Minggu, 23 April 2017

ADAKAH NISTA PRIA TAK SUKA SEPAKBOLA






"I've never played for a draw in my life."
(Sir Alex Ferguson)



Jika anda termasuk orang yang berfikir kalau semua pria menyuka sepakbola, maaf karena saya mungkin tidak masuk hitungan. Entah kenapa saya tak bisa (atau belum bisa) menemukan kesenangan dalam menikmati pertandingan sepakbola. Kadang saya merasa terkucil kalau sedang kumpul dengan teman-teman kampus atau kerjaan. Mereka membahas dunia persepakbolaan dengan antusias. Semangat sekali hingga saya sering tanya ke mereka. Sebuah pertanyaan bodoh yang mungkin anda pun akan mentertawakan saya. “Broh, Chealsea itu liga Spanyol atau Itali?”.

Bagi anda yang juga tidak penyuka sepakbola, mungkin akan sama-sama bingung dengan banyaknya klub besar di seantero jagat, yang entah asalnya dari mana, main di stadion mana, menang kejuaraan apa. Sama. Saya juga mengalami masalah itu. Lanjut dari pertanyaan tadi, teman saya menjawab dengan sedikit mentertawakan (menjawab sambil terkekeh menghina lebih tetpatnya). “Mmm.. itu liga Inggris broh”. Dengan jelas saya melihat sunggingan senyum di bibrnya yang bernada mengejek. “ah masak gitu aja ndak tahu”. Please, ya memang saya tidak tahu soal perbolaan toh. Entah kenapa sedari SD saya tidak biasa mengikuti perkembangan tim sepakbola eropa atau manapun –ketika banyak teman saya yang mengidolakan Juventus, saya hanya tahu kalau klub sepakbola itu kalau tidak Juventus ya AS Roma–, bahkan di Indonesia sendiri. Saya suka sepakbola hanya pada beberapa poin saja :

1. Piala dunia
Ini jelas sebagai salah satu perhelatan akbar selain pemilu presiden RI atau pemilu Amerika (atau sidang Jessica Kopi Sianida) yang beritanya menghiasi layar kaca selama beberapa hari. Tapi tahukan anda saat perhelatan piala dunia yang menarik bagi saya adalah : seremonial pembukaan, pertandingan pertama, seremoni penutupan, dan pertandingan final. Itu saja saya nikmati dengan setengah hati. Yang lain kok saya tidak begitu menikmatinya. Beberapa kawan saya sampai bertaruh uang receh untuk kemenangan tim andalanya. Pernah suatu ketika saat SMP dua orang kawan saya bertaruh untuk tim nasional Kamerun dan satunya saya lupa. Mereka bertaruh Rp 100,-. Dan akhirnya tim Kamerun kalah. Itu pun sempat terjadi insiden ketika teman saya yang kalah taruhan tidak mau membayar Rp 100,-. Saya melihat sebagai kejadian lucu tapi juga menegangkan. Bagaimana tidak, hampir saja keduanya adu jotos hanya karena perkara uang taruhan Rp 100,-. Alamaaakk..

2. Piala AFF
Sama seperti alasan kenapa saya menonton piala dunia pada sesi tertentu saja. Piala AFF bagi saya spesial karena keterlibatan timnas tertjintah, timnas garuda yang membawa harga diri bangsa Indonesia berlaga di stadion negara tetangga. Mungkin karena rasa bangga ini saya akan merasa bersalah kalau sampai membiarkan timnas tidak ditonton. Saya baru merasakan beberapa tahun terakhir ketika timnas berlaga di piala AFF. Beberapa tahun sebelumnya, saya bahkan tak peduli apa yang sedang terjadi. Waktu itu sempat saya sedang mencari materi tugas kuliah di warnet. Saya “ngenet” di lantai dua. Persis di bawah saya ada warung burjo sedang ramai. Banyak orang nobar piala AFF. Sebanyak itu pula yang teriak saat pemain timnas hendak membobol gawang lawan. Seriuh itu pula suara menggelegar saat skor tambah satu untuk timnas. Dan saya masih tidak peduli.

3. Profil pelatih
Keberadaan pelatih klub atau timnas menjadi ketertarikan sendiri bagi saya. Saya tertarik pada karakter pelatihnya seperti Pep Guardiola dan Alex Ferguson. Setahu saya itu saja. Yang menarik perhatian saya adalah bagaimana para pelatih itu me-manage timnya. Apa saja yang mereka lakukan sehingga moral dan permainan tim bisa menjadi andalan memenangkan pertandingan. Bahkan Sir Alex pun mempunyai reputasi sebagai bapaknya Mancester United. Saya sama sekali tidak mengagumi MU-nya, tapi Sir Alex. Sekali lagi management tim menjadi hal penting dari sekedar berita kemenangan MU di liga ini dan itu. Ada hal yang saya pelajari dari kepemimpinan Alex Ferguson di MU. Sir Alex nampaknya berhasil meletakan pondasi tim hingga mereka menjadi kokoh. Yap, kokoh dari awal hingga tiap pemain tahu apa yang harus dilakukan. Inilah yang diterapkan Sir Alex pada MU. Sir Alex hendak menjadi bapak bagi semua anak asuhnya tanpa terkecuali. Untuk itu beliau juga menerapkan standar tinggi guna menjamin mutu pemain MU. Satu hal yang saya amati dari MU adalah tim ini hampir tidak pernah kalah. “Bagaimana bisa?”. Itulah yang membuat saya tertarik mempelajari gaya manajerial pelatih sepakbola dari pada melihat sebuah kemenangan. Tim bisa menang kalau tiap individunya bagus. Tim MU secara kasat mata setahu saya tidak ada pemain jelek. Atau memang tiap pemainya dibangun menjadi hebat. Tentu oleh manajemen hebat.

Pertanyaan saya, adakah nista kalau seorang pria tidak menyukai sepakbola?. Saya pernah mendapat ejekan dari teman-teman ihwal ketidaksukaan saya terhadap sepakbola. Mungkin karena arus utamanya para lelaki dengan bola adalah jodoh hidup dan mati. Tapi kenyataanya demikian. Saya tidak suka sepakbola. Lalu?

Secara spesifik saya tidak menjelaskan pada teman-teman saya bagian mana dari sepakbola yang tidak saya suka. Mungkin anggapan mereka “tidak ada alasan untuk tidak suka bola”. Bagi saya itu sah-sah saja kalau mereka suka dan saya tidak. Yang menjadi masalah adalah saya merasa tidak bisa masuk dan mengikuti obrolan saat duduk bersama. Jangan tanya apa yang saya lakukan. Ambil HP dari saku dan mulai pencet-pencet. Menu -> exit -> menu -> exit. Atau cek folder sms (yang sebenarnya tak ada sms masuk). Di hari lain, om saya yang tinggal di Surabaya menanyakan kabar saya lewat chat media sosial. “Assalamualaikum, apakabar keluarga Jogja?”. “Waalaikummussalam ami, kabar baik, ami sekeluarga gimana?”. “Nanti malam begadang nonton Barca, kopi siap sudah”. Dan saya hanya bisa memberikan closing statement : “sukses selalu ami”. Lalu obrolan berakhir.

*ami : panggilan om/paman


Saya tidak berani memberikan tanggapan berlebihan soal rencana om saya yang mau nonton pertandingan Barca, klub kesayanganya, karena pertama : saya tida tidak hobi bola, kedua : saya tidak tahu Barca itu bagaimana.

Bagi beberapa orang, sepakbola bak senggama di siang bolong. Penuh debar, tapi memuaskan, dan juga beresiko. Saya pernah berada di tengah perdebatan dengan teman-teman kampus pecinta sepakbola. Waktu itu kalau tidak salah Barca dan Real Madrid mau tanding. Namanya teman kampus yang sudah seperti keluarga, ada saja sumpah serapah dan makian khas brotherhood meluncur keras. Satu kubu menjelek-jelekan Barca, kubu lain tak kalah nyaring hinaanya pada Madrid. Saya tak habis pikir kenapa. Oh God, why?. Siang itu kejadianya di salah satu selasar kampus tempat mahasiswa biasa ber-internet ria. Para gerombolan saling serang meludah kata. Setelah riuh reda, saya lanjut menikmati berselancar di dunia maya tanpa suara bising orang-orang tadi. Seorang teman saya yang memang pendiam yang sedari tadi duduk di samping saya sambil baca komik Naruto, tiba-tiba berdiri dan mengemasi barangnya. Ternyata dia juga mau tidur buat persiapan nonton nanti malam di salah satu kedai di bilangan Seturan. Salah, pikir saya. Orang pendiam macam dia pun fanatik juga ternyata. Yasudah lah.

Setidaknya ada beberapa alasan filosofis kenapa sampai sekarang saya tidak bisa menikmati ranah persepakbolaan. Saya tidak suka bukan berarti saya benci. Ini lebih karena saya belum bisa mendapatkan faedah dari menonton pertandingan sepakbola. Pun dengan ikut meramaikan permainan futsal kawan-kawan di tempat kerja, saya juga hanya niat cari keringat, tidak lebih. Ada beberapa alasan :

1. Kualitas
Sejujurnya saya menyukai olahraga yang memang bisa dinikmati sendiri. Ya, benar-benar sendiri, bukan bergerombol atau bersama tim. Saya menyukai olahraga berenang. Hal ini karena saya bisa mengatur standar saya sendiri mau seberapa cepat dan seberapa kuat saya harus mengayunkan tangan dan kaki untuk bisa meluncur dari ujung ke ujung. Bagi saya ini lebih berkualitas. Dan kualitas tersebut bisa diukur dan dinikmati sendiri. Terlebih lagi pada saat menyelam sampai ke dasar kolam. Saya biasanya berenang di kolam renang FIK UNY pada kolam yang digunakan untuk loncat indah. Kolam dengan kedalaman 7 meter. Mungkin anda akan melihat saya sebagai orang egois yang tidak bisa bekerjasama dalam tim. Saya hargai itu. Namun jika anda mengajak saya bermain futsal, dengan senang hati saya ikut. Tapi tolong dimaafkan kalau permainan saya jelek. Jadi ini soal mengukur kualitas diri sendiri dan menikmati olahraga. Bukanya olahraga adalah soal kualitas.

2. Bertemu banyak orang
Terdengar aneh memang kalau mendengar saya tidak suka olah raga yang mengharuskan bertemu banyak orang. Tapi memang itu kenyataanya. Sebagai orang introvert (saya jujur lho), saya menghargai privasi orang lain, juga ketika berolahraga. Saya orang yang tidak terlalu nyaman dengan berbagai aturan. Dalam sepakbola, kadang ada orang yang mengatur “kamu ke sini, dan kamu ke situ”. Bisa dibilang orang seperti ini kaptennya. Saat bermain futsal, kadang saya merasa sudah mengumpan ke arah yang benar, tapi ternyata salah, sang kapten nampak kecewa. Kan, salah lagi.. duh dek.. Oleh karenanya, saya lebih suka olahraga yang bisa dinikmati sendiri, atau paling tidak bersama sedikit orang. Ya, berenang, fitness, dan bilyard adalah beberapa diantaranya. Konsentrasi saya tidak terpecah, kualitas gerak dan pikiran saya lebih fokus, dan hasil yang diperoleh lebih maksimal. Hasilnya, tentu saya bisa tidur nyenyak.

3. Bersosialisasi
Saya senang bergaul, bersosialisasi, tapi pada saat tertentu. Olahraga bagi saya adalah waktu dan tempat terbaik untuk memusatkan pikiran dan tenaga untuk sesuatu yang berkualitas, pembentukan otot dan berkeringat. Kalau anda berpikir saya orang yang tidak suka olahraga sosial, tunggu dulu. Di kolam renang saya banyak ngobrol dengan para lansia. Lansia ini banyak yang pensiunan perusahaan besar. Dari merekalah saya banyak menimba kebijaksanaan soal pandangan hidup. Ada satu lansia yang memang rutin berenang dan saya sering ketemu tiap pagi. Saya mulai masuk kolam biasanya pukul 5.30 pagi saat matahari belum menampakkan batang tenggorokanya. Kolam 7 meter masih sepi, permukaan air masih rata. Selang setengah jam, mulai bermunculan para lansia. Mereka memang rutin berenang salah satunya untuk alasan terapi, kesehatan tulang belakang yang mulai pegal-pegal hingga pengobatan asma.

Itulah alasan kenapa saya lebih menyukai olah tubuh mandiri dibandingkan dengan yang berkelompok. Memang sepakbola adalah olahraga yang baik, sangat baik, buktinya banyak orang menyukainya dan kompetisi sepakbolah bisa dibilang tidak murah bayaranya. Hanya saja ada hal yang membuat saya memilih prioritas olahraga selain sepakbola karena alasan filosifis diatas.


Bagaimana dengan anda?






Ilustrasi : http://www.allmusic.com/album/i-hate-football-mw0002074229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar