“Kami sekali-kali tidak hendak
menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang
kebarat-baratan”.
(Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon,
10 Juni 1902)
Suatu saat di tahun 2012, saya masih ingat karena di
tahun yang sama saya harus melakukan dua tugas akademik di waktu berdekatan,
melaksanakan PKL yang 2 SKS itu, dan mengambil KKN yang 4 SKS itu. Di tahun
yang sama pula, saya sudah harus mulai masuk laboratorium supaya bisa lulus
tepat waktu dari fakultas pertanian UGM. Kegiatan akademik yang pertama saya
lakukan adalah melaksanakan PKL. Saya memasukan permohonan untuk magang di
salah satu perusahaan produsen pestisida swasta asal Swiss yang punya research station di Cikampek, tepat di
pinggir jalan Pantura. Jalanan begitu ramai oleh truk dan bis antar provinsi,
itu belum anak-anak sekolah dan pekerja pabrik yang memang punya residen
disana.
Saya tiba di Cikampek jam 3 pagi waktu setempat. Turun
dari bis, saya dijemput om yang memang sejak beberapa hari sebelumnya sudah
janjian kalau mau numpang nginep di hari pertama mulai magang. Ohya, bagaimana
saya bisa dapat kesempatan magang di perusahaan tersebut adalah cerita dimana
sebenarnya saya lewat jalur belakang. Pada tahun sebelumnya, sekitar akhir
tahun 2011, saya mengikuti kegiatan dimana ada mahasiswa pertanian dari
Indonesia dan Australia yang terlibat kampanye, semacam kampanye how to handle pesticide for farmers gitu
deh. Lokasinya di Malang. Kegiatan yang saya kira itu bentuk CSR perusahaan
kepada kelompok tani yang menjadi langganan menggunakan “obat hama” dari
perusahaan tersebut. Di akhir kegiatan yang berlangsung selama 10 hari, saya
kemudian dekat dengan salah satu manager komunikasinya, pak Felix namanya. Pak Felix
ini orang yang terkenal ramah, karena kalau saya lihat beliau ini sangat jarang
tidak senyum.
Waktu duduk santai di guesthouse tempat kami menginap di
Malang, pak Felix tanya ke saya, “gimana mas, kuliahnya sudah sampai mana?,
sudah penelitian?”. Saya jawab apa adanya kalau saya sedang akan melaksanakan
PKL, tapi belum dapat tempat. Waktu itu pak Felix menawarkan untuk melakukan
penelitian di research station Cikampek, tapi karena saya sudah engage project
skripsi dengan salah satu lembaga riset Australia (kenalan dan projectnya dosen
sih, hehe) jadi saya menolak dengan halus, dan menyampaikan kalau sedang galau
cari tempat magang. Disitulah substitusi terjadi, “oh boleh saja magang, kalau
mau penelitian juga boleh, gratis”, kata pak Felix. Kesempatan itu tidak saya
sia-siakan.
Saya istirahat di rumah om yang letaknya di perumahan
para pekerja pabrik. Lokasi research station perusahaan tersebut berada di
sebrang jalan, masuk ke desa, melewati selokan besar, dan berada di tengah
sawah sebesar kurang lebih 15 hektar. Singkat cerita setelah berkenalan dengan
station manager-nya, saya “di-kos-kan” bersama dengan salah satu teknisi. Saya
menempati kamar kos berukuran 3 x 4, sedangkan sang teknisi menempati kamar
sebelahnya. Sebenarnya itu rumah dengan 3 kamar, 1 ruang keluarga, 1 dapur, dan
2 kamar mandi. Jadi rumah kontrakan untuk kos-kosan, begitu.
Sang teknisi memperkenalkan diri sebagai Dedi. Saya
memanggilnya A’a Dedi, sesuai dengan kultur Sunda di daerah tersebut. A’a Dedi
tinggal bersama istrinya, teteh Anis, dan anaknya yang masih kecil, saya lupa
namanya. Setiap berangkat ke sawah saya nebeng A’a Dedi dengan motornya
melewati jalan berbatu di tepi selokan besar. Berangkat pagi pulang sore,
itulah yang saya lakukan. Udah mirip orang kerja aja. Tapi memang kerja di
sawah cukup melelahkan. Capek tapi puas.
Di rumah, setelah kerja, aktivitas saya adalah mencuci.
A’a Dedi sering terlihat bercengkrama dengan istri dan anaknya. Karena saya
tidak terlalu paham kultur Sunda, pernah suatu kali saya hampir keceplosan saat
mau menyapa teh Anis ini dengan sebutan “neng”. Saya lalu ingat kalau sebutan
“neng” mungkin kurang formal untuk menyapa (karena saya non-Sunda) daripada
sebutan “teteh” (yang saya kira lebih lazim untuk panggilan “mbak” pada
perempuan Sunda).
Sembari santai dan ngobrol di ruang TV bersama keluarga
kecil tersebut, saya tahu kalau A’a Dedi berusia 2 tahun diatas saya, dan teh
Anis 3 tahun dibawah saya. Mungkin karena kultur masyarakat urban memiliki
kredo wanita yang sudah masuk usianya harus cepat-cepat kawin. Saya lihat
keluarga kecil ini penuh kebahagiaan.
Hari berlalu sampai pertengahan bulan. Kontrak magang
saya dengan perusahaan pestisida tersebut adalah selama satu bulan. Namun
karena mepet dengan jadwal dimulainya semester baru, hari kerja konkrit saya
hanya 28 hari. Pada hari ke 29 saya cabut pulang ke Jogja.
Di pertengahan bulan, waktu itu weekend, seperti biasa
saya menghabiskan hari bercumbu dengan ranjang sambil sesekali melihat media
sosial. Lokasi kos-kosan yang berada di desa membuat sinyal internet gamang
menjangkau insan kesepian macam saya yang memang dalam kondisi fakir koneksi.
Satu-satunya tempat untuk ber-internet ria adalah di research station, tapi
yakalik weekend saya harus kesana demi... streaming... eh... maksud saya mencari
koneksi wifi. Ya sudah, saya hanya bisa leyeh-leyeh tiduran sambil menerawang
ke atas menunggu putaran loading di window mozzila.
Seluruh isi rumah, termasuk A’a Dedi sekeluarga lelap
dalam rehat akhir pekan. Baru saat mendekati bedug makan siang mereka terbangun
dan mulai aktivitas. A’a Dedi cuci motor, teh Anis di dapur, anaknya ikut ke
dapur, dan saya masih rebahan. Demi alasan privasi saya tutup pintu kamar. Saya
butuh me time.
Di luar terdengar suara A’a Dedi menelpon dengan suara
agak keras dalam bahasa Sunda yang tak saya pahami. Setelah itu dia memanggil
teh Anis. Kemudian mereka berbincang. Terdengar beberapa kata dalam bahasa
Indonesia. Sepenangkapan saya mereka nampaknya mau buka usaha jualan. Kemudian
keduanya masuk ke ruang TV lalu ngobrol. Terdengar suara A’a Dedi yang mulai
meninggi dan ditimpali teh Anis yang tak kalah tingginya (masih dalam bahasa
Sunda yang tak kupahami). Pikir saya, ah mereka mungkin sedang mau
bisnis-bisnis gitu.
Tapi tiba-tiba saya dengar beberapa kosa kata dalam bahasa
Indonesia (kalau ini saya paham). “Kalau mau dagang ya jangan kebanyakan
ngeluh”, suara A’a Dedi terdengar tinggi. “Ya saya nggak ngeluh, orang ini
namanya dagang ya harus gini”, sahut teh Anis. Keduanya masih bernada tinggi
dalam bicara. Mungkin karena pintu kamar saya tutup jadi mereka merasa bebas
berbual sambil teriak-teriak.
“Udah dibilangin jangan banyak ngeluh...”, lanjut A’a
Dedi yang dibalas dengan suara tak kalah tinggi teh Anis. Sejurus kemudian...
“plakk...”. Terdengar suara yang sepertinya familiar di telinga. Suara yang
menunjukkan kekuatan ayunan momentum, p = m x v, dimana p = momentum, m =
massa, dan v = kecepatan. Suara itu terdengar mirip dengan suara tepuk tangan.
Kulit beradu dengan kulit pada kecepatan rata-rata sekitar 40 km/jam, dengan
jarak sekitar 20cm. Suara itu sering terdengar saat saya dulu masih kecil dan
nakal. Tergetnya di pipi sebelah kiri. Menerima momentum dari ayunan tangan
sebelah kanan. Tangan kanan yang kuat. Itu suara tamparan.
Saya yang tadinya tidur-tidur ayam dengan mata setengah
pejam lalu mendadak terbelalak sambil di dalam hati “mbatin” what the fakk.
Saya dengar langkah teh Anis menjauh sembari sesenggukan, keluar rumah entah
kemana. A’a Dedi lanjut gendong anaknya yang masih polos tak tahu apa-apa
kecuali sang bunda melangkah pergi. Teh Anis keluar, A’a Dedi dan anaknya
keluar, saya terbangun dan berfikir, “seperti inikah gambaran sebuah rumah
tangga?”, seram sekali sampai main tampar. Beberapa detik kemudian banyak
pikiran melayang di kepala, kekhawatiran tak beralasan, tapi setelah mendengar
kejadian barusan, alasan-alasan mulai muncul dan semakin menguat. “Akankah saya
kelak berkeluarga dan dihadapkan pada hal semacam itu?”, pikir saya.
“Kita dapat menjadi manusia
sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
(surat kartini kepada Nyonya Abendanon,
Agustus 1900)
Mungkin yang dialami teh Anis bisa dikategorikan sebagai
bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Atau itu teguran dalam bentuk tamparan.
Menurut saya keduanya, dalam ranah kehidupan rumah tangga tidak bisa
dibenarkan. Itu hanya tamparan ringan tanpa kekuatan. Tapi sebuah tamparan
tetaplah luka yang membekas baik fisik maupun psikis. Dari pengamatan saya
terhadap kejadian ini, jika seorang suami berani menampar istri untuk pertama
kalinya (dengan pikiran kalut dan marah tak tertahan), ada kemungkinan dia berani
melakukan untuk yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Tidak menutup kemungkinan
itu menjadi kebiasaan. Barulah kalau keseringan menampar, saya kira kekerasan
dalam rumah tangga sudah bisa disematkan statusnya. Meskipun tidak sampai
ekstrim memukul dan menendang hingga berdarah. Menurut saya bentuk tamparan
secara sudut pandang submisif menunjukan dominasi pria. Bisa jadi karena
keduanya hidup lama dan menganut budaya patriarki, jadi hal semacam itu lambat
laun dikatakan wajar.
Manurut data komnas perempuan, kekerasan dalam rumah
tangga pada tahun 2016 terdapat 321.752 kasus. Angka sebanyak itu, meskipun
seper seribu dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, tidak bisa dikatakan kecil.
Artinya hampir 1 dari 1000 orang mengalaminya. Sebuah tamparan kepada wanita/istri
sudah bisa menimbulkan trauma. Sebuah tamparan sudah cukup menegaskan dominasi
pria terhadap wanita. Lantas, apa hubungan antara pria dan wanita, dan
bagaimana pembagian tugasnya di lingkup domestik sehingga KDRT kecil-kecilan
sebentuk tamparan bisa terjadi. Bagaimana seharusnya wanita memposisikan diri
dalam rumah tangga?. Apakah tamparan punya hak bicara lebih dari mulut yang
disetir akal, seolah berkata “saya pria lebih berkuasa dari kamu wanita!”.
Jauh-jauh hari di awal abad ke 19, R.A Kartini sudah mulai berkontemplasi dan
menghasilkan buah pemikiran. Suatu pemikiran yang bahkan sampai sekarang bisa
dikatakan liberal dan out of the box. Tidak heran kalau Kartini mendapat label
feminis abad 19. Karena zaman itu sikap patriarkis masih kental mendudukan kaum
adam sebagai “yang mengatur” urusan apapun, termasuk keputusan rumah tangga.
Dalam salah satu suratnya kepada Estelle
"Stella" Zeehandelaar
di tahun 1899, Kartini sudah mengkritisi perihal “keningratan” kaum priyayi
pada masa itu. Menurut Kartini, apakah hanya karena orang sedari lahir sudah
menjadi bangsawan, lantas bisa dikatakan berbeda dalam hal kapasitas pemikiran,
dimana kaum bangsawan waktu itu hanya bisa leha-leha sambil kipasan duit dari
hasil keringat bumiputera, rakyatnya, kaum inlander yang menjadi buruh tani
kumpeni. Terlebih lagi kaum wanita yang pada kalau itu tak beda layaknya barang
dagangan yang bisa dibarter dengan laki-laki melalui perjodohan bermuatan
politik.
Masih dalam korespondensinya dengan Stalla Zeehandelaar,
Kartini menuliskan, “Akan datang juga kiranya keadaan baru
dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena kami, tentu oleh orang lain,
kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah ditakdirkan…” (Surat
R.A. Kartini kepada Zeehandelaar, 9 Januari 1901)”. Sebuah tulisan yang menurut saya cukup menggugat ego
patriarki abad 19. Potongan surat tersebut menegaskan Kartini ingin hak yang
sama bagi para perempuan untuk mendapatkan pendidikan, yang menurut Kartini,
jika perempuan sudah terdidik, tidak sulit untuk masuk dan berperan dalam ranah
domestik. Bukan untuk apa-apa, tapi untuk sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Kalau anda melihat dari kacamatan patriarki juga (saya menghargai anda
yang punya pandangan ini), ada tuntutan kebablasan soal kesetaraan gender macam
yang sering digaungkan para feminis.
Saya kira apa yang terjadi pada teh Anis tetap merupakan
tindakan kekerasan rumah tangga yang tidak bisa dibenarkan. Saya berharap tidak
ada teh Anis lainya yang harus menanggung beban akibat pola pikir patriarkis
yang masih terpelihara dan dibenarkan oleh lingkungan. Kuncinya adalah
keterbukaan pikiran dan sama-sama tahu hak dan kewajiban antara pria dan
wanita. Dengan ini diharapkan lingkaran setan tersebut bisa diputus.
“...seorang laki-laki yang
asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan
dengan kami, sebenarnya tiada setahu kami.”
(Surat
Kartini kepada Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
SELAMAT HARI KARTINI
Ilustrasi :
http://nationwideradiojm.com/childrens-advocate-ids-abused-girl/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar