Senin, 30 Oktober 2017

SEBAGAI INTROVERT, KITALAH YANG HARUS MEMAHAMI KAUM EKSTROVERT



Elang terbang sendiri, angsa terbang berkelompok


Sifat introvert seringkali disamakan dengan anti sosial. Sepintas orang mereka cenderung penyendiri, tapi bukan berarti benci bergaul. Orang introvert tidak menolak untuk diajak berteman, beramai-ramai, tapi itu perlu perjuangan dan tidak selamanya bisa dilakukan dalam kondisi baik-baik saja. Bagi orang introvert, ada yang dinamakan ‘mood stock’, semacam baterei mood yang berfungsi sebagai tenaga psikologis orang introvert. Dalam kondisi menyendiri, mood stock tidak banyak terpakai. Dalam kondisi ditengah keramaian, atau menghadapi banyak orang, baterei mood stock semakin berkurang dayanya, dan ini melelahkan. Kelelahan sejati kaum introvert bukan fisik, melainkan psikis. Itulah kenapa orang introvert lebih suka menyendiri. Pertama, untuk mood charging. Kedua, kesunyian adalah sumber kekuatan mereka.


Anda sering mendengar kata introvert sebagai sebuah sifat. Sebenarnya introvert adalah ‘range’ kondisi psikologis yang tidak hitam-putih. Lawan introvert tidak selamanya ekstrovert. Ada kondisi yang dinamakan ambivert. Kondisi inilah yang membuat introvert, ambivert, dan ekstrovert sebagai range, dan bukan kondisi statis. Kalau diibaratkan angka 1-10, angka 5 dan 6 adalah ambivert, semakin mendekati 1 maka semakin introvert, dan semakin mendekati 10 maka semakin ekstrovert. Jadi, ada orang yang level introvertnya banget dan ada yang sedang.


Sebagai introvert, menyadari pilihan hidup adalah konsekuensi logis sifat bawaan. Seorang introvert –yang stereotypenya pendiam, dianggap antisosial, penyendiri– cenderung memilih aktivitas dan pekerjaan yang tidak banyak bersinggungan dengan keramaian, seperti menulis, bermain komputer, bermusik, dan baca buku, pun olahraga dipilih yang tidak mengharuskan ada “kerjasama tim” atau di tempat ramai. Kecenderungan inilah yang kerap disalahartikan oleh mereka yang tidak mengalami kondisi introversion, atau secara alami terlahir sebagai orang ekstrovert. Tentu saja, baik introvert maupun ekstrovert adalah range yang saya ibaratkan angka 1-10 tadi. Jadi tidak ada yang salah dengan menjadi introvert. Dan menjadi ekstrovert tidak selamanya bebas resiko.


Orang ekstrovert kerap tidak paham bahwa orang introvert butuh ‘me time’ lebih sering. Meskipun ada beberapa ekstrovert yang paham, tapi hal semacam ini jarang. Lebih sering orang introvertlah yang paham kondisi sesamanya. Dan lebih sering pula orang introvert paham dan memaklumi bahwa kaum ekstrovert tidak paham kondisi kaum introvert.


Orang ekstrovert yang secara alami mudah bergaul, tidak punya masalah dengan keramaian, dan mudah beradaptasi dengan orang dan lingkungan baru, memiliki sifat sosial lebih. Mereka cenderung mudah dekat dengan orang baru (dan percaya begitu saja), hingga kadang cerita pribadi diumbar hampir tanpa batasan. Ini merugikan orang ekstrovert sendiri. Buntutnya, mereka banyak dirugikan, entah dimanfaatkan, ditipu, dan dimusuhi. Ngomong-ngomong soal dijauhi, kaum introvert punya segudang pengalaman dan jam terbang lebih. Dengan sifat tertutup dan pendiam, kaum introvert terbiasa dianggap orang yang tidak enak diajak berteman.


Sebagai orang introvert, saya, dan mungkin anda, pasti pernah mengalami hal-hal seperti dijauhi, dianggap antisosial, suka menyendiri, pilih-pilih teman (dan pasangan), dan semacamnya. Sayangnya, itu juga dilakukan oleh orang terdekat kita yang ekstrovert dan mengaku punya jiwa sosial. Inilah yang jadi dasar bagaimana kaum introvert seharusnya bersikap pada kaum ekstrovert. Terlebih dalam hal memaklumi sikap para ekstrovert.


Orang introvert cenderung memiliki sedikit teman dan bergaul dengan itu-itu saja (sehubungan dengan pilih-pilih teman dan antisosial). Hal yang tidak bisa dipahami ekstrovert bahwa introvert punya semacam ‘self defense mechanism’ alami yang membuatnya tetap waspada pada orang baru dikenal. Namun, sekali seorang introvert sudah berteman (atau menganggap teman) dengan seseorang, pertemanan itu akan dijaga selamanya. Hal yang jarang terjadi pada kaum ekstrovert. Teman mereka datang dan pergi. Orang introvert sangat selektif berteman. Mereka akan memastikan (bukan pilih-pilih) seseorang yang memang layak dipertahankan status pertemananya. Lebih jauh, pantas dijadikan sahabat dekat tempat curhat dan menjaga rahasia. Salah satu kriteria menilai kepantasan ‘outer introvert’ (orang diluar introvert) adalah; apakah orang baru ini bisa memahami dan dipercaya. Simple kan. Tapi seleksi alam pertemanan membuktikan itu tidak mudah. Saya pernah mencoba memberikan pengertian kepada seorang teman, ekstrovert, tentang ‘kenapa saya jarang ngumpul bareng’. Saya jelaskan kalau saya tidak suka saat mereka membandingkan prestasi akademik dengan nada bercanda. Bagi saya, mengejar prestasi akademik adalah perjuangan setengah hidup, bahkan sampai mengorbankan kewarasan dan kesehatan fisik. Dan itu bukan lelucon. Hal itu mereka jadikan bahan tertawaan sambil ngopi. Itu yang saya tidak cocok. Itu yang mereka tidak bisa pahami.


Kembali kepada pemakluman kaum introvert kepada ekstrovert. Beberapa introvert teman saya sering diomongkan dibelakang; “eh, dia kok nggak guyub (membaur) sama kita ya”, atau “eh, si Anu itu kelakuanya aneh”. Sebagai introvert, kita harus maklum dan membiasakan diri dengan cemooh macam ini. Orang ekstrovert yang tidak paham self defense mechanism orang introvert enteng saja bilang begitu tanpa tahu betapa rumitnya algoritma pikiran orang introvert.


Carl Gustav Jung dalam teori psikologinya bahkan memisahkan introvert dan ekstrovert dengan sedikit ekstrem, berdasarkan kekuatan ego. Kaum introvert punya ego diri tinggi hingga beranggapan bisa menyelesaikan semua hal sendiri, hampir tidak butuh orang lain. Sedangkan ekstrovert sebaliknya, butuh orang lain untuk bisa menyelesaikan masalah. Itulah alasan orang ekstrovert cocok di lingkungan ramai, dan kegiatan (atau pekerjaan) yang mengedepankan kerjasama tim. Sedangkan para introvert, cukup dengan jadi single fighter. Itulah kenapa karakteristik sifat orang introvert lebih teliti dan perfeksionis. Kelemahanya, introvert akan sangat kecewa berlarut jika pekerjaanya gagal. Bahkan untuk hal remeh sekalipun. Meski demikian, para introvert adalah rekan kerja yang baik dan teammate yang bisa diandalkan. Kondisi ini saya analogikan dengan ‘elang terbang sendiri, angsa terbang berkelompok’. Dengan sendiri, elang tetap pemburu ulung. Dengan berkelompok, belum tentu angsa menjadi lebih kuat.


Keangkuhan kaum introvert adalah malas memberi pemahaman akan kondisinya pada kaum ekstrovert. Kesalahan yang hampir sama, bahwa para ekstrovert menganggap penjelasan introvert mengada-ada dan sering tidak mau mendengarkan. Kaum introvert mungkin pernah mengalami ketika diajak ke suatu tempat ramai, entah konser musik jingkrak-jingkrak atau tempat nongkrong ramai, dan menjawab; ‘males ah banyak orang, ramai’, dan si pengajak (yang ekstrovert) bilang; ‘ah kamu aneh, cuma gitu aja jadi masalah, kalau mau sepi di kuburan aja’. Pernah?


Inilah yang membedakan tingkat kebijkasanaan (dan kebesaran jiwa) kaum introvert yang paham bahwa ajakan para ekstrovert cukup di-iya-kan dan selesai perkara. Sekedar untuk menjaga hubungan baik dan menghargai pertemanan. Hal yang sama tidak bisa dilakukan untuk kebalikanya, mengajak orang ekstrovert menjalani kegiatan para introvert. Yang terjadi bisa mati bosan mereka..


Ngopi dulu..


Ilustrasi : Rimma.co

Kamis, 19 Oktober 2017

PAYUDARA WANITA DAN SEDERET PRASANGKA KITA TERHADAPNYA



To lose confidence in one’s body is to lose confidence in oneself
― Simone de Beauvoir ―


Ketertarikan terhadap payudara wanita adalah insting alamiah yang bersifat historis karena sejak lahir dialah pegangan hidup pertama kita, sampai dewasapun kita enggan berpaling darinya. Baik pria dan wanita, sepakat melihat payudara sebagai bagian tubuh yang penting. No bra day sudah lewat, tapi kita tetap mendifinisikan payudara sebagai objek keindahan tubuh wanita yang dwitunggal. Ya wanita, ya payudara.

Beberapa orang melihat payudara melalui kacamata anatomis yang mendudukkannya sebagai bagian tubuh fungsional penyokong kelangsungan hidup. Sedang yang lain memasukkan unsur cabul pembangkit birahi yang berujung pada perilaku fetishme. Beda pola pikir, beda pula cara orang melihat payudara. Kalangan pekerja seni lain lagi, mereka menjadikan payudara sebagai objek sarat makna yang berfungsi menyimbolkan banyak hal secara metafora dan untuk menyampaikan pesan tersirat.

Sebelum lebih jauh, kita sepakati duduk perkara antara payudara, kelenjar susu, dan dada itu sendiri. Karena saat bicara tentang dada, belum tentu merujuk pada payudara. Dan saat bicara payudara, itu belum tentu juga kelenjar susu (mamae) yang dimaksud.

Payudara, adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang sangat antroposentris. Digunakan untuk menyebut kelenjar susu pada spesies manusia wanita yang berfungsi menyalurkan ASI pada bayi. Kebetulan saja letaknya yang di bagian dada menjadikanya dijuluki buah dada secara konotatif. Namun, karena buah-dada terlalu panjang frasanya, cukup payudara saja di-KBBI-kan. Soal eksistensinya yang dwifungsi, sebagai tempat produksi ASI dan sebagai simbol keindahan, kadang kita berfikir terlalu jauh terhadapnya sehingga dijadikan objek fantasi tak bertanggungjawab.

Sedangkan kelenjar susu, adalah bagian tubuh mamalia yang fungsinya memproduksi air susu sebagai makanan inisiasi bayi yang baru lahir. Bayi mamalia, apapun spesiesnya, mengkonsumsi air susu induknya sebagai makanan pertama. Kelenjar susu ini dimiliki spesies mamalia darat dan air. Kita melihat sapi, mamalia darat, dia punya kelenjar susu yang terdapat di bagian bawah tubuhnya, dekat dengan perut. Sedangkan paus, sebagai mamalia air, memiliki kelenjar susu yang terdapat di bagian ekornya berupa lubang kecil. Bayi paus menyusui dengan merapatkan mulutnya ke bagian ekor induknya. Sang induk “menyemprotkan” cairan susu ke mulut bayi paus. Disebabkan sapi memiliki bentuk tubuh dengan kaki empat, dan bagian dada merujuk pada bagian depan tubuh sapi, maka kelenjar susu sapi tidak bisa disebut dengan buah dada atau payudara sapi. Hal yang sama digunakan pada paus dengan kelenjar susu di bagian ekor. Tidak bisa disebut juga dengan payudara paus.

Hal lain adalah saat kita bicara soal dada. Dada, secara anatomis, adalah bagian tubuh yang berada diantara perut dan kepala. Pada manusia, dada pria adalah struktur otot yang bisa dikembangkan dengan cara dilatih. Kita melihat binaraga dengan dada bidang mengembang besar, lengkap dengan puting yang menempel padanya. Dada pria yang terlatih dan menjadi besar tidak serta merta disebut dengan payudara. Meski bagian itu kadang disebut juga payudara pria. Tapi lazimnya kita menyebutnya sebagai dada saja untuk pria.

Bagi wanita, perbedaan dada dengan payudara bisa dilihat dari struktur anatomis juga. Seorang dokter kenalan saya, dr. Winda, mengatakan bahwa pada wanita, dada dan payudara itu berbeda. Payudara merujuk pada jaringan kelenjar superfisialis dinding, yang terdiri dari campuran jaringan kelenjar penghasil susu, lemak, dan jaringan ikat pendukung (ligamen Cooper). Lebih jauh, payudara ya itu, buah dada. Sedangkan dada pada wanita adalah jaringan otot yang sama dengan struktur otot pada dada pria. Jadi pada bagian dada wanita terdapat dua hal, dada yang terdiri dari struktur otot, dan dada yang berisi jaringan lemak. Yang ke dua inilah yang dinamakan payudara. Letak payudara berada di depan jaringan otot. Seandainya seorang wanita mengalami masektomi (pengangkatan kelenjar payudara akibat kanker), sejatinya dia masih punya dada dalam bentuk jaringan otot, dan belum sepenuhnya kehilangan dada.

Sebagai pria, saya punya teman, baik pria dan wanita yang punya pandangan beragam soal payudara. Beberapa memiliki pandangan umum sebagaimana melihat payudara sebagai sex appeal sangkut pautnya dengan birahi sexual, sementara yang lain tidak mengkaitkan dengan hal itu. Berikut saya rangkumkan untuk anda:

Seorang teman wanita, L, seniman patung dan instalasi di Jogja, menceritakan pada saya saat dirinya membuat patung babi dengan payudara yang banyak. Saya bertanya soal keberadaan payudara yang kelewat batas jumlahnya. Dia menjawab, “mas, saya membuat payudara sebagai simbol kemakmuran. Saya membuat dengan jumlah enam belas dengan harapan kemakmuran itu berlipat-lipat menghadapi tahun baru nanti”. Saya paham, dalam dunia seni, pesan bisa disimbolkan dalam bentuk apapun. Termasuk harapan Kemakmuran yang disimbolkan dengan bentuk dan jumlah payudara. Tidak kurang enam belas butir. Obsesinya pada payudara juga dihadirkan pada patung gajah dengan posisi terbalik. Patung gajah itu berdiri dengan belalai menyangga tubuhnya yang besar, 1,5 meter tingginya. Pada patung gajah itu juga terdapat bentuk payudara berjumlah enam belas. Patung itu simbol kekuatan, bahwa belalai bisa menopang tubuh gajah besar. Juga payudaranya menyimbolkan kemakmuran. Seniman L menempatkan payudara sebagai simbol untuk menyampaikan pesan. Sebagai seniman wanita, dia tidak bermaksud memunculkan payudara untuk tujuan pembangkit birahi pria.

Lain dengan R, seorang teman perempuan, berhijab. Saat sedang duduk bersama di selasar kampus sembari ber-wifi ria, dia berbisik pada saya; “eh, kamu liat mbaknya itu, dada-nya gede ya”. Dia melihat ke arah M, teman seangkatan beda jurusan yang memang senang berbusana ketat hingga menonjolkan keindahan di bagian tubuh tertentu. Saya pikir R ini berhijab. Dengan hijabnya dia masih bisa komentar soal payudara. Sesama wanita. Artinya, kondisi wanita yang berhijab dengan pandanganya soal payudara adalah dua hal berbeda. Saya berfikir, berarti perhatian atas payudara wanita bukan semata monopoli kaum adam. Bahkan wanita pun punya porsi yang sama terhadap payudara sesamanya. Bagi R, wanita dengan payudara indah memang layak dikagumi, baik oleh pria maupun sesama wanita. R menganggap keberadaan payudara selain untuk dikagumi, juga sebagai bahan olok-olok saat bersama teman pria lainya.

Jauh hari sebelumnya saya ngobrol dengan dr.Winda soal payudara. Saya tanya; “dok, anda kan dokter, tentu akrab dengan tubuh manusia. Bagaimana anda, sebagai wanita, memandang payudara wanita itu sendiri”. Jawaban dr.Winda menurut saya logis. “sebagai dokter, saya melihat tubuh manusia dengan kacamata sains. Payudara, apapun kondisinya, ya tetap bagian tubuh manusia yang penting untuk diperhatikan, baik kesehatan, juga keindahanya. Wanita pada umumnya hanya fokus pada keindahanya. Payudara besar itu yang dianggap indah, sampai lupa kalau besar-kecil bukan ukuran kesehatan”. Dari dokter Winda inilah saya dapat pengetahuan tentang perbedaan dada wanita dimana terdapat otot dada, dan juga kelenjar mamae (kelenjar penghasil air susu). Dokter Winda, sebagai praktisi beranggapan bahwa payudara wanita adalah objek kajian ilmiah yang disikapi secara ilmiah pula. Jauh dari pikiran cabul yang semata untuk fantasi sexual.

Lain waktu saya ngobrol dengan kawan saya, P. Si P membuka obrolan dengan : “broh, mbaknya itu ‘susu’-nya besar”. Bagi saya ini obrolan normal kaum pria dan caranya berkomentar soal payudara wanita. Soal ukuran. Si P ini melontarkan komentar yang mainstream. Tentang perbedaan ukuran yang berefek pada tinggi-rendahnya minat sexual lawan jenis, tentang bagaimana pengalamanya “memperlakukan” payudara wanita, dan juga pandangan umum mata lelaki yang ‘saat dihadapkan pada wanita berpayudara besar menjadi goblok mendadak’. Pandangan umum lelaki macam P ini jamak ditemui. Kalau digambarkan dalam kurva distribusi normal, mereka berada di dalam lekuk lonceng yang naik. Bukan di sisi ekstrem kiri, bukan juga di ekstrem kanan lonceng. Hampir 80 persen orang berpandangan sama soal payudara wanita. Besar sama dengan indah. Mereka mengabaikan fungsi payudara yang terkadang bermasalah saat menyusi. Atau wanita yang menderita kanker payudara. Tentu bukan lagi cerita yang indah.

Berbeda dengan teman saya N, pria, seorang sekertaris himipunan mahasiswa muslim kampus. Orangnya alim, halus, dan berwibawa. Bicaranya terstruktur dan kalau menjelaskan sesuatu dengan gaya berapi-api khas orator ulung. Saya bertanya soal payudara kepadanya. “maaf akhi, menurut antum bagaimana pandangan soal payudara wanita?”. Saya bertanya dengan serius pada posisi sebagai mahasiswa muda calon sarjana yang pastinya mengharapkan jawaban ilmiah. Karena universitas adalah tempat dimana logika ilmiah dijunjung tinggi di hadapan altar intelektual. N melihat pada saya dengan pandangan sinis. Dia tersenyum kecut. Tidak menjawab. Satu menit kemudian dia matikan laptop. Membereskanya, dan beranjak pergi. Saya ditinggalnya dengan kondisi antiklimaks. Tidak mendapatkan jawaban apapun. Hanya berharap dia tidak berfikir kalau saya orang mesum.

Sudah rahasia umum, pria dan wanita punya perhatian soal payudara meski dengan cara berbeda. Pria menyukai payudara wanita sebagai objek fantasi seksual. Sedang wanita sendiri menjadikanya sebagai objek komparasi dengan wanita lain yang dianggap lebih indah. Wanita berfikir, payudara indah hanya dapat dilihat dari bentuk dan ukurannya. Tidak lebih. Tidak untuk diumbar, apalagi dipegang-pegang.

Melihat beberapa pandangan tentang payudara wanita, pertanyaanya adalah; bisakah kita adil terhadap payudara wanita dan tak perlu berlebihan dalam berprasangka? Mampukah kita bersikap “biasa saja” memandang payudara wanita, dan tidak menggunakanya sebagai objek fethisme?. Ada banyak bagian tubuh wanita yang tak kalah indah, hidung misalnya. Kenapa tidak hidung saja yang dijadikan objek fantasi sexual?. Ini masih menjadi misteri.

Di sisi lain, fashion melihat payudara sebagai bagian tubuh yang “ditonjolkan” dengan cara terselubung. Dia tidak bisa berdiri sendiri. Kalaupun bisa, keindahanya tidak maksimal. Oleh karena itulah diciptakan penutup dengan variasi bentuk dan warna guna mengakomodir kebutuhan akan kombinasi antara payudara dengan tutup-nya. Melihat banyaknya model bra dan lingerie saya mengerti sebuah hal. Bahwa payudara, bagaimanapun bagusnya, tetap akan lebih indah jika diselubungi dengan cover yang indah pula. Mungkin saya dan anda sepakat bahwa bentuk payudara ya gitu-gitu saja, wanita manapun sama saja. Besar kecil ya memang begitulah. Lain cerita kalau cover payudara berbentuk dan berwarna macam-macam. Lingerie contohnya. Fungsi lingeri akan lebih optimal jika melekat pada tubuh wanita, wabil khusus berkaitan dengan payudara. Lingerie sendiri warnanya macam-macam. Dengan warna dan bentuk berlainan itu pula kita menjadi tidak hanya fokus pada payudara saja, tapi lebih jauh mengagumi desain penutupnya juga. Itulah yang saya maksud dengan payudara sebagai eksistensi yang lebih elit jika dikombinasikan.

Saya berfikir, jangan-jangan selama ini yang kita kagumi tidak hanya payudara sebagai objek tunggal yang dapat dinikmati secara terbuka. Tapi lebih kepada pengaguman terhadap cover serupa bustehouder (BH) maupun lingerie. Meskipun penggunaan bustehouder dan lingerie tetap tidak untuk dipertontonkan publik kecuali dalam ranah adpertensi fashion. Bagi kalangan fashion, cover payudara dengan warna dan bentuk beragam punya power lebih untuk memikat mata dari sekedar bulatan birahiable yang terbuka. Oleh karenanya, prasangka kita terhadap payudara yang ‘besar, keras, tegas, elastis, tapi jinak’ seyogyanya tak perlu berlebihan sampai digunakan fantasi. Cukup mengaguminya sebagai bagian tubuh yang tetap memerlukan tandem agar terlihat lebih indah. Cover berupa BH dan lingerie adalah solusi menaikan leverage bergaining position payudara itu sendiri.

Suatu saat anda paham maksud saya..

Ngopi dulu..

Ilustrasi : YouTube

Sabtu, 07 Oktober 2017

MENYOAL CINTA BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN KETERBUKAAN


Long distance relationship paling nyata bukanlah mereka yang menjalin hubungan beda kota, atau beda benua, tapi yang beda rumah ibadah meskipun jaraknya sekampung.
.
.
.
Kisah cinta beda agama selalu menarik diperbincangkan. Beberapa orang bahkan rela kehilangan cintanya karena perbedaan keyakinan yang belum sepenuhnya terakomodasi dengan baik di Indonesia. Jalan tengah kadang ditempuh dengan “penundukan sementara” pada satu agama atau bahkan merelakan pindah agama mengikuti pasangan. Jalan tengah yang seringkali tidak menjadi solusi karena banyak orang akan menganggap “penundukan sementara” dan “pindah keyakinan” sebagai perbuatan main-main agama, murtad, atau kafir. Tapi itulah kenyataanya. Bahkan cinta harus diperjuangkan dengan kucing-kucingan “menyiasati” aturan hukum yang kurang ramah pada cinta beda agama. Percintaan dan pernikahan dalam pandangan masyarakat beragama di Indonesia adalah hal yang dianggap suci. Tapi bukan berarti urusanya harus dipersulit dengan beragam stereotype.

Pengaruh orangtua, kerabat, dan sahabat menjadi driving force dominan kisah cinta beda agama. Beruntung bagi mereka yang hidup di lingkungan dengan pikiran dan pandangan terbuka. Urusan cinta sepenuhnya menjadi hak pasangan, tentang bagaimana seharusnya berkompromi dengan hukum dan lingkungan sekitar, terlebih suara orang lain yang sumbang berkomentar soal ketidakpatutan. Keputusan percintaan yang seharusnya menjadi hak prerogatif pasangan, seringkali terjadi sebaliknya. Banyak kita dengar pihak keluarga dan sahabat lebih vokal menghasut begitu tahu seseorang punya teman dekat atau pacar beda agama. Keluarga atau sahabat mencari cara supaya mereka batal kawin. Bermacam cara ditempuh, salah satunya memperkenalkan dengan orang yang seiman demi mempertahankan status quo pernikahan seagama.

Meski demikian, cinta beda agama tidak selamanya bermasalah. Saya kenal beberapa teman yang berhasil sampai menikah dengan pasangannya meski beda keyakinan. Contoh gagal menikah karena pasangan beda agama juga tak sedikit. Keduanya sama-sama dipengaruhi oleh lingkungan. Saya ingin membagi beberapa dengan anda.

Sebut saja seorang teman perempuan namanya J, seorang Protestan, dia punya pacar namanya A, junior kampus, seorang Muslim. Mereka begitu mesra, bahkan saat hendak prakitum laboratorium saya kerap melihat J salaman cium tangan pada A. Mereka sangat kompak sebagai pasangan, meskipun teman-teman seangkatan melihat keduanya menjalin hubungan beda agama. Toh masih tahap pacaran, segala kemungkinan masih terbuka. Beberapa kali saya dengar J bilang ke A; “bismillah ya sayang, semoga sukses”. Sekitar tahun lalu, saya melihat di medsos kalau J sudah menikah dengan seorang laki-laki, yang saya kenal juga sebagai adik angkatan J di kampus. Si J memposting foto pemberkatan pernikahanya di altar gereja dengan baju adat Batak, lengkap dengan ulos dan pose Tor-Tor, asumsi saya HKBP, karena saya dengar J adalah jemaat gereja tersebut. Dia menikah dengan laki-laki bermarga, sesama orang Batak. Saya tidak ingin buru-buru menyimpulkan kalau pernikahan keduanya dikarenakan mereka orang Batak dan seiman, apalagi dijodohkan. Kesimpulan akhir, J batal menikah dengan A.

Contoh lain, senior saya, sebut saja mbak C, yang menikah dengan temannya sewaktu menempuh pendidikan di Jepang, sebut saja mas A. Antara mbak C dan mas A ini selain beda agama, mereka juga beda negara. Kurang long distance apalagi. Mbak C bahkan sampai menulis di blog pribadinya pengalaman memperjuangkan cinta beda agama dan negara tersebut. Mbak C yang Katholik dan mas A yang Buddha harus mengurus banyak hal sebelum sampai pada tahap pemberkatan pernikahan. Surat ke uskup, catatan sipil, bolak-balik kedutaan, dan sebagainya. Lebih banyak mbak C yang mengurus berkas di Indonesia. Sampai pada akhirnya saya melihat postingan mbak C di medsos dimana resepsi pernikahan dilakukan di Indonesia dengan adat Jawa. Mas A nampak gagah meski sedikit kaku dalam busana Jawa. Saya sempat bertanya pada mbak C soal restu orangtua. Bagi orang tua mbak C, mau menikah dengan siapapun asal orangnya baik ya silakan. Saya melihat mbak C orang beruntung dengan lingkungan yang mendukung pernikahan beda agama. Sekarang mereka tinggal di Jepang, hidup sebagai pasangan beda agama yang tetap adem-ayem. Kesimpulan akhir, mbak C sukses menikah dengan mas A.

Lain lagi dengan kawan saya D dan P. Memutuskan untuk menjadi agnostik –bertuhan tanpa agama, meskipun keluarganya Muslim–, D merasa tidak ada masalah dengan peribadatan agama manapun. Saat hari Jumat, kadang D ikut ke masjid. Dia sholat Jumat. Dan kalau bulan puasa, dia juga puasa. Pacarnya, si P yang Katholik tidak mempermasalahkan keyakinan D. Sempat saya bertanya pada D soal hubunganya dengan P, dan orangtua P yang Katholik tulen. Beberapa kali D bahkan mengantarkan P beribadah di gereja, baik minggu, atau hari besar agama Katholik lainya. Sesering itu juga D masuk gereja, berdoa dengan cara Katholik. Mereka akan menikah dalam waktu dekat. Cerita D ke saya, dia sudah menerima pembekalan di gereja. Pendidikan untuk menjadi ummat Katholik. Meski demikian, D tetap memilih tidak memeluk agama. Tapi bagi D, tetap menjadi prioritasnya menuliskan Islam di kolom agama KTP-nya. Ini semata melindungi kehormatan keluarga D yang muslim. Kesimpulan akhir, masih menunggu kelanjutan cerita D dan P menuju pernikahan.

Bagaimana dengan yang batal menikah karena beda keyakinan?. Seorang teman perempuan saya, sebut saja L, Katholik, berpacaran dengan A yang Muslim. Selain beda agama, kebetulan mereka juga beda kota. Tiap weekend, A mengunjungi L di Jogja. Sesering itu mereka membahas rencana pernikahan. Dari cerita L, si A sudah menghubungi “moderator” yang bisa membantu mereka mewujudkan impian pernikahan beda agama tanpa melalui mekanisme penundukan sementara atau berpindah keyakinan. Hubungan mereka empat tahun sudah. Tapi kendala datang dari keluarga A yang sinis melihat L yang beda agama. Si A lebih memilih “mengabaikan” keluarganya yang Muslim dan memperjuangkan L dengan segala konsekuensinya. Keluarga A tidak serta merta ikhlas dengan sikap A tersebut. Bahkan sampai “memanggil” kyai untuk membujuk A supaya mengurungkan niat. Tak sampai situ, kyai tersebut, dari cerita L, bahkan memperkenalkan beberapa perempuan muslim rupawan untuk A. Entah kenapa, beberapa waktu yang lalu saya melihat L sudah berfoto dengan pacar barunya. Yang pasti bukan A. Dan kabar si A tidak pernah saya dengar lagi. Kesimpulan akhir, L batal menikah dengan A.

Selama ini kita berasumsi kalau cinta beda agama hanya terpaku pada muslim dan non-muslim, kristiani dan non-kristiani karena itulah agama dominan di Indonesia. Ternyata Protestan dan Katholik pun sudah dikatakan berbeda meskipun berdiri dibawah atap yang sama. Menyikapi tantangan cinta beda agama diperlukan kebesaran hati dan pikiran yang tidak sedikit. Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa ada cinta beda agama yang berhasil, dan ada yang kandas. Dalam hal ini kompromi mutlak diperlukan. Kondisi tenang dibutuhkan dalam upaya meminimalisir pengaruh lingkungan (dan juga keluarga) dalam memperjuangkan cinta beda agama. Mempertahankan komitmen pernikahan beda agama tidak cukup hanya dengan “aku cinta kau, dan kau cinta aku, kita jalanin dulu aja”. Perkara “penundukan sementara” atau “pindah agama” yang krusial kerap luput perhatian. Sering saya dengar kalau sebenarnya tiap pasangan lebih memilih stay dengan agamanya masing-masing dan pernikahan tetap terlaksana. Tapi cinta memang tidak pandang nalar. Yang penting “saya harus sama dia” no matter what it takes. Dari situlah murtad atas nama cinta terjadi. Banyak yang rela pindah agama ikut pasanganya. Pasangan yang lebih beruntung tetap menikah dan tetap dengan agamanya meski mengantongi “catatan sipil”. Status catatan pernikahan yang kerap dipandang sebelah mata meski sah.

Kawan saya, D, seorang laki-laki Muslim, pada akhirnya menikah dengan N, perempuan Kristiani. Keputusan pindah agama diambil D demi cintanya pada N. Sebuah area abu-abu yang masih jadi pertanyaan, kenapa yang terjadi tidak sebaliknya kalau memang cinta. Kenapa tidak N saja yang ikut agama D. Sekali lagi ini soal kompromi cinta dan agama yang tak pernah akur.

Atau kawan saya yang lain, yang tetap mesra dengan istrinya tanpa mengorbankan keyakinan salah satunya. Teman saya Y, yang Muslim, dan istrinya T, yang Katholik. Mereka menikah dan punya anak, hidup rukun pula. Saat Idul Fitri tiba, Y, T, dan anak-anak mereka merayakan dengan keluarga besar Y yang semua muslim. Saat natal tiba, mereka makan-makan dengan ceria di tengah keluarga T yang Katholik. Semua baik-baik saja.

Sedikit lebih dekat, tetangga depan rumah saya, pak K yang muslim menikah dengan bu N yang Tionghoa dan masih ke klenteng. Memiliki anak yang saya kenal betul sejak kecil, namanya E. Meski Konghucu, bu N mendidik anaknya dengan kultur Islam. Dulu, sekali saja E tidak berangkat TPA ke masjid, dia dapat cambuk hanger baju dari bu N. Sejak kecil sampai SMA, E sekolah di Muhammadiyah. Dengan Konghuchu-nya, bu N tetap mengingatkan E agar rajin ngaji. Tiap berangkat sekolah, E cium tangan bu N. Mengucap salam dan dibalas juga oleh bu N dengan “waalaikum salam” fasih.

Hubungan D dan N, atau Y dan T, adalah contoh sukses kompromi dalam pernikahan beda agama. Menurut saya sudah sejatinya cinta tidak “dibatasi” agama. Interaksi suami-istri tetap berjalan dengan baik asal saling pengertian soal keyakinan. Kalau pria Muslim, misalkan, mau ibadah ke masjid ya silahkan, istrinya yang Kristiani, misalkan, menunggu di rumah. Begitu juga sebaliknya. Saat ibadah Minggu, suami Muslim, misalkan, mengantarkan istri ke gereja, kemudian dijemput lagi. Selesai perkara.

Dalam kasus pak K, bu N, dan E, itu hubungan beda agama yang sudah masuk ranah keluarga. Mereka tetap mesra dan bisa kompromi dengan keyakinan masing-masing. Apalagi bu N yang “merelakan”, bahkan mendorong anaknya, E, menjadi muslim taat. Sekarang E sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi di UIN. Kurang Islami apalagi.

Kita, anda dan saya pasti pernah punya pengalaman cinta beda agama. Sering hal itu menyisakan kenangan yang terpaksa harus dilupakan karena terbentur barrier keyakinan. Memasuki zaman baru, kita perlu belajar melihat dengan mata lebih lebar soal pernikahan beda agama, bukan sebagai masalah, tapi sebagai niat awal yang baik membangun keluarga. Kalau kata pepatah, semua halal dalam perang dan cinta..

Ngopi dulu..

Ilustrasi : nu.or.id