Sabtu, 07 Oktober 2017

MENYOAL CINTA BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN KETERBUKAAN


Long distance relationship paling nyata bukanlah mereka yang menjalin hubungan beda kota, atau beda benua, tapi yang beda rumah ibadah meskipun jaraknya sekampung.
.
.
.
Kisah cinta beda agama selalu menarik diperbincangkan. Beberapa orang bahkan rela kehilangan cintanya karena perbedaan keyakinan yang belum sepenuhnya terakomodasi dengan baik di Indonesia. Jalan tengah kadang ditempuh dengan “penundukan sementara” pada satu agama atau bahkan merelakan pindah agama mengikuti pasangan. Jalan tengah yang seringkali tidak menjadi solusi karena banyak orang akan menganggap “penundukan sementara” dan “pindah keyakinan” sebagai perbuatan main-main agama, murtad, atau kafir. Tapi itulah kenyataanya. Bahkan cinta harus diperjuangkan dengan kucing-kucingan “menyiasati” aturan hukum yang kurang ramah pada cinta beda agama. Percintaan dan pernikahan dalam pandangan masyarakat beragama di Indonesia adalah hal yang dianggap suci. Tapi bukan berarti urusanya harus dipersulit dengan beragam stereotype.

Pengaruh orangtua, kerabat, dan sahabat menjadi driving force dominan kisah cinta beda agama. Beruntung bagi mereka yang hidup di lingkungan dengan pikiran dan pandangan terbuka. Urusan cinta sepenuhnya menjadi hak pasangan, tentang bagaimana seharusnya berkompromi dengan hukum dan lingkungan sekitar, terlebih suara orang lain yang sumbang berkomentar soal ketidakpatutan. Keputusan percintaan yang seharusnya menjadi hak prerogatif pasangan, seringkali terjadi sebaliknya. Banyak kita dengar pihak keluarga dan sahabat lebih vokal menghasut begitu tahu seseorang punya teman dekat atau pacar beda agama. Keluarga atau sahabat mencari cara supaya mereka batal kawin. Bermacam cara ditempuh, salah satunya memperkenalkan dengan orang yang seiman demi mempertahankan status quo pernikahan seagama.

Meski demikian, cinta beda agama tidak selamanya bermasalah. Saya kenal beberapa teman yang berhasil sampai menikah dengan pasangannya meski beda keyakinan. Contoh gagal menikah karena pasangan beda agama juga tak sedikit. Keduanya sama-sama dipengaruhi oleh lingkungan. Saya ingin membagi beberapa dengan anda.

Sebut saja seorang teman perempuan namanya J, seorang Protestan, dia punya pacar namanya A, junior kampus, seorang Muslim. Mereka begitu mesra, bahkan saat hendak prakitum laboratorium saya kerap melihat J salaman cium tangan pada A. Mereka sangat kompak sebagai pasangan, meskipun teman-teman seangkatan melihat keduanya menjalin hubungan beda agama. Toh masih tahap pacaran, segala kemungkinan masih terbuka. Beberapa kali saya dengar J bilang ke A; “bismillah ya sayang, semoga sukses”. Sekitar tahun lalu, saya melihat di medsos kalau J sudah menikah dengan seorang laki-laki, yang saya kenal juga sebagai adik angkatan J di kampus. Si J memposting foto pemberkatan pernikahanya di altar gereja dengan baju adat Batak, lengkap dengan ulos dan pose Tor-Tor, asumsi saya HKBP, karena saya dengar J adalah jemaat gereja tersebut. Dia menikah dengan laki-laki bermarga, sesama orang Batak. Saya tidak ingin buru-buru menyimpulkan kalau pernikahan keduanya dikarenakan mereka orang Batak dan seiman, apalagi dijodohkan. Kesimpulan akhir, J batal menikah dengan A.

Contoh lain, senior saya, sebut saja mbak C, yang menikah dengan temannya sewaktu menempuh pendidikan di Jepang, sebut saja mas A. Antara mbak C dan mas A ini selain beda agama, mereka juga beda negara. Kurang long distance apalagi. Mbak C bahkan sampai menulis di blog pribadinya pengalaman memperjuangkan cinta beda agama dan negara tersebut. Mbak C yang Katholik dan mas A yang Buddha harus mengurus banyak hal sebelum sampai pada tahap pemberkatan pernikahan. Surat ke uskup, catatan sipil, bolak-balik kedutaan, dan sebagainya. Lebih banyak mbak C yang mengurus berkas di Indonesia. Sampai pada akhirnya saya melihat postingan mbak C di medsos dimana resepsi pernikahan dilakukan di Indonesia dengan adat Jawa. Mas A nampak gagah meski sedikit kaku dalam busana Jawa. Saya sempat bertanya pada mbak C soal restu orangtua. Bagi orang tua mbak C, mau menikah dengan siapapun asal orangnya baik ya silakan. Saya melihat mbak C orang beruntung dengan lingkungan yang mendukung pernikahan beda agama. Sekarang mereka tinggal di Jepang, hidup sebagai pasangan beda agama yang tetap adem-ayem. Kesimpulan akhir, mbak C sukses menikah dengan mas A.

Lain lagi dengan kawan saya D dan P. Memutuskan untuk menjadi agnostik –bertuhan tanpa agama, meskipun keluarganya Muslim–, D merasa tidak ada masalah dengan peribadatan agama manapun. Saat hari Jumat, kadang D ikut ke masjid. Dia sholat Jumat. Dan kalau bulan puasa, dia juga puasa. Pacarnya, si P yang Katholik tidak mempermasalahkan keyakinan D. Sempat saya bertanya pada D soal hubunganya dengan P, dan orangtua P yang Katholik tulen. Beberapa kali D bahkan mengantarkan P beribadah di gereja, baik minggu, atau hari besar agama Katholik lainya. Sesering itu juga D masuk gereja, berdoa dengan cara Katholik. Mereka akan menikah dalam waktu dekat. Cerita D ke saya, dia sudah menerima pembekalan di gereja. Pendidikan untuk menjadi ummat Katholik. Meski demikian, D tetap memilih tidak memeluk agama. Tapi bagi D, tetap menjadi prioritasnya menuliskan Islam di kolom agama KTP-nya. Ini semata melindungi kehormatan keluarga D yang muslim. Kesimpulan akhir, masih menunggu kelanjutan cerita D dan P menuju pernikahan.

Bagaimana dengan yang batal menikah karena beda keyakinan?. Seorang teman perempuan saya, sebut saja L, Katholik, berpacaran dengan A yang Muslim. Selain beda agama, kebetulan mereka juga beda kota. Tiap weekend, A mengunjungi L di Jogja. Sesering itu mereka membahas rencana pernikahan. Dari cerita L, si A sudah menghubungi “moderator” yang bisa membantu mereka mewujudkan impian pernikahan beda agama tanpa melalui mekanisme penundukan sementara atau berpindah keyakinan. Hubungan mereka empat tahun sudah. Tapi kendala datang dari keluarga A yang sinis melihat L yang beda agama. Si A lebih memilih “mengabaikan” keluarganya yang Muslim dan memperjuangkan L dengan segala konsekuensinya. Keluarga A tidak serta merta ikhlas dengan sikap A tersebut. Bahkan sampai “memanggil” kyai untuk membujuk A supaya mengurungkan niat. Tak sampai situ, kyai tersebut, dari cerita L, bahkan memperkenalkan beberapa perempuan muslim rupawan untuk A. Entah kenapa, beberapa waktu yang lalu saya melihat L sudah berfoto dengan pacar barunya. Yang pasti bukan A. Dan kabar si A tidak pernah saya dengar lagi. Kesimpulan akhir, L batal menikah dengan A.

Selama ini kita berasumsi kalau cinta beda agama hanya terpaku pada muslim dan non-muslim, kristiani dan non-kristiani karena itulah agama dominan di Indonesia. Ternyata Protestan dan Katholik pun sudah dikatakan berbeda meskipun berdiri dibawah atap yang sama. Menyikapi tantangan cinta beda agama diperlukan kebesaran hati dan pikiran yang tidak sedikit. Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa ada cinta beda agama yang berhasil, dan ada yang kandas. Dalam hal ini kompromi mutlak diperlukan. Kondisi tenang dibutuhkan dalam upaya meminimalisir pengaruh lingkungan (dan juga keluarga) dalam memperjuangkan cinta beda agama. Mempertahankan komitmen pernikahan beda agama tidak cukup hanya dengan “aku cinta kau, dan kau cinta aku, kita jalanin dulu aja”. Perkara “penundukan sementara” atau “pindah agama” yang krusial kerap luput perhatian. Sering saya dengar kalau sebenarnya tiap pasangan lebih memilih stay dengan agamanya masing-masing dan pernikahan tetap terlaksana. Tapi cinta memang tidak pandang nalar. Yang penting “saya harus sama dia” no matter what it takes. Dari situlah murtad atas nama cinta terjadi. Banyak yang rela pindah agama ikut pasanganya. Pasangan yang lebih beruntung tetap menikah dan tetap dengan agamanya meski mengantongi “catatan sipil”. Status catatan pernikahan yang kerap dipandang sebelah mata meski sah.

Kawan saya, D, seorang laki-laki Muslim, pada akhirnya menikah dengan N, perempuan Kristiani. Keputusan pindah agama diambil D demi cintanya pada N. Sebuah area abu-abu yang masih jadi pertanyaan, kenapa yang terjadi tidak sebaliknya kalau memang cinta. Kenapa tidak N saja yang ikut agama D. Sekali lagi ini soal kompromi cinta dan agama yang tak pernah akur.

Atau kawan saya yang lain, yang tetap mesra dengan istrinya tanpa mengorbankan keyakinan salah satunya. Teman saya Y, yang Muslim, dan istrinya T, yang Katholik. Mereka menikah dan punya anak, hidup rukun pula. Saat Idul Fitri tiba, Y, T, dan anak-anak mereka merayakan dengan keluarga besar Y yang semua muslim. Saat natal tiba, mereka makan-makan dengan ceria di tengah keluarga T yang Katholik. Semua baik-baik saja.

Sedikit lebih dekat, tetangga depan rumah saya, pak K yang muslim menikah dengan bu N yang Tionghoa dan masih ke klenteng. Memiliki anak yang saya kenal betul sejak kecil, namanya E. Meski Konghucu, bu N mendidik anaknya dengan kultur Islam. Dulu, sekali saja E tidak berangkat TPA ke masjid, dia dapat cambuk hanger baju dari bu N. Sejak kecil sampai SMA, E sekolah di Muhammadiyah. Dengan Konghuchu-nya, bu N tetap mengingatkan E agar rajin ngaji. Tiap berangkat sekolah, E cium tangan bu N. Mengucap salam dan dibalas juga oleh bu N dengan “waalaikum salam” fasih.

Hubungan D dan N, atau Y dan T, adalah contoh sukses kompromi dalam pernikahan beda agama. Menurut saya sudah sejatinya cinta tidak “dibatasi” agama. Interaksi suami-istri tetap berjalan dengan baik asal saling pengertian soal keyakinan. Kalau pria Muslim, misalkan, mau ibadah ke masjid ya silahkan, istrinya yang Kristiani, misalkan, menunggu di rumah. Begitu juga sebaliknya. Saat ibadah Minggu, suami Muslim, misalkan, mengantarkan istri ke gereja, kemudian dijemput lagi. Selesai perkara.

Dalam kasus pak K, bu N, dan E, itu hubungan beda agama yang sudah masuk ranah keluarga. Mereka tetap mesra dan bisa kompromi dengan keyakinan masing-masing. Apalagi bu N yang “merelakan”, bahkan mendorong anaknya, E, menjadi muslim taat. Sekarang E sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi di UIN. Kurang Islami apalagi.

Kita, anda dan saya pasti pernah punya pengalaman cinta beda agama. Sering hal itu menyisakan kenangan yang terpaksa harus dilupakan karena terbentur barrier keyakinan. Memasuki zaman baru, kita perlu belajar melihat dengan mata lebih lebar soal pernikahan beda agama, bukan sebagai masalah, tapi sebagai niat awal yang baik membangun keluarga. Kalau kata pepatah, semua halal dalam perang dan cinta..

Ngopi dulu..

Ilustrasi : nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar