama artinya sangat tidak enak didengar. Tiap orang beragama sepakat bahwa predikat kafir adalah sensitif dan digunakan dalam kondisi sangat terpaksa. Ibaratnya kalau seseorang murtad dari satu agama, bolehlah dia disebut kafir. Tapi kata ini juga tidak bisa sembarangan diucapkan dan hanya dibatin dalam hati, mengingat pindah keyakinan adalah urusan pribadi dan itu sah-sah saja. Mungkin juga semua sepakat orang diluar agama tertentu juga disebut kafir. Fair enough.
-----

Kita kesampingkan dulu soal kafir dan mengkafirkan yang tiap agama punya definisi berbeda. Kita lihat bagaimana frase ‘pendusta agama’ mewakili situasi nasional. Dilihat dari kata kunci dalam surat Al Ma’un yang menggambarkan ciri pendusta agama, seseorang dengan mudah dikatakan sebagai pendusta/penghianat jika melanggar nilai kemanusiaan. Seseorang yang berlaku kasar terhadap anak yatim (piatu) masuk dalam golongan pendusta agama. Seseorang yang tidak memberi makan fakir miskin, juga pendusta. Termasuk mereka yang sibuk membangun masjid megah sementara tetangga samping rumah masih mengemis demi makan sekali sehari. Disebut pendusta juga mereka yang gemar pamer kekayaan tapi enggan menolong orang lain dengan kekayaanya. Selain itu, seorang pendusta juga mereka yang lalai beribadah. Terlihat nilai kemanusiaan lebih ditekankan. Sedangkan nilai peribadatan hanya disebutkan satu kali. Bukankah dengan ini kita diperintahkan untuk lebih bermanusia daripada sekedar beribadah, agar terhindar dari sifat pendusta.
-----

Bagaimana kalau yang terjadi adalah ‘berdusta dengan nama agama’. ini menarik, mengingat penggunaan kata sambung ‘dengan’ sempat dipermasalahkan. Saya masih ingat sekitar bulan Januari ketika preseden penodaan agama terjadi. Dengan panas dan menggebu, ribuan orang ‘memaki’ pihak yang konon dianggap menodai agama karena salah pakai kata sambung. Perkara salah ucap ini berlanjut sampai mimbar masjid; “bahwa seorang kafir di luar sana telah ‘melecehkan’ agama Islam”, katanya. Saya yang bersyukur masih dikaruniai nalar lalu berfikir, membandingkan dengan mereka yang ‘melecehkan’ agama Islam, mendustakan, dan secara sengaja ‘mengkafirkan’ diri sendiri, tapi tidak dimaki-maki. Ya, mereka itulah ummat Islam yang khianat pada nilai kemanusiaan.
-----

Sehubungan dengan ‘berdusta atas nama agama (Islam)’, bolehlah kita kaitkan dengan ‘menjual agama (Islam)’ dan mengambil keuntungan darinya. Metodenya mirip, karena kadang dusta dipakai dalam jual-beli. Preseden penodaan agama tersebut tidak lepas dari peran seseorang yang sekarang jadi pesakitan di meja hijau. Beliau ini secara tak langsung memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari situasi. Memang tidak menjual agama, tapi karena ulahnya, seseorang mendadak dikafirkan. Karenanya juga sebuah agama (Islam) kontan menjadi komoditas dagang bernilai tinggi (setelah rempah, tembakau, pendidikan, dan koneksi internet). Semua hal dengan packaging agama (Islam) akan diminati dan mudah laku.
-----

Karena momentum ini, tidak berlebihan kalau saya katakan beliau telah ‘menjual agama’ dengan cara dusta dan mengambil keuntungan. Senada dengan Al Ma’un, dalam surat Al Baqarah ayat 174 disebutkan; “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka sebenarnya tidak memakan dalam pertnya kecuali api,....”. Kalau mau fair, akan ada karma untuk penjual agama dan pendusta seperti ini.
-----

Dua bulan lamanya hampir semua mimbar berlomba membangkitkan rasa benci jamaah ibadah jumat. Mungkin menurut sebagian orang, non-muslim yang bicara tentang agama (Islam), ajaran dan komponenya, secara sok tahu, termasuk dalam perilaku penodaan agama. Tapi mereka lupa bahwa dengan menjadi Islam sendiri pendustaan terhadap agama juga kerap dilakukan. Dengan bekal preseden penodaan agama dan playing victim, banyak pihak balas pukul, menjadikan agama sebagai baju zirah. Semua ayat dikeluarkan untuk mendukung argumen dan membenarkan tindakan; “lha saya dizolimi, ya saya balas lah, apapun caranya”.
-----
 
Sekarang penoda agama sudah mendapat ganjaran dan penjual agama juga menelan karma. Sekarang saya tak pernah lagi mendengar khutbah kebencian dari mimbar soal ‘kafir penoda agama’. Nampaknya sudah cukup puas dan bangga memenangkan satu pihak dengan menjatuhkan pihak lain. Secara kasat mata terlihat bahwa memang benar agama digunakan dan dijual untuk sebuah tujuan pragmatis, apalagi kalau bukan Harta, Tahta, dan Amanda. Apakah perlilaku ini masih relevan dikatakan memanusiakan manusia sesuai nilai kemanusiaan agama.
-----

Ohya, lupa, kafir tidak perlu dimanusiakan ya...
-----

Ngopi dulu...
-----

Senin, 30 Oktober 2017

SEBAGAI INTROVERT, KITALAH YANG HARUS MEMAHAMI KAUM EKSTROVERT



Elang terbang sendiri, angsa terbang berkelompok


Sifat introvert seringkali disamakan dengan anti sosial. Sepintas orang mereka cenderung penyendiri, tapi bukan berarti benci bergaul. Orang introvert tidak menolak untuk diajak berteman, beramai-ramai, tapi itu perlu perjuangan dan tidak selamanya bisa dilakukan dalam kondisi baik-baik saja. Bagi orang introvert, ada yang dinamakan ‘mood stock’, semacam baterei mood yang berfungsi sebagai tenaga psikologis orang introvert. Dalam kondisi menyendiri, mood stock tidak banyak terpakai. Dalam kondisi ditengah keramaian, atau menghadapi banyak orang, baterei mood stock semakin berkurang dayanya, dan ini melelahkan. Kelelahan sejati kaum introvert bukan fisik, melainkan psikis. Itulah kenapa orang introvert lebih suka menyendiri. Pertama, untuk mood charging. Kedua, kesunyian adalah sumber kekuatan mereka.


Anda sering mendengar kata introvert sebagai sebuah sifat. Sebenarnya introvert adalah ‘range’ kondisi psikologis yang tidak hitam-putih. Lawan introvert tidak selamanya ekstrovert. Ada kondisi yang dinamakan ambivert. Kondisi inilah yang membuat introvert, ambivert, dan ekstrovert sebagai range, dan bukan kondisi statis. Kalau diibaratkan angka 1-10, angka 5 dan 6 adalah ambivert, semakin mendekati 1 maka semakin introvert, dan semakin mendekati 10 maka semakin ekstrovert. Jadi, ada orang yang level introvertnya banget dan ada yang sedang.


Sebagai introvert, menyadari pilihan hidup adalah konsekuensi logis sifat bawaan. Seorang introvert –yang stereotypenya pendiam, dianggap antisosial, penyendiri– cenderung memilih aktivitas dan pekerjaan yang tidak banyak bersinggungan dengan keramaian, seperti menulis, bermain komputer, bermusik, dan baca buku, pun olahraga dipilih yang tidak mengharuskan ada “kerjasama tim” atau di tempat ramai. Kecenderungan inilah yang kerap disalahartikan oleh mereka yang tidak mengalami kondisi introversion, atau secara alami terlahir sebagai orang ekstrovert. Tentu saja, baik introvert maupun ekstrovert adalah range yang saya ibaratkan angka 1-10 tadi. Jadi tidak ada yang salah dengan menjadi introvert. Dan menjadi ekstrovert tidak selamanya bebas resiko.


Orang ekstrovert kerap tidak paham bahwa orang introvert butuh ‘me time’ lebih sering. Meskipun ada beberapa ekstrovert yang paham, tapi hal semacam ini jarang. Lebih sering orang introvertlah yang paham kondisi sesamanya. Dan lebih sering pula orang introvert paham dan memaklumi bahwa kaum ekstrovert tidak paham kondisi kaum introvert.


Orang ekstrovert yang secara alami mudah bergaul, tidak punya masalah dengan keramaian, dan mudah beradaptasi dengan orang dan lingkungan baru, memiliki sifat sosial lebih. Mereka cenderung mudah dekat dengan orang baru (dan percaya begitu saja), hingga kadang cerita pribadi diumbar hampir tanpa batasan. Ini merugikan orang ekstrovert sendiri. Buntutnya, mereka banyak dirugikan, entah dimanfaatkan, ditipu, dan dimusuhi. Ngomong-ngomong soal dijauhi, kaum introvert punya segudang pengalaman dan jam terbang lebih. Dengan sifat tertutup dan pendiam, kaum introvert terbiasa dianggap orang yang tidak enak diajak berteman.


Sebagai orang introvert, saya, dan mungkin anda, pasti pernah mengalami hal-hal seperti dijauhi, dianggap antisosial, suka menyendiri, pilih-pilih teman (dan pasangan), dan semacamnya. Sayangnya, itu juga dilakukan oleh orang terdekat kita yang ekstrovert dan mengaku punya jiwa sosial. Inilah yang jadi dasar bagaimana kaum introvert seharusnya bersikap pada kaum ekstrovert. Terlebih dalam hal memaklumi sikap para ekstrovert.


Orang introvert cenderung memiliki sedikit teman dan bergaul dengan itu-itu saja (sehubungan dengan pilih-pilih teman dan antisosial). Hal yang tidak bisa dipahami ekstrovert bahwa introvert punya semacam ‘self defense mechanism’ alami yang membuatnya tetap waspada pada orang baru dikenal. Namun, sekali seorang introvert sudah berteman (atau menganggap teman) dengan seseorang, pertemanan itu akan dijaga selamanya. Hal yang jarang terjadi pada kaum ekstrovert. Teman mereka datang dan pergi. Orang introvert sangat selektif berteman. Mereka akan memastikan (bukan pilih-pilih) seseorang yang memang layak dipertahankan status pertemananya. Lebih jauh, pantas dijadikan sahabat dekat tempat curhat dan menjaga rahasia. Salah satu kriteria menilai kepantasan ‘outer introvert’ (orang diluar introvert) adalah; apakah orang baru ini bisa memahami dan dipercaya. Simple kan. Tapi seleksi alam pertemanan membuktikan itu tidak mudah. Saya pernah mencoba memberikan pengertian kepada seorang teman, ekstrovert, tentang ‘kenapa saya jarang ngumpul bareng’. Saya jelaskan kalau saya tidak suka saat mereka membandingkan prestasi akademik dengan nada bercanda. Bagi saya, mengejar prestasi akademik adalah perjuangan setengah hidup, bahkan sampai mengorbankan kewarasan dan kesehatan fisik. Dan itu bukan lelucon. Hal itu mereka jadikan bahan tertawaan sambil ngopi. Itu yang saya tidak cocok. Itu yang mereka tidak bisa pahami.


Kembali kepada pemakluman kaum introvert kepada ekstrovert. Beberapa introvert teman saya sering diomongkan dibelakang; “eh, dia kok nggak guyub (membaur) sama kita ya”, atau “eh, si Anu itu kelakuanya aneh”. Sebagai introvert, kita harus maklum dan membiasakan diri dengan cemooh macam ini. Orang ekstrovert yang tidak paham self defense mechanism orang introvert enteng saja bilang begitu tanpa tahu betapa rumitnya algoritma pikiran orang introvert.


Carl Gustav Jung dalam teori psikologinya bahkan memisahkan introvert dan ekstrovert dengan sedikit ekstrem, berdasarkan kekuatan ego. Kaum introvert punya ego diri tinggi hingga beranggapan bisa menyelesaikan semua hal sendiri, hampir tidak butuh orang lain. Sedangkan ekstrovert sebaliknya, butuh orang lain untuk bisa menyelesaikan masalah. Itulah alasan orang ekstrovert cocok di lingkungan ramai, dan kegiatan (atau pekerjaan) yang mengedepankan kerjasama tim. Sedangkan para introvert, cukup dengan jadi single fighter. Itulah kenapa karakteristik sifat orang introvert lebih teliti dan perfeksionis. Kelemahanya, introvert akan sangat kecewa berlarut jika pekerjaanya gagal. Bahkan untuk hal remeh sekalipun. Meski demikian, para introvert adalah rekan kerja yang baik dan teammate yang bisa diandalkan. Kondisi ini saya analogikan dengan ‘elang terbang sendiri, angsa terbang berkelompok’. Dengan sendiri, elang tetap pemburu ulung. Dengan berkelompok, belum tentu angsa menjadi lebih kuat.


Keangkuhan kaum introvert adalah malas memberi pemahaman akan kondisinya pada kaum ekstrovert. Kesalahan yang hampir sama, bahwa para ekstrovert menganggap penjelasan introvert mengada-ada dan sering tidak mau mendengarkan. Kaum introvert mungkin pernah mengalami ketika diajak ke suatu tempat ramai, entah konser musik jingkrak-jingkrak atau tempat nongkrong ramai, dan menjawab; ‘males ah banyak orang, ramai’, dan si pengajak (yang ekstrovert) bilang; ‘ah kamu aneh, cuma gitu aja jadi masalah, kalau mau sepi di kuburan aja’. Pernah?


Inilah yang membedakan tingkat kebijkasanaan (dan kebesaran jiwa) kaum introvert yang paham bahwa ajakan para ekstrovert cukup di-iya-kan dan selesai perkara. Sekedar untuk menjaga hubungan baik dan menghargai pertemanan. Hal yang sama tidak bisa dilakukan untuk kebalikanya, mengajak orang ekstrovert menjalani kegiatan para introvert. Yang terjadi bisa mati bosan mereka..


Ngopi dulu..


Ilustrasi : Rimma.co

Kamis, 19 Oktober 2017

PAYUDARA WANITA DAN SEDERET PRASANGKA KITA TERHADAPNYA



To lose confidence in one’s body is to lose confidence in oneself
― Simone de Beauvoir ―


Ketertarikan terhadap payudara wanita adalah insting alamiah yang bersifat historis karena sejak lahir dialah pegangan hidup pertama kita, sampai dewasapun kita enggan berpaling darinya. Baik pria dan wanita, sepakat melihat payudara sebagai bagian tubuh yang penting. No bra day sudah lewat, tapi kita tetap mendifinisikan payudara sebagai objek keindahan tubuh wanita yang dwitunggal. Ya wanita, ya payudara.

Beberapa orang melihat payudara melalui kacamata anatomis yang mendudukkannya sebagai bagian tubuh fungsional penyokong kelangsungan hidup. Sedang yang lain memasukkan unsur cabul pembangkit birahi yang berujung pada perilaku fetishme. Beda pola pikir, beda pula cara orang melihat payudara. Kalangan pekerja seni lain lagi, mereka menjadikan payudara sebagai objek sarat makna yang berfungsi menyimbolkan banyak hal secara metafora dan untuk menyampaikan pesan tersirat.

Sebelum lebih jauh, kita sepakati duduk perkara antara payudara, kelenjar susu, dan dada itu sendiri. Karena saat bicara tentang dada, belum tentu merujuk pada payudara. Dan saat bicara payudara, itu belum tentu juga kelenjar susu (mamae) yang dimaksud.

Payudara, adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang sangat antroposentris. Digunakan untuk menyebut kelenjar susu pada spesies manusia wanita yang berfungsi menyalurkan ASI pada bayi. Kebetulan saja letaknya yang di bagian dada menjadikanya dijuluki buah dada secara konotatif. Namun, karena buah-dada terlalu panjang frasanya, cukup payudara saja di-KBBI-kan. Soal eksistensinya yang dwifungsi, sebagai tempat produksi ASI dan sebagai simbol keindahan, kadang kita berfikir terlalu jauh terhadapnya sehingga dijadikan objek fantasi tak bertanggungjawab.

Sedangkan kelenjar susu, adalah bagian tubuh mamalia yang fungsinya memproduksi air susu sebagai makanan inisiasi bayi yang baru lahir. Bayi mamalia, apapun spesiesnya, mengkonsumsi air susu induknya sebagai makanan pertama. Kelenjar susu ini dimiliki spesies mamalia darat dan air. Kita melihat sapi, mamalia darat, dia punya kelenjar susu yang terdapat di bagian bawah tubuhnya, dekat dengan perut. Sedangkan paus, sebagai mamalia air, memiliki kelenjar susu yang terdapat di bagian ekornya berupa lubang kecil. Bayi paus menyusui dengan merapatkan mulutnya ke bagian ekor induknya. Sang induk “menyemprotkan” cairan susu ke mulut bayi paus. Disebabkan sapi memiliki bentuk tubuh dengan kaki empat, dan bagian dada merujuk pada bagian depan tubuh sapi, maka kelenjar susu sapi tidak bisa disebut dengan buah dada atau payudara sapi. Hal yang sama digunakan pada paus dengan kelenjar susu di bagian ekor. Tidak bisa disebut juga dengan payudara paus.

Hal lain adalah saat kita bicara soal dada. Dada, secara anatomis, adalah bagian tubuh yang berada diantara perut dan kepala. Pada manusia, dada pria adalah struktur otot yang bisa dikembangkan dengan cara dilatih. Kita melihat binaraga dengan dada bidang mengembang besar, lengkap dengan puting yang menempel padanya. Dada pria yang terlatih dan menjadi besar tidak serta merta disebut dengan payudara. Meski bagian itu kadang disebut juga payudara pria. Tapi lazimnya kita menyebutnya sebagai dada saja untuk pria.

Bagi wanita, perbedaan dada dengan payudara bisa dilihat dari struktur anatomis juga. Seorang dokter kenalan saya, dr. Winda, mengatakan bahwa pada wanita, dada dan payudara itu berbeda. Payudara merujuk pada jaringan kelenjar superfisialis dinding, yang terdiri dari campuran jaringan kelenjar penghasil susu, lemak, dan jaringan ikat pendukung (ligamen Cooper). Lebih jauh, payudara ya itu, buah dada. Sedangkan dada pada wanita adalah jaringan otot yang sama dengan struktur otot pada dada pria. Jadi pada bagian dada wanita terdapat dua hal, dada yang terdiri dari struktur otot, dan dada yang berisi jaringan lemak. Yang ke dua inilah yang dinamakan payudara. Letak payudara berada di depan jaringan otot. Seandainya seorang wanita mengalami masektomi (pengangkatan kelenjar payudara akibat kanker), sejatinya dia masih punya dada dalam bentuk jaringan otot, dan belum sepenuhnya kehilangan dada.

Sebagai pria, saya punya teman, baik pria dan wanita yang punya pandangan beragam soal payudara. Beberapa memiliki pandangan umum sebagaimana melihat payudara sebagai sex appeal sangkut pautnya dengan birahi sexual, sementara yang lain tidak mengkaitkan dengan hal itu. Berikut saya rangkumkan untuk anda:

Seorang teman wanita, L, seniman patung dan instalasi di Jogja, menceritakan pada saya saat dirinya membuat patung babi dengan payudara yang banyak. Saya bertanya soal keberadaan payudara yang kelewat batas jumlahnya. Dia menjawab, “mas, saya membuat payudara sebagai simbol kemakmuran. Saya membuat dengan jumlah enam belas dengan harapan kemakmuran itu berlipat-lipat menghadapi tahun baru nanti”. Saya paham, dalam dunia seni, pesan bisa disimbolkan dalam bentuk apapun. Termasuk harapan Kemakmuran yang disimbolkan dengan bentuk dan jumlah payudara. Tidak kurang enam belas butir. Obsesinya pada payudara juga dihadirkan pada patung gajah dengan posisi terbalik. Patung gajah itu berdiri dengan belalai menyangga tubuhnya yang besar, 1,5 meter tingginya. Pada patung gajah itu juga terdapat bentuk payudara berjumlah enam belas. Patung itu simbol kekuatan, bahwa belalai bisa menopang tubuh gajah besar. Juga payudaranya menyimbolkan kemakmuran. Seniman L menempatkan payudara sebagai simbol untuk menyampaikan pesan. Sebagai seniman wanita, dia tidak bermaksud memunculkan payudara untuk tujuan pembangkit birahi pria.

Lain dengan R, seorang teman perempuan, berhijab. Saat sedang duduk bersama di selasar kampus sembari ber-wifi ria, dia berbisik pada saya; “eh, kamu liat mbaknya itu, dada-nya gede ya”. Dia melihat ke arah M, teman seangkatan beda jurusan yang memang senang berbusana ketat hingga menonjolkan keindahan di bagian tubuh tertentu. Saya pikir R ini berhijab. Dengan hijabnya dia masih bisa komentar soal payudara. Sesama wanita. Artinya, kondisi wanita yang berhijab dengan pandanganya soal payudara adalah dua hal berbeda. Saya berfikir, berarti perhatian atas payudara wanita bukan semata monopoli kaum adam. Bahkan wanita pun punya porsi yang sama terhadap payudara sesamanya. Bagi R, wanita dengan payudara indah memang layak dikagumi, baik oleh pria maupun sesama wanita. R menganggap keberadaan payudara selain untuk dikagumi, juga sebagai bahan olok-olok saat bersama teman pria lainya.

Jauh hari sebelumnya saya ngobrol dengan dr.Winda soal payudara. Saya tanya; “dok, anda kan dokter, tentu akrab dengan tubuh manusia. Bagaimana anda, sebagai wanita, memandang payudara wanita itu sendiri”. Jawaban dr.Winda menurut saya logis. “sebagai dokter, saya melihat tubuh manusia dengan kacamata sains. Payudara, apapun kondisinya, ya tetap bagian tubuh manusia yang penting untuk diperhatikan, baik kesehatan, juga keindahanya. Wanita pada umumnya hanya fokus pada keindahanya. Payudara besar itu yang dianggap indah, sampai lupa kalau besar-kecil bukan ukuran kesehatan”. Dari dokter Winda inilah saya dapat pengetahuan tentang perbedaan dada wanita dimana terdapat otot dada, dan juga kelenjar mamae (kelenjar penghasil air susu). Dokter Winda, sebagai praktisi beranggapan bahwa payudara wanita adalah objek kajian ilmiah yang disikapi secara ilmiah pula. Jauh dari pikiran cabul yang semata untuk fantasi sexual.

Lain waktu saya ngobrol dengan kawan saya, P. Si P membuka obrolan dengan : “broh, mbaknya itu ‘susu’-nya besar”. Bagi saya ini obrolan normal kaum pria dan caranya berkomentar soal payudara wanita. Soal ukuran. Si P ini melontarkan komentar yang mainstream. Tentang perbedaan ukuran yang berefek pada tinggi-rendahnya minat sexual lawan jenis, tentang bagaimana pengalamanya “memperlakukan” payudara wanita, dan juga pandangan umum mata lelaki yang ‘saat dihadapkan pada wanita berpayudara besar menjadi goblok mendadak’. Pandangan umum lelaki macam P ini jamak ditemui. Kalau digambarkan dalam kurva distribusi normal, mereka berada di dalam lekuk lonceng yang naik. Bukan di sisi ekstrem kiri, bukan juga di ekstrem kanan lonceng. Hampir 80 persen orang berpandangan sama soal payudara wanita. Besar sama dengan indah. Mereka mengabaikan fungsi payudara yang terkadang bermasalah saat menyusi. Atau wanita yang menderita kanker payudara. Tentu bukan lagi cerita yang indah.

Berbeda dengan teman saya N, pria, seorang sekertaris himipunan mahasiswa muslim kampus. Orangnya alim, halus, dan berwibawa. Bicaranya terstruktur dan kalau menjelaskan sesuatu dengan gaya berapi-api khas orator ulung. Saya bertanya soal payudara kepadanya. “maaf akhi, menurut antum bagaimana pandangan soal payudara wanita?”. Saya bertanya dengan serius pada posisi sebagai mahasiswa muda calon sarjana yang pastinya mengharapkan jawaban ilmiah. Karena universitas adalah tempat dimana logika ilmiah dijunjung tinggi di hadapan altar intelektual. N melihat pada saya dengan pandangan sinis. Dia tersenyum kecut. Tidak menjawab. Satu menit kemudian dia matikan laptop. Membereskanya, dan beranjak pergi. Saya ditinggalnya dengan kondisi antiklimaks. Tidak mendapatkan jawaban apapun. Hanya berharap dia tidak berfikir kalau saya orang mesum.

Sudah rahasia umum, pria dan wanita punya perhatian soal payudara meski dengan cara berbeda. Pria menyukai payudara wanita sebagai objek fantasi seksual. Sedang wanita sendiri menjadikanya sebagai objek komparasi dengan wanita lain yang dianggap lebih indah. Wanita berfikir, payudara indah hanya dapat dilihat dari bentuk dan ukurannya. Tidak lebih. Tidak untuk diumbar, apalagi dipegang-pegang.

Melihat beberapa pandangan tentang payudara wanita, pertanyaanya adalah; bisakah kita adil terhadap payudara wanita dan tak perlu berlebihan dalam berprasangka? Mampukah kita bersikap “biasa saja” memandang payudara wanita, dan tidak menggunakanya sebagai objek fethisme?. Ada banyak bagian tubuh wanita yang tak kalah indah, hidung misalnya. Kenapa tidak hidung saja yang dijadikan objek fantasi sexual?. Ini masih menjadi misteri.

Di sisi lain, fashion melihat payudara sebagai bagian tubuh yang “ditonjolkan” dengan cara terselubung. Dia tidak bisa berdiri sendiri. Kalaupun bisa, keindahanya tidak maksimal. Oleh karena itulah diciptakan penutup dengan variasi bentuk dan warna guna mengakomodir kebutuhan akan kombinasi antara payudara dengan tutup-nya. Melihat banyaknya model bra dan lingerie saya mengerti sebuah hal. Bahwa payudara, bagaimanapun bagusnya, tetap akan lebih indah jika diselubungi dengan cover yang indah pula. Mungkin saya dan anda sepakat bahwa bentuk payudara ya gitu-gitu saja, wanita manapun sama saja. Besar kecil ya memang begitulah. Lain cerita kalau cover payudara berbentuk dan berwarna macam-macam. Lingerie contohnya. Fungsi lingeri akan lebih optimal jika melekat pada tubuh wanita, wabil khusus berkaitan dengan payudara. Lingerie sendiri warnanya macam-macam. Dengan warna dan bentuk berlainan itu pula kita menjadi tidak hanya fokus pada payudara saja, tapi lebih jauh mengagumi desain penutupnya juga. Itulah yang saya maksud dengan payudara sebagai eksistensi yang lebih elit jika dikombinasikan.

Saya berfikir, jangan-jangan selama ini yang kita kagumi tidak hanya payudara sebagai objek tunggal yang dapat dinikmati secara terbuka. Tapi lebih kepada pengaguman terhadap cover serupa bustehouder (BH) maupun lingerie. Meskipun penggunaan bustehouder dan lingerie tetap tidak untuk dipertontonkan publik kecuali dalam ranah adpertensi fashion. Bagi kalangan fashion, cover payudara dengan warna dan bentuk beragam punya power lebih untuk memikat mata dari sekedar bulatan birahiable yang terbuka. Oleh karenanya, prasangka kita terhadap payudara yang ‘besar, keras, tegas, elastis, tapi jinak’ seyogyanya tak perlu berlebihan sampai digunakan fantasi. Cukup mengaguminya sebagai bagian tubuh yang tetap memerlukan tandem agar terlihat lebih indah. Cover berupa BH dan lingerie adalah solusi menaikan leverage bergaining position payudara itu sendiri.

Suatu saat anda paham maksud saya..

Ngopi dulu..

Ilustrasi : YouTube