Selasa, 18 April 2017

GAMBAR TANGAN DI PIPI KIRI TETEH ANIS







“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”.
(Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 10 Juni 1902)


Suatu saat di tahun 2012, saya masih ingat karena di tahun yang sama saya harus melakukan dua tugas akademik di waktu berdekatan, melaksanakan PKL yang 2 SKS itu, dan mengambil KKN yang 4 SKS itu. Di tahun yang sama pula, saya sudah harus mulai masuk laboratorium supaya bisa lulus tepat waktu dari fakultas pertanian UGM. Kegiatan akademik yang pertama saya lakukan adalah melaksanakan PKL. Saya memasukan permohonan untuk magang di salah satu perusahaan produsen pestisida swasta asal Swiss yang punya research station di Cikampek, tepat di pinggir jalan Pantura. Jalanan begitu ramai oleh truk dan bis antar provinsi, itu belum anak-anak sekolah dan pekerja pabrik yang memang punya residen disana.

Saya tiba di Cikampek jam 3 pagi waktu setempat. Turun dari bis, saya dijemput om yang memang sejak beberapa hari sebelumnya sudah janjian kalau mau numpang nginep di hari pertama mulai magang. Ohya, bagaimana saya bisa dapat kesempatan magang di perusahaan tersebut adalah cerita dimana sebenarnya saya lewat jalur belakang. Pada tahun sebelumnya, sekitar akhir tahun 2011, saya mengikuti kegiatan dimana ada mahasiswa pertanian dari Indonesia dan Australia yang terlibat kampanye, semacam kampanye how to handle pesticide for farmers gitu deh. Lokasinya di Malang. Kegiatan yang saya kira itu bentuk CSR perusahaan kepada kelompok tani yang menjadi langganan menggunakan “obat hama” dari perusahaan tersebut. Di akhir kegiatan yang berlangsung selama 10 hari, saya kemudian dekat dengan salah satu manager komunikasinya, pak Felix namanya. Pak Felix ini orang yang terkenal ramah, karena kalau saya lihat beliau ini sangat jarang tidak senyum.

Waktu duduk santai di guesthouse tempat kami menginap di Malang, pak Felix tanya ke saya, “gimana mas, kuliahnya sudah sampai mana?, sudah penelitian?”. Saya jawab apa adanya kalau saya sedang akan melaksanakan PKL, tapi belum dapat tempat. Waktu itu pak Felix menawarkan untuk melakukan penelitian di research station Cikampek, tapi karena saya sudah engage project skripsi dengan salah satu lembaga riset Australia (kenalan dan projectnya dosen sih, hehe) jadi saya menolak dengan halus, dan menyampaikan kalau sedang galau cari tempat magang. Disitulah substitusi terjadi, “oh boleh saja magang, kalau mau penelitian juga boleh, gratis”, kata pak Felix. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan.

Saya istirahat di rumah om yang letaknya di perumahan para pekerja pabrik. Lokasi research station perusahaan tersebut berada di sebrang jalan, masuk ke desa, melewati selokan besar, dan berada di tengah sawah sebesar kurang lebih 15 hektar. Singkat cerita setelah berkenalan dengan station manager-nya, saya “di-kos-kan” bersama dengan salah satu teknisi. Saya menempati kamar kos berukuran 3 x 4, sedangkan sang teknisi menempati kamar sebelahnya. Sebenarnya itu rumah dengan 3 kamar, 1 ruang keluarga, 1 dapur, dan 2 kamar mandi. Jadi rumah kontrakan untuk kos-kosan, begitu.

Sang teknisi memperkenalkan diri sebagai Dedi. Saya memanggilnya A’a Dedi, sesuai dengan kultur Sunda di daerah tersebut. A’a Dedi tinggal bersama istrinya, teteh Anis, dan anaknya yang masih kecil, saya lupa namanya. Setiap berangkat ke sawah saya nebeng A’a Dedi dengan motornya melewati jalan berbatu di tepi selokan besar. Berangkat pagi pulang sore, itulah yang saya lakukan. Udah mirip orang kerja aja. Tapi memang kerja di sawah cukup melelahkan. Capek tapi puas.

Di rumah, setelah kerja, aktivitas saya adalah mencuci. A’a Dedi sering terlihat bercengkrama dengan istri dan anaknya. Karena saya tidak terlalu paham kultur Sunda, pernah suatu kali saya hampir keceplosan saat mau menyapa teh Anis ini dengan sebutan “neng”. Saya lalu ingat kalau sebutan “neng” mungkin kurang formal untuk menyapa (karena saya non-Sunda) daripada sebutan “teteh” (yang saya kira lebih lazim untuk panggilan “mbak” pada perempuan Sunda).

Sembari santai dan ngobrol di ruang TV bersama keluarga kecil tersebut, saya tahu kalau A’a Dedi berusia 2 tahun diatas saya, dan teh Anis 3 tahun dibawah saya. Mungkin karena kultur masyarakat urban memiliki kredo wanita yang sudah masuk usianya harus cepat-cepat kawin. Saya lihat keluarga kecil ini penuh kebahagiaan.

Hari berlalu sampai pertengahan bulan. Kontrak magang saya dengan perusahaan pestisida tersebut adalah selama satu bulan. Namun karena mepet dengan jadwal dimulainya semester baru, hari kerja konkrit saya hanya 28 hari. Pada hari ke 29 saya cabut pulang ke Jogja.

Di pertengahan bulan, waktu itu weekend, seperti biasa saya menghabiskan hari bercumbu dengan ranjang sambil sesekali melihat media sosial. Lokasi kos-kosan yang berada di desa membuat sinyal internet gamang menjangkau insan kesepian macam saya yang memang dalam kondisi fakir koneksi. Satu-satunya tempat untuk ber-internet ria adalah di research station, tapi yakalik weekend saya harus kesana demi... streaming... eh... maksud saya mencari koneksi wifi. Ya sudah, saya hanya bisa leyeh-leyeh tiduran sambil menerawang ke atas menunggu putaran loading di window mozzila.

Seluruh isi rumah, termasuk A’a Dedi sekeluarga lelap dalam rehat akhir pekan. Baru saat mendekati bedug makan siang mereka terbangun dan mulai aktivitas. A’a Dedi cuci motor, teh Anis di dapur, anaknya ikut ke dapur, dan saya masih rebahan. Demi alasan privasi saya tutup pintu kamar. Saya butuh me time.

Di luar terdengar suara A’a Dedi menelpon dengan suara agak keras dalam bahasa Sunda yang tak saya pahami. Setelah itu dia memanggil teh Anis. Kemudian mereka berbincang. Terdengar beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Sepenangkapan saya mereka nampaknya mau buka usaha jualan. Kemudian keduanya masuk ke ruang TV lalu ngobrol. Terdengar suara A’a Dedi yang mulai meninggi dan ditimpali teh Anis yang tak kalah tingginya (masih dalam bahasa Sunda yang tak kupahami). Pikir saya, ah mereka mungkin sedang mau bisnis-bisnis gitu.

Tapi tiba-tiba saya dengar beberapa kosa kata dalam bahasa Indonesia (kalau ini saya paham). “Kalau mau dagang ya jangan kebanyakan ngeluh”, suara A’a Dedi terdengar tinggi. “Ya saya nggak ngeluh, orang ini namanya dagang ya harus gini”, sahut teh Anis. Keduanya masih bernada tinggi dalam bicara. Mungkin karena pintu kamar saya tutup jadi mereka merasa bebas berbual sambil teriak-teriak.

“Udah dibilangin jangan banyak ngeluh...”, lanjut A’a Dedi yang dibalas dengan suara tak kalah tinggi teh Anis. Sejurus kemudian... “plakk...”. Terdengar suara yang sepertinya familiar di telinga. Suara yang menunjukkan kekuatan ayunan momentum, p = m x v, dimana p = momentum, m = massa, dan v = kecepatan. Suara itu terdengar mirip dengan suara tepuk tangan. Kulit beradu dengan kulit pada kecepatan rata-rata sekitar 40 km/jam, dengan jarak sekitar 20cm. Suara itu sering terdengar saat saya dulu masih kecil dan nakal. Tergetnya di pipi sebelah kiri. Menerima momentum dari ayunan tangan sebelah kanan. Tangan kanan yang kuat. Itu suara tamparan.

Saya yang tadinya tidur-tidur ayam dengan mata setengah pejam lalu mendadak terbelalak sambil di dalam hati “mbatin” what the fakk. Saya dengar langkah teh Anis menjauh sembari sesenggukan, keluar rumah entah kemana. A’a Dedi lanjut gendong anaknya yang masih polos tak tahu apa-apa kecuali sang bunda melangkah pergi. Teh Anis keluar, A’a Dedi dan anaknya keluar, saya terbangun dan berfikir, “seperti inikah gambaran sebuah rumah tangga?”, seram sekali sampai main tampar. Beberapa detik kemudian banyak pikiran melayang di kepala, kekhawatiran tak beralasan, tapi setelah mendengar kejadian barusan, alasan-alasan mulai muncul dan semakin menguat. “Akankah saya kelak berkeluarga dan dihadapkan pada hal semacam itu?”, pikir saya.


“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
(surat kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900)


Mungkin yang dialami teh Anis bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Atau itu teguran dalam bentuk tamparan. Menurut saya keduanya, dalam ranah kehidupan rumah tangga tidak bisa dibenarkan. Itu hanya tamparan ringan tanpa kekuatan. Tapi sebuah tamparan tetaplah luka yang membekas baik fisik maupun psikis. Dari pengamatan saya terhadap kejadian ini, jika seorang suami berani menampar istri untuk pertama kalinya (dengan pikiran kalut dan marah tak tertahan), ada kemungkinan dia berani melakukan untuk yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Tidak menutup kemungkinan itu menjadi kebiasaan. Barulah kalau keseringan menampar, saya kira kekerasan dalam rumah tangga sudah bisa disematkan statusnya. Meskipun tidak sampai ekstrim memukul dan menendang hingga berdarah. Menurut saya bentuk tamparan secara sudut pandang submisif menunjukan dominasi pria. Bisa jadi karena keduanya hidup lama dan menganut budaya patriarki, jadi hal semacam itu lambat laun dikatakan wajar.

Manurut data komnas perempuan, kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2016 terdapat 321.752 kasus. Angka sebanyak itu, meskipun seper seribu dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, tidak bisa dikatakan kecil. Artinya hampir 1 dari 1000 orang mengalaminya. Sebuah tamparan kepada wanita/istri sudah bisa menimbulkan trauma. Sebuah tamparan sudah cukup menegaskan dominasi pria terhadap wanita. Lantas, apa hubungan antara pria dan wanita, dan bagaimana pembagian tugasnya di lingkup domestik sehingga KDRT kecil-kecilan sebentuk tamparan bisa terjadi. Bagaimana seharusnya wanita memposisikan diri dalam rumah tangga?. Apakah tamparan punya hak bicara lebih dari mulut yang disetir akal, seolah berkata “saya pria lebih berkuasa dari kamu wanita!”. Jauh-jauh hari di awal abad ke 19, R.A Kartini sudah mulai berkontemplasi dan menghasilkan buah pemikiran. Suatu pemikiran yang bahkan sampai sekarang bisa dikatakan liberal dan out of the box. Tidak heran kalau Kartini mendapat label feminis abad 19. Karena zaman itu sikap patriarkis masih kental mendudukan kaum adam sebagai “yang mengatur” urusan apapun, termasuk keputusan rumah tangga.

Dalam salah satu suratnya kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar di tahun 1899, Kartini sudah mengkritisi perihal “keningratan” kaum priyayi pada masa itu. Menurut Kartini, apakah hanya karena orang sedari lahir sudah menjadi bangsawan, lantas bisa dikatakan berbeda dalam hal kapasitas pemikiran, dimana kaum bangsawan waktu itu hanya bisa leha-leha sambil kipasan duit dari hasil keringat bumiputera, rakyatnya, kaum inlander yang menjadi buruh tani kumpeni. Terlebih lagi kaum wanita yang pada kalau itu tak beda layaknya barang dagangan yang bisa dibarter dengan laki-laki melalui perjodohan bermuatan politik.

Masih dalam korespondensinya dengan Stalla Zeehandelaar, Kartini menuliskan, “Akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena kami, tentu oleh orang lain, kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah ditakdirkan…” (Surat R.A. Kartini kepada Zeehandelaar, 9 Januari 1901)”. Sebuah tulisan yang menurut saya cukup menggugat ego patriarki abad 19. Potongan surat tersebut menegaskan Kartini ingin hak yang sama bagi para perempuan untuk mendapatkan pendidikan, yang menurut Kartini, jika perempuan sudah terdidik, tidak sulit untuk masuk dan berperan dalam ranah domestik. Bukan untuk apa-apa, tapi untuk sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Kalau anda melihat dari kacamatan patriarki juga (saya menghargai anda yang punya pandangan ini), ada tuntutan kebablasan soal kesetaraan gender macam yang sering digaungkan para feminis.


Saya kira apa yang terjadi pada teh Anis tetap merupakan tindakan kekerasan rumah tangga yang tidak bisa dibenarkan. Saya berharap tidak ada teh Anis lainya yang harus menanggung beban akibat pola pikir patriarkis yang masih terpelihara dan dibenarkan oleh lingkungan. Kuncinya adalah keterbukaan pikiran dan sama-sama tahu hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Dengan ini diharapkan lingkaran setan tersebut bisa diputus.



“...seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya tiada setahu kami.”
(Surat Kartini kepada Zeehandelaar, 25 Mei 1899)



SELAMAT HARI KARTINI






Ilustrasi : http://nationwideradiojm.com/childrens-advocate-ids-abused-girl/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar