“To lose confidence in one’s body is to lose confidence in oneself”
― Simone de Beauvoir ―
― Simone de Beauvoir ―
Ketertarikan terhadap
payudara wanita adalah insting alamiah yang bersifat historis karena sejak
lahir dialah pegangan hidup pertama kita, sampai dewasapun kita enggan
berpaling darinya. Baik pria dan wanita, sepakat melihat payudara sebagai
bagian tubuh yang penting. No bra day sudah lewat, tapi kita tetap
mendifinisikan payudara sebagai objek keindahan tubuh wanita yang dwitunggal. Ya
wanita, ya payudara.
Beberapa orang
melihat payudara melalui kacamata anatomis yang mendudukkannya sebagai bagian
tubuh fungsional penyokong kelangsungan hidup. Sedang yang lain memasukkan
unsur cabul pembangkit birahi yang berujung pada perilaku fetishme. Beda pola
pikir, beda pula cara orang melihat payudara. Kalangan pekerja seni lain lagi,
mereka menjadikan payudara sebagai objek sarat makna yang berfungsi
menyimbolkan banyak hal secara metafora dan untuk menyampaikan pesan tersirat.
Sebelum lebih
jauh, kita sepakati duduk perkara antara payudara, kelenjar susu, dan dada itu
sendiri. Karena saat bicara tentang dada, belum tentu merujuk pada payudara.
Dan saat bicara payudara, itu belum tentu juga kelenjar susu (mamae) yang
dimaksud.
Payudara, adalah
istilah dalam bahasa Indonesia yang sangat antroposentris. Digunakan untuk menyebut
kelenjar susu pada spesies manusia wanita yang berfungsi menyalurkan ASI pada
bayi. Kebetulan saja letaknya yang di bagian dada menjadikanya dijuluki buah
dada secara konotatif. Namun, karena buah-dada terlalu panjang frasanya, cukup
payudara saja di-KBBI-kan. Soal eksistensinya yang dwifungsi, sebagai tempat
produksi ASI dan sebagai simbol keindahan, kadang kita berfikir terlalu jauh
terhadapnya sehingga dijadikan objek fantasi tak bertanggungjawab.
Sedangkan kelenjar
susu, adalah bagian tubuh mamalia yang fungsinya memproduksi air susu sebagai
makanan inisiasi bayi yang baru lahir. Bayi mamalia, apapun spesiesnya,
mengkonsumsi air susu induknya sebagai makanan pertama. Kelenjar susu ini
dimiliki spesies mamalia darat dan air. Kita melihat sapi, mamalia darat, dia
punya kelenjar susu yang terdapat di bagian bawah tubuhnya, dekat dengan perut.
Sedangkan paus, sebagai mamalia air, memiliki kelenjar susu yang terdapat di
bagian ekornya berupa lubang kecil. Bayi paus menyusui dengan merapatkan
mulutnya ke bagian ekor induknya. Sang induk “menyemprotkan” cairan susu ke
mulut bayi paus. Disebabkan sapi memiliki bentuk tubuh dengan kaki empat, dan
bagian dada merujuk pada bagian depan tubuh sapi, maka kelenjar susu sapi tidak
bisa disebut dengan buah dada atau payudara sapi. Hal yang sama digunakan pada
paus dengan kelenjar susu di bagian ekor. Tidak bisa disebut juga dengan
payudara paus.
Hal lain adalah
saat kita bicara soal dada. Dada, secara anatomis, adalah bagian tubuh yang
berada diantara perut dan kepala. Pada manusia, dada pria adalah struktur otot
yang bisa dikembangkan dengan cara dilatih. Kita melihat binaraga dengan dada
bidang mengembang besar, lengkap dengan puting yang menempel padanya. Dada pria
yang terlatih dan menjadi besar tidak serta merta disebut dengan payudara.
Meski bagian itu kadang disebut juga payudara pria. Tapi lazimnya kita menyebutnya
sebagai dada saja untuk pria.
Bagi wanita,
perbedaan dada dengan payudara bisa dilihat dari struktur anatomis juga.
Seorang dokter kenalan saya, dr. Winda, mengatakan bahwa pada wanita, dada dan
payudara itu berbeda. Payudara merujuk pada jaringan kelenjar superfisialis dinding, yang
terdiri dari campuran jaringan kelenjar penghasil susu, lemak, dan jaringan
ikat pendukung (ligamen Cooper). Lebih jauh, payudara ya itu, buah
dada. Sedangkan dada pada wanita adalah jaringan otot yang sama dengan struktur
otot pada dada pria. Jadi pada bagian dada wanita terdapat dua hal, dada yang
terdiri dari struktur otot, dan dada yang berisi jaringan lemak. Yang ke dua
inilah yang dinamakan payudara. Letak payudara berada di depan jaringan otot.
Seandainya seorang wanita mengalami masektomi (pengangkatan kelenjar payudara
akibat kanker), sejatinya dia masih punya dada dalam bentuk jaringan otot, dan
belum sepenuhnya kehilangan dada.
Sebagai pria,
saya punya teman, baik pria dan wanita yang punya pandangan beragam soal
payudara. Beberapa memiliki pandangan umum sebagaimana melihat payudara sebagai
sex appeal sangkut pautnya dengan birahi sexual, sementara yang lain tidak
mengkaitkan dengan hal itu. Berikut saya rangkumkan untuk anda:
Seorang teman
wanita, L, seniman patung dan instalasi di Jogja, menceritakan pada saya saat
dirinya membuat patung babi dengan payudara yang banyak. Saya bertanya soal
keberadaan payudara yang kelewat batas jumlahnya. Dia menjawab, “mas, saya
membuat payudara sebagai simbol kemakmuran. Saya membuat dengan jumlah enam
belas dengan harapan kemakmuran itu berlipat-lipat menghadapi tahun baru
nanti”. Saya paham, dalam dunia seni, pesan bisa disimbolkan dalam bentuk
apapun. Termasuk harapan Kemakmuran yang disimbolkan dengan bentuk dan jumlah
payudara. Tidak kurang enam belas butir. Obsesinya pada payudara juga
dihadirkan pada patung gajah dengan posisi terbalik. Patung gajah itu berdiri
dengan belalai menyangga tubuhnya yang besar, 1,5 meter tingginya. Pada patung
gajah itu juga terdapat bentuk payudara berjumlah enam belas. Patung itu simbol
kekuatan, bahwa belalai bisa menopang tubuh gajah besar. Juga payudaranya
menyimbolkan kemakmuran. Seniman L menempatkan payudara sebagai simbol untuk
menyampaikan pesan. Sebagai seniman wanita, dia tidak bermaksud memunculkan
payudara untuk tujuan pembangkit birahi pria.
Lain dengan R,
seorang teman perempuan, berhijab. Saat sedang duduk bersama di selasar kampus
sembari ber-wifi ria, dia berbisik pada saya; “eh, kamu liat mbaknya itu,
dada-nya gede ya”. Dia melihat ke arah M, teman seangkatan beda jurusan yang
memang senang berbusana ketat hingga menonjolkan keindahan di bagian tubuh
tertentu. Saya pikir R ini berhijab. Dengan hijabnya dia masih bisa komentar
soal payudara. Sesama wanita. Artinya, kondisi wanita yang berhijab dengan
pandanganya soal payudara adalah dua hal berbeda. Saya berfikir, berarti perhatian
atas payudara wanita bukan semata monopoli kaum adam. Bahkan wanita pun punya porsi
yang sama terhadap payudara sesamanya. Bagi R, wanita dengan payudara indah
memang layak dikagumi, baik oleh pria maupun sesama wanita. R menganggap
keberadaan payudara selain untuk dikagumi, juga sebagai bahan olok-olok saat
bersama teman pria lainya.
Jauh hari
sebelumnya saya ngobrol dengan dr.Winda soal payudara. Saya tanya; “dok, anda
kan dokter, tentu akrab dengan tubuh manusia. Bagaimana anda, sebagai wanita,
memandang payudara wanita itu sendiri”. Jawaban dr.Winda menurut saya logis.
“sebagai dokter, saya melihat tubuh manusia dengan kacamata sains. Payudara,
apapun kondisinya, ya tetap bagian tubuh manusia yang penting untuk
diperhatikan, baik kesehatan, juga keindahanya. Wanita pada umumnya hanya fokus
pada keindahanya. Payudara besar itu yang dianggap indah, sampai lupa kalau
besar-kecil bukan ukuran kesehatan”. Dari dokter Winda inilah saya dapat
pengetahuan tentang perbedaan dada wanita dimana terdapat otot dada, dan juga
kelenjar mamae (kelenjar penghasil air susu). Dokter Winda, sebagai praktisi
beranggapan bahwa payudara wanita adalah objek kajian ilmiah yang disikapi
secara ilmiah pula. Jauh dari pikiran cabul yang semata untuk fantasi sexual.
Lain waktu saya
ngobrol dengan kawan saya, P. Si P membuka obrolan dengan : “broh, mbaknya itu ‘susu’-nya
besar”. Bagi saya ini obrolan normal kaum pria dan caranya berkomentar soal
payudara wanita. Soal ukuran. Si P ini melontarkan komentar yang mainstream.
Tentang perbedaan ukuran yang berefek pada tinggi-rendahnya minat sexual lawan
jenis, tentang bagaimana pengalamanya “memperlakukan” payudara wanita, dan juga
pandangan umum mata lelaki yang ‘saat dihadapkan pada wanita berpayudara besar
menjadi goblok mendadak’. Pandangan umum lelaki macam P ini jamak ditemui.
Kalau digambarkan dalam kurva distribusi normal, mereka berada di dalam lekuk
lonceng yang naik. Bukan di sisi ekstrem kiri, bukan juga di ekstrem kanan
lonceng. Hampir 80 persen orang berpandangan sama soal payudara wanita. Besar
sama dengan indah. Mereka mengabaikan fungsi payudara yang terkadang bermasalah
saat menyusi. Atau wanita yang menderita kanker payudara. Tentu bukan lagi
cerita yang indah.
Berbeda dengan
teman saya N, pria, seorang sekertaris himipunan mahasiswa muslim kampus.
Orangnya alim, halus, dan berwibawa. Bicaranya terstruktur dan kalau
menjelaskan sesuatu dengan gaya berapi-api khas orator ulung. Saya bertanya
soal payudara kepadanya. “maaf akhi, menurut antum bagaimana pandangan soal
payudara wanita?”. Saya bertanya dengan serius pada posisi sebagai mahasiswa
muda calon sarjana yang pastinya mengharapkan jawaban ilmiah. Karena
universitas adalah tempat dimana logika ilmiah dijunjung tinggi di hadapan
altar intelektual. N melihat pada saya dengan pandangan sinis. Dia tersenyum
kecut. Tidak menjawab. Satu menit kemudian dia matikan laptop. Membereskanya,
dan beranjak pergi. Saya ditinggalnya dengan kondisi antiklimaks. Tidak
mendapatkan jawaban apapun. Hanya berharap dia tidak berfikir kalau saya orang
mesum.
Sudah rahasia umum,
pria dan wanita punya perhatian soal payudara meski dengan cara berbeda. Pria menyukai
payudara wanita sebagai objek fantasi seksual. Sedang wanita sendiri menjadikanya
sebagai objek komparasi dengan wanita lain yang dianggap lebih indah. Wanita
berfikir, payudara indah hanya dapat dilihat dari bentuk dan ukurannya. Tidak
lebih. Tidak untuk diumbar, apalagi dipegang-pegang.
Melihat beberapa
pandangan tentang payudara wanita, pertanyaanya adalah; bisakah kita adil
terhadap payudara wanita dan tak perlu berlebihan dalam berprasangka? Mampukah
kita bersikap “biasa saja” memandang payudara wanita, dan tidak menggunakanya
sebagai objek fethisme?. Ada banyak bagian tubuh wanita yang tak kalah indah,
hidung misalnya. Kenapa tidak hidung saja yang dijadikan objek fantasi sexual?.
Ini masih menjadi misteri.
Di sisi lain, fashion
melihat payudara sebagai bagian tubuh yang “ditonjolkan” dengan cara terselubung.
Dia tidak bisa berdiri sendiri. Kalaupun bisa, keindahanya tidak maksimal. Oleh
karena itulah diciptakan penutup dengan variasi bentuk dan warna guna
mengakomodir kebutuhan akan kombinasi antara payudara dengan tutup-nya. Melihat
banyaknya model bra dan lingerie saya mengerti sebuah hal. Bahwa payudara,
bagaimanapun bagusnya, tetap akan lebih indah jika diselubungi dengan cover
yang indah pula. Mungkin saya dan anda sepakat bahwa bentuk payudara ya gitu-gitu
saja, wanita manapun sama saja. Besar kecil ya memang begitulah. Lain cerita
kalau cover payudara berbentuk dan berwarna macam-macam. Lingerie contohnya. Fungsi
lingeri akan lebih optimal jika melekat pada tubuh wanita, wabil khusus
berkaitan dengan payudara. Lingerie sendiri warnanya macam-macam. Dengan warna
dan bentuk berlainan itu pula kita menjadi tidak hanya fokus pada payudara
saja, tapi lebih jauh mengagumi desain penutupnya juga. Itulah yang saya maksud
dengan payudara sebagai eksistensi yang lebih elit jika dikombinasikan.
Saya berfikir, jangan-jangan
selama ini yang kita kagumi tidak hanya payudara sebagai objek tunggal yang dapat
dinikmati secara terbuka. Tapi lebih kepada pengaguman terhadap cover serupa
bustehouder (BH) maupun lingerie. Meskipun penggunaan bustehouder dan lingerie
tetap tidak untuk dipertontonkan publik kecuali dalam ranah adpertensi fashion.
Bagi kalangan fashion, cover payudara dengan warna dan bentuk beragam punya
power lebih untuk memikat mata dari sekedar bulatan birahiable yang terbuka. Oleh
karenanya, prasangka kita terhadap payudara yang ‘besar, keras, tegas, elastis,
tapi jinak’ seyogyanya tak perlu berlebihan sampai digunakan fantasi. Cukup mengaguminya
sebagai bagian tubuh yang tetap memerlukan tandem agar terlihat lebih indah. Cover
berupa BH dan lingerie adalah solusi menaikan leverage bergaining position
payudara itu sendiri.
Suatu saat anda
paham maksud saya..
Ngopi dulu..
Ilustrasi : YouTube
Tidak ada komentar:
Posting Komentar