"I've never played for a draw
in my life."
(Sir Alex Ferguson)
Jika anda
termasuk orang yang berfikir kalau semua pria menyuka sepakbola, maaf karena
saya mungkin tidak masuk hitungan. Entah kenapa saya tak bisa (atau belum bisa)
menemukan kesenangan dalam menikmati pertandingan sepakbola. Kadang saya merasa
terkucil kalau sedang kumpul dengan teman-teman kampus atau kerjaan. Mereka membahas
dunia persepakbolaan dengan antusias. Semangat sekali hingga saya sering tanya
ke mereka. Sebuah pertanyaan bodoh yang mungkin anda pun akan mentertawakan
saya. “Broh, Chealsea itu liga Spanyol atau Itali?”.
Bagi anda yang
juga tidak penyuka sepakbola, mungkin akan sama-sama bingung dengan banyaknya
klub besar di seantero jagat, yang entah asalnya dari mana, main di stadion
mana, menang kejuaraan apa. Sama. Saya juga mengalami masalah itu. Lanjut dari
pertanyaan tadi, teman saya menjawab dengan sedikit mentertawakan (menjawab
sambil terkekeh menghina lebih tetpatnya). “Mmm.. itu liga Inggris broh”. Dengan
jelas saya melihat sunggingan senyum di bibrnya yang bernada mengejek. “ah
masak gitu aja ndak tahu”. Please, ya memang saya tidak tahu soal perbolaan
toh. Entah kenapa sedari SD saya tidak biasa mengikuti perkembangan tim
sepakbola eropa atau manapun –ketika banyak teman saya yang mengidolakan Juventus,
saya hanya tahu kalau klub sepakbola itu kalau tidak Juventus ya AS Roma–,
bahkan di Indonesia sendiri. Saya suka sepakbola hanya pada beberapa poin saja
:
1. Piala dunia
Ini jelas
sebagai salah satu perhelatan akbar selain pemilu presiden RI atau pemilu
Amerika (atau sidang Jessica Kopi Sianida) yang beritanya menghiasi layar kaca
selama beberapa hari. Tapi tahukan anda saat perhelatan piala dunia yang
menarik bagi saya adalah : seremonial pembukaan, pertandingan pertama, seremoni
penutupan, dan pertandingan final. Itu saja saya nikmati dengan setengah hati. Yang
lain kok saya tidak begitu menikmatinya. Beberapa kawan saya sampai bertaruh
uang receh untuk kemenangan tim andalanya. Pernah suatu ketika saat SMP dua
orang kawan saya bertaruh untuk tim nasional Kamerun dan satunya saya lupa. Mereka
bertaruh Rp 100,-. Dan akhirnya tim Kamerun kalah. Itu pun sempat terjadi
insiden ketika teman saya yang kalah taruhan tidak mau membayar Rp 100,-. Saya melihat
sebagai kejadian lucu tapi juga menegangkan. Bagaimana tidak, hampir saja
keduanya adu jotos hanya karena perkara uang taruhan Rp 100,-. Alamaaakk..
2. Piala AFF
Sama seperti
alasan kenapa saya menonton piala dunia pada sesi tertentu saja. Piala AFF bagi
saya spesial karena keterlibatan timnas tertjintah, timnas garuda yang membawa
harga diri bangsa Indonesia berlaga di stadion negara tetangga. Mungkin karena
rasa bangga ini saya akan merasa bersalah kalau sampai membiarkan timnas tidak
ditonton. Saya baru merasakan beberapa tahun terakhir ketika timnas berlaga di
piala AFF. Beberapa tahun sebelumnya, saya bahkan tak peduli apa yang sedang
terjadi. Waktu itu sempat saya sedang mencari materi tugas kuliah di warnet. Saya
“ngenet” di lantai dua. Persis di bawah saya ada warung burjo sedang ramai. Banyak
orang nobar piala AFF. Sebanyak itu pula yang teriak saat pemain timnas hendak
membobol gawang lawan. Seriuh itu pula suara menggelegar saat skor tambah satu
untuk timnas. Dan saya masih tidak peduli.
3. Profil pelatih
Keberadaan pelatih
klub atau timnas menjadi ketertarikan sendiri bagi saya. Saya tertarik pada
karakter pelatihnya seperti Pep Guardiola dan Alex Ferguson. Setahu saya itu
saja. Yang menarik perhatian saya adalah bagaimana para pelatih itu me-manage
timnya. Apa saja yang mereka lakukan sehingga moral dan permainan tim bisa
menjadi andalan memenangkan pertandingan. Bahkan Sir Alex pun mempunyai
reputasi sebagai bapaknya Mancester United. Saya sama sekali tidak mengagumi
MU-nya, tapi Sir Alex. Sekali lagi management tim menjadi hal penting dari
sekedar berita kemenangan MU di liga ini dan itu. Ada hal yang saya pelajari
dari kepemimpinan Alex Ferguson di MU. Sir Alex nampaknya berhasil meletakan
pondasi tim hingga mereka menjadi kokoh. Yap, kokoh dari awal hingga tiap
pemain tahu apa yang harus dilakukan. Inilah yang diterapkan Sir Alex pada MU.
Sir Alex hendak menjadi bapak bagi semua anak asuhnya tanpa terkecuali. Untuk itu
beliau juga menerapkan standar tinggi guna menjamin mutu pemain MU. Satu hal
yang saya amati dari MU adalah tim ini hampir tidak pernah kalah. “Bagaimana
bisa?”. Itulah yang membuat saya tertarik mempelajari gaya manajerial pelatih
sepakbola dari pada melihat sebuah kemenangan. Tim bisa menang kalau tiap
individunya bagus. Tim MU secara kasat mata setahu saya tidak ada pemain jelek.
Atau memang tiap pemainya dibangun menjadi hebat. Tentu oleh manajemen hebat.
Pertanyaan saya,
adakah nista kalau seorang pria tidak menyukai sepakbola?. Saya pernah mendapat
ejekan dari teman-teman ihwal ketidaksukaan saya terhadap sepakbola. Mungkin karena
arus utamanya para lelaki dengan bola adalah jodoh hidup dan mati. Tapi kenyataanya
demikian. Saya tidak suka sepakbola. Lalu?
Secara spesifik
saya tidak menjelaskan pada teman-teman saya bagian mana dari sepakbola yang
tidak saya suka. Mungkin anggapan mereka “tidak ada alasan untuk tidak suka
bola”. Bagi saya itu sah-sah saja kalau mereka suka dan saya tidak. Yang menjadi
masalah adalah saya merasa tidak bisa masuk dan mengikuti obrolan saat duduk
bersama. Jangan tanya apa yang saya lakukan. Ambil HP dari saku dan mulai
pencet-pencet. Menu -> exit -> menu -> exit. Atau cek folder sms (yang
sebenarnya tak ada sms masuk). Di hari lain, om saya yang tinggal di Surabaya
menanyakan kabar saya lewat chat media sosial. “Assalamualaikum, apakabar
keluarga Jogja?”. “Waalaikummussalam ami, kabar baik, ami sekeluarga gimana?”. “Nanti
malam begadang nonton Barca, kopi siap sudah”. Dan saya hanya bisa memberikan
closing statement : “sukses selalu ami”. Lalu obrolan berakhir.
*ami : panggilan
om/paman
Saya tidak
berani memberikan tanggapan berlebihan soal rencana om saya yang mau nonton
pertandingan Barca, klub kesayanganya, karena pertama : saya tida tidak hobi
bola, kedua : saya tidak tahu Barca itu bagaimana.
Bagi beberapa
orang, sepakbola bak senggama di siang bolong. Penuh debar, tapi memuaskan, dan
juga beresiko. Saya pernah berada di tengah perdebatan dengan teman-teman
kampus pecinta sepakbola. Waktu itu kalau tidak salah Barca dan Real Madrid mau
tanding. Namanya teman kampus yang sudah seperti keluarga, ada saja sumpah
serapah dan makian khas brotherhood meluncur keras. Satu kubu menjelek-jelekan
Barca, kubu lain tak kalah nyaring hinaanya pada Madrid. Saya tak habis pikir
kenapa. Oh God, why?. Siang itu kejadianya di salah satu selasar kampus tempat
mahasiswa biasa ber-internet ria. Para gerombolan saling serang meludah kata. Setelah
riuh reda, saya lanjut menikmati berselancar di dunia maya tanpa suara bising
orang-orang tadi. Seorang teman saya yang memang pendiam yang sedari tadi duduk
di samping saya sambil baca komik Naruto, tiba-tiba berdiri dan mengemasi
barangnya. Ternyata dia juga mau tidur buat persiapan nonton nanti malam di
salah satu kedai di bilangan Seturan. Salah, pikir saya. Orang pendiam macam
dia pun fanatik juga ternyata. Yasudah lah.
Setidaknya ada
beberapa alasan filosofis kenapa sampai sekarang saya tidak bisa menikmati
ranah persepakbolaan. Saya tidak suka bukan berarti saya benci. Ini lebih karena
saya belum bisa mendapatkan faedah dari menonton pertandingan sepakbola. Pun dengan
ikut meramaikan permainan futsal kawan-kawan di tempat kerja, saya juga hanya
niat cari keringat, tidak lebih. Ada beberapa alasan :
1. Kualitas
Sejujurnya saya
menyukai olahraga yang memang bisa dinikmati sendiri. Ya, benar-benar sendiri,
bukan bergerombol atau bersama tim. Saya menyukai olahraga berenang. Hal ini
karena saya bisa mengatur standar saya sendiri mau seberapa cepat dan seberapa
kuat saya harus mengayunkan tangan dan kaki untuk bisa meluncur dari ujung ke
ujung. Bagi saya ini lebih berkualitas. Dan kualitas tersebut bisa diukur dan
dinikmati sendiri. Terlebih lagi pada saat menyelam sampai ke dasar kolam. Saya
biasanya berenang di kolam renang FIK UNY pada kolam yang digunakan untuk
loncat indah. Kolam dengan kedalaman 7 meter. Mungkin anda akan melihat saya
sebagai orang egois yang tidak bisa bekerjasama dalam tim. Saya hargai itu. Namun
jika anda mengajak saya bermain futsal, dengan senang hati saya ikut. Tapi tolong
dimaafkan kalau permainan saya jelek. Jadi ini soal mengukur kualitas diri
sendiri dan menikmati olahraga. Bukanya olahraga adalah soal kualitas.
2. Bertemu
banyak orang
Terdengar aneh
memang kalau mendengar saya tidak suka olah raga yang mengharuskan bertemu
banyak orang. Tapi memang itu kenyataanya. Sebagai orang introvert (saya jujur
lho), saya menghargai privasi orang lain, juga ketika berolahraga. Saya orang
yang tidak terlalu nyaman dengan berbagai aturan. Dalam sepakbola, kadang ada
orang yang mengatur “kamu ke sini, dan kamu ke situ”. Bisa dibilang orang
seperti ini kaptennya. Saat bermain futsal, kadang saya merasa sudah mengumpan
ke arah yang benar, tapi ternyata salah, sang kapten nampak kecewa. Kan, salah
lagi.. duh dek.. Oleh karenanya, saya lebih suka olahraga yang bisa dinikmati
sendiri, atau paling tidak bersama sedikit orang. Ya, berenang, fitness, dan
bilyard adalah beberapa diantaranya. Konsentrasi saya tidak terpecah, kualitas
gerak dan pikiran saya lebih fokus, dan hasil yang diperoleh lebih maksimal. Hasilnya,
tentu saya bisa tidur nyenyak.
3. Bersosialisasi
Saya senang
bergaul, bersosialisasi, tapi pada saat tertentu. Olahraga bagi saya adalah
waktu dan tempat terbaik untuk memusatkan pikiran dan tenaga untuk sesuatu yang
berkualitas, pembentukan otot dan berkeringat. Kalau anda berpikir saya orang
yang tidak suka olahraga sosial, tunggu dulu. Di kolam renang saya banyak
ngobrol dengan para lansia. Lansia ini banyak yang pensiunan perusahaan besar.
Dari merekalah saya banyak menimba kebijaksanaan soal pandangan hidup. Ada satu
lansia yang memang rutin berenang dan saya sering ketemu tiap pagi. Saya mulai
masuk kolam biasanya pukul 5.30 pagi saat matahari belum menampakkan batang
tenggorokanya. Kolam 7 meter masih sepi, permukaan air masih rata. Selang setengah
jam, mulai bermunculan para lansia. Mereka memang rutin berenang salah satunya
untuk alasan terapi, kesehatan tulang belakang yang mulai pegal-pegal hingga
pengobatan asma.
Itulah alasan
kenapa saya lebih menyukai olah tubuh mandiri dibandingkan dengan yang
berkelompok. Memang sepakbola adalah olahraga yang baik, sangat baik, buktinya
banyak orang menyukainya dan kompetisi sepakbolah bisa dibilang tidak murah
bayaranya. Hanya saja ada hal yang membuat saya memilih prioritas olahraga
selain sepakbola karena alasan filosifis diatas.
Bagaimana dengan
anda?
Ilustrasi : http://www.allmusic.com/album/i-hate-football-mw0002074229
Tidak ada komentar:
Posting Komentar