Kamis, 19 Oktober 2017

PAYUDARA WANITA DAN SEDERET PRASANGKA KITA TERHADAPNYA



To lose confidence in one’s body is to lose confidence in oneself
― Simone de Beauvoir ―


Ketertarikan terhadap payudara wanita adalah insting alamiah yang bersifat historis karena sejak lahir dialah pegangan hidup pertama kita, sampai dewasapun kita enggan berpaling darinya. Baik pria dan wanita, sepakat melihat payudara sebagai bagian tubuh yang penting. No bra day sudah lewat, tapi kita tetap mendifinisikan payudara sebagai objek keindahan tubuh wanita yang dwitunggal. Ya wanita, ya payudara.

Beberapa orang melihat payudara melalui kacamata anatomis yang mendudukkannya sebagai bagian tubuh fungsional penyokong kelangsungan hidup. Sedang yang lain memasukkan unsur cabul pembangkit birahi yang berujung pada perilaku fetishme. Beda pola pikir, beda pula cara orang melihat payudara. Kalangan pekerja seni lain lagi, mereka menjadikan payudara sebagai objek sarat makna yang berfungsi menyimbolkan banyak hal secara metafora dan untuk menyampaikan pesan tersirat.

Sebelum lebih jauh, kita sepakati duduk perkara antara payudara, kelenjar susu, dan dada itu sendiri. Karena saat bicara tentang dada, belum tentu merujuk pada payudara. Dan saat bicara payudara, itu belum tentu juga kelenjar susu (mamae) yang dimaksud.

Payudara, adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang sangat antroposentris. Digunakan untuk menyebut kelenjar susu pada spesies manusia wanita yang berfungsi menyalurkan ASI pada bayi. Kebetulan saja letaknya yang di bagian dada menjadikanya dijuluki buah dada secara konotatif. Namun, karena buah-dada terlalu panjang frasanya, cukup payudara saja di-KBBI-kan. Soal eksistensinya yang dwifungsi, sebagai tempat produksi ASI dan sebagai simbol keindahan, kadang kita berfikir terlalu jauh terhadapnya sehingga dijadikan objek fantasi tak bertanggungjawab.

Sedangkan kelenjar susu, adalah bagian tubuh mamalia yang fungsinya memproduksi air susu sebagai makanan inisiasi bayi yang baru lahir. Bayi mamalia, apapun spesiesnya, mengkonsumsi air susu induknya sebagai makanan pertama. Kelenjar susu ini dimiliki spesies mamalia darat dan air. Kita melihat sapi, mamalia darat, dia punya kelenjar susu yang terdapat di bagian bawah tubuhnya, dekat dengan perut. Sedangkan paus, sebagai mamalia air, memiliki kelenjar susu yang terdapat di bagian ekornya berupa lubang kecil. Bayi paus menyusui dengan merapatkan mulutnya ke bagian ekor induknya. Sang induk “menyemprotkan” cairan susu ke mulut bayi paus. Disebabkan sapi memiliki bentuk tubuh dengan kaki empat, dan bagian dada merujuk pada bagian depan tubuh sapi, maka kelenjar susu sapi tidak bisa disebut dengan buah dada atau payudara sapi. Hal yang sama digunakan pada paus dengan kelenjar susu di bagian ekor. Tidak bisa disebut juga dengan payudara paus.

Hal lain adalah saat kita bicara soal dada. Dada, secara anatomis, adalah bagian tubuh yang berada diantara perut dan kepala. Pada manusia, dada pria adalah struktur otot yang bisa dikembangkan dengan cara dilatih. Kita melihat binaraga dengan dada bidang mengembang besar, lengkap dengan puting yang menempel padanya. Dada pria yang terlatih dan menjadi besar tidak serta merta disebut dengan payudara. Meski bagian itu kadang disebut juga payudara pria. Tapi lazimnya kita menyebutnya sebagai dada saja untuk pria.

Bagi wanita, perbedaan dada dengan payudara bisa dilihat dari struktur anatomis juga. Seorang dokter kenalan saya, dr. Winda, mengatakan bahwa pada wanita, dada dan payudara itu berbeda. Payudara merujuk pada jaringan kelenjar superfisialis dinding, yang terdiri dari campuran jaringan kelenjar penghasil susu, lemak, dan jaringan ikat pendukung (ligamen Cooper). Lebih jauh, payudara ya itu, buah dada. Sedangkan dada pada wanita adalah jaringan otot yang sama dengan struktur otot pada dada pria. Jadi pada bagian dada wanita terdapat dua hal, dada yang terdiri dari struktur otot, dan dada yang berisi jaringan lemak. Yang ke dua inilah yang dinamakan payudara. Letak payudara berada di depan jaringan otot. Seandainya seorang wanita mengalami masektomi (pengangkatan kelenjar payudara akibat kanker), sejatinya dia masih punya dada dalam bentuk jaringan otot, dan belum sepenuhnya kehilangan dada.

Sebagai pria, saya punya teman, baik pria dan wanita yang punya pandangan beragam soal payudara. Beberapa memiliki pandangan umum sebagaimana melihat payudara sebagai sex appeal sangkut pautnya dengan birahi sexual, sementara yang lain tidak mengkaitkan dengan hal itu. Berikut saya rangkumkan untuk anda:

Seorang teman wanita, L, seniman patung dan instalasi di Jogja, menceritakan pada saya saat dirinya membuat patung babi dengan payudara yang banyak. Saya bertanya soal keberadaan payudara yang kelewat batas jumlahnya. Dia menjawab, “mas, saya membuat payudara sebagai simbol kemakmuran. Saya membuat dengan jumlah enam belas dengan harapan kemakmuran itu berlipat-lipat menghadapi tahun baru nanti”. Saya paham, dalam dunia seni, pesan bisa disimbolkan dalam bentuk apapun. Termasuk harapan Kemakmuran yang disimbolkan dengan bentuk dan jumlah payudara. Tidak kurang enam belas butir. Obsesinya pada payudara juga dihadirkan pada patung gajah dengan posisi terbalik. Patung gajah itu berdiri dengan belalai menyangga tubuhnya yang besar, 1,5 meter tingginya. Pada patung gajah itu juga terdapat bentuk payudara berjumlah enam belas. Patung itu simbol kekuatan, bahwa belalai bisa menopang tubuh gajah besar. Juga payudaranya menyimbolkan kemakmuran. Seniman L menempatkan payudara sebagai simbol untuk menyampaikan pesan. Sebagai seniman wanita, dia tidak bermaksud memunculkan payudara untuk tujuan pembangkit birahi pria.

Lain dengan R, seorang teman perempuan, berhijab. Saat sedang duduk bersama di selasar kampus sembari ber-wifi ria, dia berbisik pada saya; “eh, kamu liat mbaknya itu, dada-nya gede ya”. Dia melihat ke arah M, teman seangkatan beda jurusan yang memang senang berbusana ketat hingga menonjolkan keindahan di bagian tubuh tertentu. Saya pikir R ini berhijab. Dengan hijabnya dia masih bisa komentar soal payudara. Sesama wanita. Artinya, kondisi wanita yang berhijab dengan pandanganya soal payudara adalah dua hal berbeda. Saya berfikir, berarti perhatian atas payudara wanita bukan semata monopoli kaum adam. Bahkan wanita pun punya porsi yang sama terhadap payudara sesamanya. Bagi R, wanita dengan payudara indah memang layak dikagumi, baik oleh pria maupun sesama wanita. R menganggap keberadaan payudara selain untuk dikagumi, juga sebagai bahan olok-olok saat bersama teman pria lainya.

Jauh hari sebelumnya saya ngobrol dengan dr.Winda soal payudara. Saya tanya; “dok, anda kan dokter, tentu akrab dengan tubuh manusia. Bagaimana anda, sebagai wanita, memandang payudara wanita itu sendiri”. Jawaban dr.Winda menurut saya logis. “sebagai dokter, saya melihat tubuh manusia dengan kacamata sains. Payudara, apapun kondisinya, ya tetap bagian tubuh manusia yang penting untuk diperhatikan, baik kesehatan, juga keindahanya. Wanita pada umumnya hanya fokus pada keindahanya. Payudara besar itu yang dianggap indah, sampai lupa kalau besar-kecil bukan ukuran kesehatan”. Dari dokter Winda inilah saya dapat pengetahuan tentang perbedaan dada wanita dimana terdapat otot dada, dan juga kelenjar mamae (kelenjar penghasil air susu). Dokter Winda, sebagai praktisi beranggapan bahwa payudara wanita adalah objek kajian ilmiah yang disikapi secara ilmiah pula. Jauh dari pikiran cabul yang semata untuk fantasi sexual.

Lain waktu saya ngobrol dengan kawan saya, P. Si P membuka obrolan dengan : “broh, mbaknya itu ‘susu’-nya besar”. Bagi saya ini obrolan normal kaum pria dan caranya berkomentar soal payudara wanita. Soal ukuran. Si P ini melontarkan komentar yang mainstream. Tentang perbedaan ukuran yang berefek pada tinggi-rendahnya minat sexual lawan jenis, tentang bagaimana pengalamanya “memperlakukan” payudara wanita, dan juga pandangan umum mata lelaki yang ‘saat dihadapkan pada wanita berpayudara besar menjadi goblok mendadak’. Pandangan umum lelaki macam P ini jamak ditemui. Kalau digambarkan dalam kurva distribusi normal, mereka berada di dalam lekuk lonceng yang naik. Bukan di sisi ekstrem kiri, bukan juga di ekstrem kanan lonceng. Hampir 80 persen orang berpandangan sama soal payudara wanita. Besar sama dengan indah. Mereka mengabaikan fungsi payudara yang terkadang bermasalah saat menyusi. Atau wanita yang menderita kanker payudara. Tentu bukan lagi cerita yang indah.

Berbeda dengan teman saya N, pria, seorang sekertaris himipunan mahasiswa muslim kampus. Orangnya alim, halus, dan berwibawa. Bicaranya terstruktur dan kalau menjelaskan sesuatu dengan gaya berapi-api khas orator ulung. Saya bertanya soal payudara kepadanya. “maaf akhi, menurut antum bagaimana pandangan soal payudara wanita?”. Saya bertanya dengan serius pada posisi sebagai mahasiswa muda calon sarjana yang pastinya mengharapkan jawaban ilmiah. Karena universitas adalah tempat dimana logika ilmiah dijunjung tinggi di hadapan altar intelektual. N melihat pada saya dengan pandangan sinis. Dia tersenyum kecut. Tidak menjawab. Satu menit kemudian dia matikan laptop. Membereskanya, dan beranjak pergi. Saya ditinggalnya dengan kondisi antiklimaks. Tidak mendapatkan jawaban apapun. Hanya berharap dia tidak berfikir kalau saya orang mesum.

Sudah rahasia umum, pria dan wanita punya perhatian soal payudara meski dengan cara berbeda. Pria menyukai payudara wanita sebagai objek fantasi seksual. Sedang wanita sendiri menjadikanya sebagai objek komparasi dengan wanita lain yang dianggap lebih indah. Wanita berfikir, payudara indah hanya dapat dilihat dari bentuk dan ukurannya. Tidak lebih. Tidak untuk diumbar, apalagi dipegang-pegang.

Melihat beberapa pandangan tentang payudara wanita, pertanyaanya adalah; bisakah kita adil terhadap payudara wanita dan tak perlu berlebihan dalam berprasangka? Mampukah kita bersikap “biasa saja” memandang payudara wanita, dan tidak menggunakanya sebagai objek fethisme?. Ada banyak bagian tubuh wanita yang tak kalah indah, hidung misalnya. Kenapa tidak hidung saja yang dijadikan objek fantasi sexual?. Ini masih menjadi misteri.

Di sisi lain, fashion melihat payudara sebagai bagian tubuh yang “ditonjolkan” dengan cara terselubung. Dia tidak bisa berdiri sendiri. Kalaupun bisa, keindahanya tidak maksimal. Oleh karena itulah diciptakan penutup dengan variasi bentuk dan warna guna mengakomodir kebutuhan akan kombinasi antara payudara dengan tutup-nya. Melihat banyaknya model bra dan lingerie saya mengerti sebuah hal. Bahwa payudara, bagaimanapun bagusnya, tetap akan lebih indah jika diselubungi dengan cover yang indah pula. Mungkin saya dan anda sepakat bahwa bentuk payudara ya gitu-gitu saja, wanita manapun sama saja. Besar kecil ya memang begitulah. Lain cerita kalau cover payudara berbentuk dan berwarna macam-macam. Lingerie contohnya. Fungsi lingeri akan lebih optimal jika melekat pada tubuh wanita, wabil khusus berkaitan dengan payudara. Lingerie sendiri warnanya macam-macam. Dengan warna dan bentuk berlainan itu pula kita menjadi tidak hanya fokus pada payudara saja, tapi lebih jauh mengagumi desain penutupnya juga. Itulah yang saya maksud dengan payudara sebagai eksistensi yang lebih elit jika dikombinasikan.

Saya berfikir, jangan-jangan selama ini yang kita kagumi tidak hanya payudara sebagai objek tunggal yang dapat dinikmati secara terbuka. Tapi lebih kepada pengaguman terhadap cover serupa bustehouder (BH) maupun lingerie. Meskipun penggunaan bustehouder dan lingerie tetap tidak untuk dipertontonkan publik kecuali dalam ranah adpertensi fashion. Bagi kalangan fashion, cover payudara dengan warna dan bentuk beragam punya power lebih untuk memikat mata dari sekedar bulatan birahiable yang terbuka. Oleh karenanya, prasangka kita terhadap payudara yang ‘besar, keras, tegas, elastis, tapi jinak’ seyogyanya tak perlu berlebihan sampai digunakan fantasi. Cukup mengaguminya sebagai bagian tubuh yang tetap memerlukan tandem agar terlihat lebih indah. Cover berupa BH dan lingerie adalah solusi menaikan leverage bergaining position payudara itu sendiri.

Suatu saat anda paham maksud saya..

Ngopi dulu..

Ilustrasi : YouTube

Tidak ada komentar:

Posting Komentar