Be careful what you say, you can say something hurtful in ten seconds,
but ten years the wounds are still there
(Joel Osteen)
Paling banyak versi asal muasal kata “bajingan”
adalah sebagai suatu profesi yang tugasnya mengendalikan dan mengatur jalanya
grobak yang ditarik sapi. Pada zaman dahulu, gerobak sapi adalah alat
transportasi umum layaknya delman. Nah, para bajingan ini adalah mereka yang
duduk sebagai kusir grobak sapi. Apa bedanya dengan kusir delman atau kereta
kencana yang pangkat dan stratanya nampak lebih punya aji? Begini, kusir delman
yang ditarik kuda, dibandingkan dengan gerobak yang ditarik sapi, speed-nya tentu
lebih cepat yang delman. Oleh karena speednya lebih cepat, waktu tempuh yang
dibutuhkan tentu lebih singkat. Masyarakat menakar kehebatan alat transportasi
dari kecepatan waktu tempuh, oleh karena itu antara bajingannya grobak sapi
dengan kusirnya delman berkuda jelas berbeda dalam hal strata soal kecepatan.
Bagaimana kata bajingan bisa mengalami peyorasi
sehingga setiap kemunculanya dalam kalimat diasosiasikan sebagai bentuk
umpatan, kemarahan, cacian, dan segala sesuatu yang mengutuki. Dalam beberapa
sumber, “bajingan lama sekali munculnya...”, adalah kalimat yang diucapkan oleh
mereka para pedagang saat menunggu grobak sapi yang tak kuncung muncul. Namun,
perlu digarisbawahi pada pengucapan kalimat diatas menggunakan intonasi datar
tanpa ada maksud mencela. Kalaupun kalimat tersebut diucapkan dengan intonasi
yang agak dongkol, maka kedongkolan itu ditujukan kepada gerobak sapi yang
menjadi alat transportas. Mengingat orang dagang pada masa itu juga ingin lekas
buka lapak di pasar, jadi perkara bajingan yang tidak on time ini (sepaket
dengan gerobak sapinya) jadi urusan serius.
Tidak diketahui dengan pasti kapan pertama kali “bajingan”
menjadi kata yang berubah makna, dari sebuah profesi menjadi umpatan kelas
tinggi. Meskipun kata ini berasal dari bahasa Jawa, namun eksistensinya sudah
mendapat pengakuan secara nasional. Bagaimana tidak, hampir semua orang dari
Sabang sampai Merauke, dari Bitung sampai pulau Rote mengenal kata bajingan
sebagai umpatan. “Bajingan lu”, “dasar bajingan”, “dia itu bajingan”, dan
sederet kalimat lain yang semakin menegaskan kalau “bajingan” memang sudah
berubah makna dan penggunaan sebagai umpatan. Terlebih lagi kata bajingan kerap
digunakan untuk men-sifati seseorang yang berperangai buruk macam penjahat.
Entah bagaimana orang mulai bersepakat memasukan
kata bajingan sebagai diksi khusus umpatan yang penggunaanya sangat
dihati-hati. Ada satu cerita pada saat saya masih anak-anak. Kata bajingan ini
adalah umpatan dengan level kekasaran paling tinggi. Ada beberapa umpatan yang
sarkasmenya berkedudukan dibawah level “bajingan”. Biasanya penggunaan
kata-kata kotor tersebut menyesuaikan suasana hati. Dari skala 1-10, kalau
tingkat kedongkolanya 3 ya cukup menggunakan kata “asem ki”. Kalau dongkolnya
di level 6, ya pakai “sil*t”/”t*i”/”m*nyuk”, dan yang selevel dengan itu. Kalau
sudah benar-benar marah di level 8-10, barulah umpatan sakti “bajingan” ini
dirapalkan. Belakangan kata bajingan ditandemkan dengan “A*U”, sebuah umpatan yang
berasal dari golongan hewan berkaki empat yang suka menggonggong.
Pertanyaanya, kenapa kata “bajingan” yang
dikambinghitamkan, kenapa profesi mulia yang penolong ini, kenapa tidak yang
lain? Kalau bicara soal profesi, bajingan tidaklah sendiri. Ada beberapa yang
tupoksinya juga supir kendaraan seperti “pilot”, “nahkoda”, “masinis”, dan “tukang
becak”. Kenapa harus bajingan? Ini menurut pendapat pribadi dan penerawangan
saya. Di atas sudah disebutkan asal muasal kata bajingan dan penggunaanya yang
merujuk pada kedongkolan pedagang pasar menunggu gerobak sapi (beserta
bajinganya) yang tak kunjung muncul. Namun waktu itu bajingan belum menjadi
umpatan seperti sekarang, belum mengalami peyorasi diksi sehingga kalau dulu
sudah ada pesawat terbang dan kereta, kalau terlambat datang mungkin juga
supir-supirnya bakal kena semprot seperti sang bajingan yang mulia ini. “Dasar
pilot”, “dasar masinis”. Begitu kira-kira. Akan tetapi, karena zaman dahulu pesawat
dan kereta tidak bisa diakses kaum proletar semudah sekarang, maka bajingan-lah
yang berlaku prevalence, dan itu berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga
orang terbiasa mendengar (dan bahkan mengucap) “dasar bajingan...”.
Dalam KBBI, kata bajingan bermakna “bajingan/ba·jing·an/ 1 n penjahat;
pencopet; 2 a kas kurang ajar
(kata makian)”. Hal ini mungkin
karena KBBI mengadopsi kebiasaan orang yang mengatakan “dasar bajingan...”
sebagai umpatan yang ditujukan kepada perorangan, supir gerobak sapi. Telah terjadi
penyederhanaan kata bajingan sehingga merujuk pada supir gerobak yang dinilai
lamban, lama sampainya. Padahal sebenarnya mereka yang hidup pada zaman –gerobak
sapi masih menjadi alat transportasi dan angkutan barang– harusnya mahfum dan
maklum karena memang laju sapi tak secepat laju kuda. Sekeras apapun sang
bajingan mencambuk sapi tetap saja sapi tak bisa lari cepat. Tapi ungkapan “dasar
bajingan...” ini keburu jadi simplifikasi subjektif cara pandang orang melihat
orang lain (sang bajingan), dan bukan “bajingan yang sepaket dengan gerobak
sapinya”.
Saya sendiri, mendapatkan kosa kata “bajingan”
dengan cara yang epic. Waktu itu keluarga saya pertama kali pindah rumah ke
daerah sub-urban yang masih kental suasana pedesaanya. Di kampung saya, lebih
tepatnya di RW saya, ada mushola yang tiap sore mengadakan pengajian anak-anak,
ngaji “iqro’” dan ngaji qur’an kalau bahasanya. Saya berjalan ke mushola untuk
ikut mengaji (yang belakangan saya tahu maksud orang tua saya adalah menyuruh
untuk bersosialisasi dengan anak-anak kampung). Saat itu menjelang musim giling
atau produksi gula. Kebetulan kampung saya dekat dengan sawah/lahan tebu yang
dipanen PG Madukismo. Sampai di tikungan terakhir menuju mushola, ada beberapa
pemuda desa yang sedang ngobrol sharing pengalamanya “nyolong tebu”. Perilaku nyolong
tebu lagi hitz di kalangan pemuda sub-urban waktu itu.
*PM = pemuda
PM1 : wingi aku nyolong tebu neng Mbugisan kae
rasane anyep kabeh, ora legi, bajingan..
(kemarin aku nyuri tebu di Bugisan rasanya hambar
semua, bajingan..)
PM2 : lha goblok og kowe, neng kulone kae
legi-legi malah
(lha bego kamu, di baratnya itu manis-manis)
PM3 : podo wae yo bajingan’i, aku wingi neng sisih
njero dioyak petani sambi diatungi arit
(sama saja dasar bajingan, aku kemarin di sisi
agak dalam malah dikejar petani sambil diacungi parang)
Bagaimana perasaan anda jika : akan ngaji ke mushola,
bawa kitab Al Qur’an, mendengar kata “bajingan”?? Paradoks bukan. Saya sempat
berfikir tapi langsung cepat paham bahwa yang para pemuda desa ucapkan tersebut
adalah kata umpatan, meskipun kata “bajingan” pada waktu itu adalah hal baru
bagi saya.
Setelah pulang ngaji, dirumah saya praktikkan itu
kata bajingan. Tidak perlulah saya ceritakan bagaimana pipi saya lebam kena
tampar ayah-bunda yang budiman dan sangat saya sayangi.
“KELUAAAARRRRR... BELAJAR BAJINGAN-BAJINGAN LAGI
SANAAAA....!!!!!”, kata ibu saya muntab.
Tidak selesai sampai situ, di sekolah saya juga
melakukan test market perkara kata “bajingan” ini. Permainan tradisional “mekdok
(didemek ndodok)” pasti familiar bagi anda yang tinggal di lingkungan Jawa. Waktu
itu saya telat jongkok dan keburu disentuh oleh teman pengejar, alhasil jadilah
saya sebagai pengejar. Tak terima jadi pengejar, “bajingan’i, aku wes ndodok
yo!”. Sontak semua peserta permainan seolah sepakat membubarkan diri dan
berbondong ke ruang guru melaporkan ihwal lisan saya yang tak kenal santun. Itu
kali kedua saya “ketanggor” akibat gagal paham penggunaan diksi bajingan. Sejak
saat itu saya makin berhati-hati menggunakan kata bajingan, setidaknya di
lingkungan yang masih kuat menganut adab.
...SEKIAN...
ilustrasi : http://www.harnas.co/2014/08/24/festival-gerobak-sapi-ikon-baru-yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar