Long
distance relationship paling nyata bukanlah mereka yang menjalin hubungan beda kota, atau beda benua, tapi yang beda rumah ibadah meskipun jaraknya
sekampung.
.
.
.
Kisah cinta beda
agama selalu menarik diperbincangkan. Beberapa orang bahkan rela kehilangan
cintanya karena perbedaan keyakinan yang belum sepenuhnya terakomodasi dengan
baik di Indonesia. Jalan tengah kadang ditempuh dengan “penundukan sementara”
pada satu agama atau bahkan merelakan pindah agama mengikuti pasangan. Jalan
tengah yang seringkali tidak menjadi solusi karena banyak orang akan menganggap
“penundukan sementara” dan “pindah keyakinan” sebagai perbuatan main-main agama,
murtad, atau kafir. Tapi itulah kenyataanya. Bahkan cinta harus diperjuangkan
dengan kucing-kucingan “menyiasati” aturan hukum yang kurang ramah pada cinta
beda agama. Percintaan dan pernikahan dalam pandangan masyarakat beragama di
Indonesia adalah hal yang dianggap suci. Tapi bukan berarti urusanya harus dipersulit
dengan beragam stereotype.
Pengaruh orangtua,
kerabat, dan sahabat menjadi driving force dominan kisah cinta beda agama.
Beruntung bagi mereka yang hidup di lingkungan dengan pikiran dan pandangan
terbuka. Urusan cinta sepenuhnya menjadi hak pasangan, tentang bagaimana
seharusnya berkompromi dengan hukum dan lingkungan sekitar, terlebih suara
orang lain yang sumbang berkomentar soal ketidakpatutan. Keputusan percintaan yang
seharusnya menjadi hak prerogatif pasangan, seringkali terjadi sebaliknya. Banyak
kita dengar pihak keluarga dan sahabat lebih vokal menghasut begitu tahu
seseorang punya teman dekat atau pacar beda agama. Keluarga atau sahabat
mencari cara supaya mereka batal kawin. Bermacam cara ditempuh, salah satunya memperkenalkan
dengan orang yang seiman demi mempertahankan status quo pernikahan seagama.
Meski demikian,
cinta beda agama tidak selamanya bermasalah. Saya kenal beberapa teman yang
berhasil sampai menikah dengan pasangannya meski beda keyakinan. Contoh gagal
menikah karena pasangan beda agama juga tak sedikit. Keduanya sama-sama
dipengaruhi oleh lingkungan. Saya ingin membagi beberapa dengan anda.
Sebut saja
seorang teman perempuan namanya J, seorang Protestan, dia punya pacar namanya
A, junior kampus, seorang Muslim. Mereka begitu mesra, bahkan saat hendak
prakitum laboratorium saya kerap melihat J salaman cium tangan pada A. Mereka
sangat kompak sebagai pasangan, meskipun teman-teman seangkatan melihat
keduanya menjalin hubungan beda agama. Toh masih tahap pacaran, segala
kemungkinan masih terbuka. Beberapa kali saya dengar J bilang ke A; “bismillah
ya sayang, semoga sukses”. Sekitar tahun lalu, saya melihat di medsos kalau J
sudah menikah dengan seorang laki-laki, yang saya kenal juga sebagai adik
angkatan J di kampus. Si J memposting foto pemberkatan pernikahanya di altar
gereja dengan baju adat Batak, lengkap dengan ulos dan pose Tor-Tor, asumsi
saya HKBP, karena saya dengar J adalah jemaat gereja tersebut. Dia menikah
dengan laki-laki bermarga, sesama orang Batak. Saya tidak ingin buru-buru
menyimpulkan kalau pernikahan keduanya dikarenakan mereka orang Batak dan
seiman, apalagi dijodohkan. Kesimpulan akhir, J batal menikah dengan A.
Contoh lain,
senior saya, sebut saja mbak C, yang menikah dengan temannya sewaktu menempuh
pendidikan di Jepang, sebut saja mas A. Antara mbak C dan mas A ini selain beda
agama, mereka juga beda negara. Kurang long distance apalagi. Mbak C bahkan
sampai menulis di blog pribadinya pengalaman memperjuangkan cinta beda agama
dan negara tersebut. Mbak C yang Katholik dan mas A yang Buddha harus mengurus
banyak hal sebelum sampai pada tahap pemberkatan pernikahan. Surat ke uskup,
catatan sipil, bolak-balik kedutaan, dan sebagainya. Lebih banyak mbak C yang
mengurus berkas di Indonesia. Sampai pada akhirnya saya melihat postingan mbak C
di medsos dimana resepsi pernikahan dilakukan di Indonesia dengan adat Jawa. Mas
A nampak gagah meski sedikit kaku dalam busana Jawa. Saya sempat bertanya pada
mbak C soal restu orangtua. Bagi orang tua mbak C, mau menikah dengan siapapun
asal orangnya baik ya silakan. Saya melihat mbak C orang beruntung dengan
lingkungan yang mendukung pernikahan beda agama. Sekarang mereka tinggal di
Jepang, hidup sebagai pasangan beda agama yang tetap adem-ayem. Kesimpulan
akhir, mbak C sukses menikah dengan mas A.
Lain lagi dengan
kawan saya D dan P. Memutuskan untuk menjadi agnostik –bertuhan tanpa agama,
meskipun keluarganya Muslim–, D merasa tidak ada masalah dengan peribadatan agama
manapun. Saat hari Jumat, kadang D ikut ke masjid. Dia sholat Jumat. Dan kalau
bulan puasa, dia juga puasa. Pacarnya, si P yang Katholik tidak
mempermasalahkan keyakinan D. Sempat saya bertanya pada D soal hubunganya
dengan P, dan orangtua P yang Katholik tulen. Beberapa kali D bahkan mengantarkan
P beribadah di gereja, baik minggu, atau hari besar agama Katholik lainya.
Sesering itu juga D masuk gereja, berdoa dengan cara Katholik. Mereka akan
menikah dalam waktu dekat. Cerita D ke saya, dia sudah menerima pembekalan di
gereja. Pendidikan untuk menjadi ummat Katholik. Meski demikian, D tetap
memilih tidak memeluk agama. Tapi bagi D, tetap menjadi prioritasnya menuliskan
Islam di kolom agama KTP-nya. Ini semata melindungi kehormatan keluarga D yang
muslim. Kesimpulan akhir, masih menunggu kelanjutan cerita D dan P menuju
pernikahan.
Bagaimana dengan
yang batal menikah karena beda keyakinan?. Seorang teman perempuan saya, sebut
saja L, Katholik, berpacaran dengan A yang Muslim. Selain beda agama, kebetulan
mereka juga beda kota. Tiap weekend, A mengunjungi L di Jogja. Sesering itu
mereka membahas rencana pernikahan. Dari cerita L, si A sudah menghubungi
“moderator” yang bisa membantu mereka mewujudkan impian pernikahan beda agama
tanpa melalui mekanisme penundukan sementara atau berpindah keyakinan. Hubungan
mereka empat tahun sudah. Tapi kendala datang dari keluarga A yang sinis
melihat L yang beda agama. Si A lebih memilih “mengabaikan” keluarganya yang
Muslim dan memperjuangkan L dengan segala konsekuensinya. Keluarga A tidak
serta merta ikhlas dengan sikap A tersebut. Bahkan sampai “memanggil” kyai
untuk membujuk A supaya mengurungkan niat. Tak sampai situ, kyai tersebut, dari
cerita L, bahkan memperkenalkan beberapa perempuan muslim rupawan untuk A.
Entah kenapa, beberapa waktu yang lalu saya melihat L sudah berfoto dengan
pacar barunya. Yang pasti bukan A. Dan kabar si A tidak pernah saya dengar
lagi. Kesimpulan akhir, L batal menikah dengan A.
Selama ini kita
berasumsi kalau cinta beda agama hanya terpaku pada muslim dan non-muslim,
kristiani dan non-kristiani karena itulah agama dominan di Indonesia. Ternyata
Protestan dan Katholik pun sudah dikatakan berbeda meskipun berdiri dibawah
atap yang sama. Menyikapi tantangan cinta beda agama diperlukan kebesaran hati
dan pikiran yang tidak sedikit. Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa ada
cinta beda agama yang berhasil, dan ada yang kandas. Dalam hal ini kompromi
mutlak diperlukan. Kondisi tenang dibutuhkan dalam upaya meminimalisir pengaruh
lingkungan (dan juga keluarga) dalam memperjuangkan cinta beda agama.
Mempertahankan komitmen pernikahan beda agama tidak cukup hanya dengan “aku
cinta kau, dan kau cinta aku, kita jalanin dulu aja”. Perkara “penundukan
sementara” atau “pindah agama” yang krusial kerap luput perhatian. Sering saya
dengar kalau sebenarnya tiap pasangan lebih memilih stay dengan agamanya
masing-masing dan pernikahan tetap terlaksana. Tapi cinta memang tidak pandang
nalar. Yang penting “saya harus sama dia” no matter what it takes. Dari situlah
murtad atas nama cinta terjadi. Banyak yang rela pindah agama ikut pasanganya.
Pasangan yang lebih beruntung tetap menikah dan tetap dengan agamanya meski
mengantongi “catatan sipil”. Status catatan pernikahan yang kerap dipandang
sebelah mata meski sah.
Kawan saya, D,
seorang laki-laki Muslim, pada akhirnya menikah dengan N, perempuan Kristiani.
Keputusan pindah agama diambil D demi cintanya pada N. Sebuah area abu-abu yang
masih jadi pertanyaan, kenapa yang terjadi tidak sebaliknya kalau memang cinta.
Kenapa tidak N saja yang ikut agama D. Sekali lagi ini soal kompromi cinta dan
agama yang tak pernah akur.
Atau kawan saya
yang lain, yang tetap mesra dengan istrinya tanpa mengorbankan keyakinan salah
satunya. Teman saya Y, yang Muslim, dan istrinya T, yang Katholik. Mereka
menikah dan punya anak, hidup rukun pula. Saat Idul Fitri tiba, Y, T, dan
anak-anak mereka merayakan dengan keluarga besar Y yang semua muslim. Saat
natal tiba, mereka makan-makan dengan ceria di tengah keluarga T yang Katholik.
Semua baik-baik saja.
Sedikit lebih
dekat, tetangga depan rumah saya, pak K yang muslim menikah dengan bu N yang
Tionghoa dan masih ke klenteng. Memiliki anak yang saya kenal betul sejak
kecil, namanya E. Meski Konghucu, bu N mendidik anaknya dengan kultur Islam.
Dulu, sekali saja E tidak berangkat TPA ke masjid, dia dapat cambuk hanger baju
dari bu N. Sejak kecil sampai SMA, E sekolah di Muhammadiyah. Dengan
Konghuchu-nya, bu N tetap mengingatkan E agar rajin ngaji. Tiap berangkat
sekolah, E cium tangan bu N. Mengucap salam dan dibalas juga oleh bu N dengan
“waalaikum salam” fasih.
Hubungan D dan
N, atau Y dan T, adalah contoh sukses kompromi dalam pernikahan beda agama. Menurut
saya sudah sejatinya cinta tidak “dibatasi” agama. Interaksi suami-istri tetap
berjalan dengan baik asal saling pengertian soal keyakinan. Kalau pria Muslim,
misalkan, mau ibadah ke masjid ya silahkan, istrinya yang Kristiani, misalkan,
menunggu di rumah. Begitu juga sebaliknya. Saat ibadah Minggu, suami Muslim,
misalkan, mengantarkan istri ke gereja, kemudian dijemput lagi. Selesai
perkara.
Dalam kasus pak
K, bu N, dan E, itu hubungan beda agama yang sudah masuk ranah keluarga. Mereka
tetap mesra dan bisa kompromi dengan keyakinan masing-masing. Apalagi bu N yang
“merelakan”, bahkan mendorong anaknya, E, menjadi muslim taat. Sekarang E
sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi di UIN. Kurang Islami apalagi.
Kita, anda dan
saya pasti pernah punya pengalaman cinta beda agama. Sering hal itu menyisakan
kenangan yang terpaksa harus dilupakan karena terbentur barrier keyakinan. Memasuki
zaman baru, kita perlu belajar melihat dengan mata lebih lebar soal pernikahan
beda agama, bukan sebagai masalah, tapi sebagai niat awal yang baik membangun
keluarga. Kalau kata pepatah, semua halal dalam perang dan cinta..
Ngopi dulu..
Ilustrasi : nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar