Minggu, 16 April 2017

BAJINGAN, PEYORASI DIKSI YANG TIDAK SEHARUSNYA DISALAHARTIKAN





 Be careful what you say, you can say something hurtful in ten seconds,
but ten years the wounds are still there
(Joel Osteen)

Paling banyak versi asal muasal kata “bajingan” adalah sebagai suatu profesi yang tugasnya mengendalikan dan mengatur jalanya grobak yang ditarik sapi. Pada zaman dahulu, gerobak sapi adalah alat transportasi umum layaknya delman. Nah, para bajingan ini adalah mereka yang duduk sebagai kusir grobak sapi. Apa bedanya dengan kusir delman atau kereta kencana yang pangkat dan stratanya nampak lebih punya aji? Begini, kusir delman yang ditarik kuda, dibandingkan dengan gerobak yang ditarik sapi, speed-nya tentu lebih cepat yang delman. Oleh karena speednya lebih cepat, waktu tempuh yang dibutuhkan tentu lebih singkat. Masyarakat menakar kehebatan alat transportasi dari kecepatan waktu tempuh, oleh karena itu antara bajingannya grobak sapi dengan kusirnya delman berkuda jelas berbeda dalam hal strata soal kecepatan.

Bagaimana kata bajingan bisa mengalami peyorasi sehingga setiap kemunculanya dalam kalimat diasosiasikan sebagai bentuk umpatan, kemarahan, cacian, dan segala sesuatu yang mengutuki. Dalam beberapa sumber, “bajingan lama sekali munculnya...”, adalah kalimat yang diucapkan oleh mereka para pedagang saat menunggu grobak sapi yang tak kuncung muncul. Namun, perlu digarisbawahi pada pengucapan kalimat diatas menggunakan intonasi datar tanpa ada maksud mencela. Kalaupun kalimat tersebut diucapkan dengan intonasi yang agak dongkol, maka kedongkolan itu ditujukan kepada gerobak sapi yang menjadi alat transportas. Mengingat orang dagang pada masa itu juga ingin lekas buka lapak di pasar, jadi perkara bajingan yang tidak on time ini (sepaket dengan gerobak sapinya) jadi urusan serius.

Tidak diketahui dengan pasti kapan pertama kali “bajingan” menjadi kata yang berubah makna, dari sebuah profesi menjadi umpatan kelas tinggi. Meskipun kata ini berasal dari bahasa Jawa, namun eksistensinya sudah mendapat pengakuan secara nasional. Bagaimana tidak, hampir semua orang dari Sabang sampai Merauke, dari Bitung sampai pulau Rote mengenal kata bajingan sebagai umpatan. “Bajingan lu”, “dasar bajingan”, “dia itu bajingan”, dan sederet kalimat lain yang semakin menegaskan kalau “bajingan” memang sudah berubah makna dan penggunaan sebagai umpatan. Terlebih lagi kata bajingan kerap digunakan untuk men-sifati seseorang yang berperangai buruk macam penjahat.

Entah bagaimana orang mulai bersepakat memasukan kata bajingan sebagai diksi khusus umpatan yang penggunaanya sangat dihati-hati. Ada satu cerita pada saat saya masih anak-anak. Kata bajingan ini adalah umpatan dengan level kekasaran paling tinggi. Ada beberapa umpatan yang sarkasmenya berkedudukan dibawah level “bajingan”. Biasanya penggunaan kata-kata kotor tersebut menyesuaikan suasana hati. Dari skala 1-10, kalau tingkat kedongkolanya 3 ya cukup menggunakan kata “asem ki”. Kalau dongkolnya di level 6, ya pakai “sil*t”/”t*i”/”m*nyuk”, dan yang selevel dengan itu. Kalau sudah benar-benar marah di level 8-10, barulah umpatan sakti “bajingan” ini dirapalkan. Belakangan kata bajingan ditandemkan dengan “A*U”, sebuah umpatan yang berasal dari golongan hewan berkaki empat yang suka menggonggong.

Pertanyaanya, kenapa kata “bajingan” yang dikambinghitamkan, kenapa profesi mulia yang penolong ini, kenapa tidak yang lain? Kalau bicara soal profesi, bajingan tidaklah sendiri. Ada beberapa yang tupoksinya juga supir kendaraan seperti “pilot”, “nahkoda”, “masinis”, dan “tukang becak”. Kenapa harus bajingan? Ini menurut pendapat pribadi dan penerawangan saya. Di atas sudah disebutkan asal muasal kata bajingan dan penggunaanya yang merujuk pada kedongkolan pedagang pasar menunggu gerobak sapi (beserta bajinganya) yang tak kunjung muncul. Namun waktu itu bajingan belum menjadi umpatan seperti sekarang, belum mengalami peyorasi diksi sehingga kalau dulu sudah ada pesawat terbang dan kereta, kalau terlambat datang mungkin juga supir-supirnya bakal kena semprot seperti sang bajingan yang mulia ini. “Dasar pilot”, “dasar masinis”. Begitu kira-kira. Akan tetapi, karena zaman dahulu pesawat dan kereta tidak bisa diakses kaum proletar semudah sekarang, maka bajingan-lah yang berlaku prevalence, dan itu berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga orang terbiasa mendengar (dan bahkan mengucap) “dasar bajingan...”.

Dalam KBBI, kata bajingan bermakna “bajingan/ba·jing·an/ 1 n penjahat; pencopet; 2 a kas kurang ajar (kata makian)”. Hal ini mungkin karena KBBI mengadopsi kebiasaan orang yang mengatakan “dasar bajingan...” sebagai umpatan yang ditujukan kepada perorangan, supir gerobak sapi. Telah terjadi penyederhanaan kata bajingan sehingga merujuk pada supir gerobak yang dinilai lamban, lama sampainya. Padahal sebenarnya mereka yang hidup pada zaman –gerobak sapi masih menjadi alat transportasi dan angkutan barang– harusnya mahfum dan maklum karena memang laju sapi tak secepat laju kuda. Sekeras apapun sang bajingan mencambuk sapi tetap saja sapi tak bisa lari cepat. Tapi ungkapan “dasar bajingan...” ini keburu jadi simplifikasi subjektif cara pandang orang melihat orang lain (sang bajingan), dan bukan “bajingan yang sepaket dengan gerobak sapinya”.

Saya sendiri, mendapatkan kosa kata “bajingan” dengan cara yang epic. Waktu itu keluarga saya pertama kali pindah rumah ke daerah sub-urban yang masih kental suasana pedesaanya. Di kampung saya, lebih tepatnya di RW saya, ada mushola yang tiap sore mengadakan pengajian anak-anak, ngaji “iqro’” dan ngaji qur’an kalau bahasanya. Saya berjalan ke mushola untuk ikut mengaji (yang belakangan saya tahu maksud orang tua saya adalah menyuruh untuk bersosialisasi dengan anak-anak kampung). Saat itu menjelang musim giling atau produksi gula. Kebetulan kampung saya dekat dengan sawah/lahan tebu yang dipanen PG Madukismo. Sampai di tikungan terakhir menuju mushola, ada beberapa pemuda desa yang sedang ngobrol sharing pengalamanya “nyolong tebu”. Perilaku nyolong tebu lagi hitz di kalangan pemuda sub-urban waktu itu.

*PM = pemuda
PM1 : wingi aku nyolong tebu neng Mbugisan kae rasane anyep kabeh, ora legi, bajingan..
(kemarin aku nyuri tebu di Bugisan rasanya hambar semua, bajingan..)
PM2 : lha goblok og kowe, neng kulone kae legi-legi malah
(lha bego kamu, di baratnya itu manis-manis)
PM3 : podo wae yo bajingan’i, aku wingi neng sisih njero dioyak petani sambi diatungi arit
(sama saja dasar bajingan, aku kemarin di sisi agak dalam malah dikejar petani sambil diacungi parang)

Bagaimana perasaan anda jika : akan ngaji ke mushola, bawa kitab Al Qur’an, mendengar kata “bajingan”?? Paradoks bukan. Saya sempat berfikir tapi langsung cepat paham bahwa yang para pemuda desa ucapkan tersebut adalah kata umpatan, meskipun kata “bajingan” pada waktu itu adalah hal baru bagi saya.

Setelah pulang ngaji, dirumah saya praktikkan itu kata bajingan. Tidak perlulah saya ceritakan bagaimana pipi saya lebam kena tampar ayah-bunda yang budiman dan sangat saya sayangi.

“KELUAAAARRRRR... BELAJAR BAJINGAN-BAJINGAN LAGI SANAAAA....!!!!!”, kata ibu saya muntab.

Tidak selesai sampai situ, di sekolah saya juga melakukan test market perkara kata “bajingan” ini. Permainan tradisional “mekdok (didemek ndodok)” pasti familiar bagi anda yang tinggal di lingkungan Jawa. Waktu itu saya telat jongkok dan keburu disentuh oleh teman pengejar, alhasil jadilah saya sebagai pengejar. Tak terima jadi pengejar, “bajingan’i, aku wes ndodok yo!”. Sontak semua peserta permainan seolah sepakat membubarkan diri dan berbondong ke ruang guru melaporkan ihwal lisan saya yang tak kenal santun. Itu kali kedua saya “ketanggor” akibat gagal paham penggunaan diksi bajingan. Sejak saat itu saya makin berhati-hati menggunakan kata bajingan, setidaknya di lingkungan yang masih kuat menganut adab.



...SEKIAN...





ilustrasi : http://www.harnas.co/2014/08/24/festival-gerobak-sapi-ikon-baru-yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar